paluhakim2Pajak Online: Penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 22/2008 tentang Pelaksanaan Kewajiban dan Hak Seorang Wajib Pajak (WP) dinilai telah menciptakan diskriminasi kuasa WP yang menguntungkan para konsultan pajak.

Dosen Magister Akutansi Universitas Indonesia Darussalam mengatakan PMK No.22 juga menimbulkan celah monopoli bagi organisasi tertentu yang diuntungkan selama ini.

“Dalam ketentuan ini, PMK 22 telah berlaku diskriminasi dan memberikan hak monopoli kepada organisasi tertentu,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Siapa yang boleh menjadi kuasa wajib pajak, Kamis.

PMK itu juga mengarahkan perusahaan untuk memakai jasa konsultan pajak dari suatu organisasi tertentu untuk dapat menjalankan hak dan kewajiban perpajakan mereka.

Darussalam menjelaskan penerapan PMK 22 bertabrakan dengan Surat Edaran (SE) Ditjen Pajak No.16/2008. Dalam Pasal 5(c) SE tersebut dijelaskan syarat kuasa WP, yaitu memiliki sertifikat brevet atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan minimal DIII dari PTN atau swasta dengan status akreditasi A.

Namun, PMK telah membatasi penunjukan kuasa seperti diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) .

Dalam Pasal 4 Ayat (1) PMK 22 disebutkan konsultan pajak, termasuk karyawan perusahaan, hanya dapat menerima kuasa dari wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp1,8 miliar dalam satu tahun.

Ketentuan ini juga berlaku terhadap WP Badan dengan peredaran bruto tidak lebih dari Rp2,4 miliar dalam waktu yang sama.

Dampak dari aturan ini karyawan WP-staf, supervisor, manajer, direktur atau spesialis perpajakan- yang bekerja di perusahaan besar dengan omzet di atas Rp2,4 miliar, tidak bisa menjadi kuasa WP.

Surat kuasa

Para karyawan WP hanya bisa menerima kuasa jika perusahaan tersebut beromzet di bawah itu. Dengan begitu, perusahaan besar hanya bisa memberi surat kuasa kepada konsultan pajak

Anggota Asosiasi Fiskal Indonesia Revo Sinaga menilai pemberlakuan PMK 22 juga dapat menyebabkan terjadinya penundaan penerimaan negara selama 2 tahun akibat ketakutan wajib pajak. Perkiraan tersebut didasarkan pengalaman Revo setelah berdiskusi dengan beberapa anggota Kamar Dagang dan Industri yang memiliki sekitar 4.000 pengusaha. “[Penundaan] Itu bisa terjadi akibat kurangnya pemahaman WP dan sosialisasi dari Ditjen Pajak tentang peraturan perpajakan baru.”

Ketua Asosiasi Pembayar Pajak Indonesia Hermantho mengingatkan pemerintah untuk memberikan kebebasan kepada WP untuk menentukan sendiri kuasa hukumnya.

Kebebasan itu diperlukan agar tidak terkesan mempersulit WP dalam menyelesaikan tanggung jawabnya, sehingga dikhawatirkan dapat menurunkan ketaatan WP untuk memenuhi kewajiban.