Proklamasi Mahasiswa Merdeka (dari) Korupsi

Proklamasi Mahasiswa Merdeka (dari) Korupsi

Lawan Korupsi

MAHASISWA merupakan suatu elemen masyarakat yang unik. Jumlahnya tidak banyak, namun sejarah menunjukkan bahwa dinamika bangsa ini tidak lepas dari peran mahasiswa termasuk saat menjelang detik-detik proklamasi. Tindakan yang dilakukan para pemuda untuk “menculik” Soekarno dan Hatta serta membawanya ke Rengasdengklok adalah peranan lain mahasiswa dalam sejarah Indonesia. Jangan tanya dampaknya. Karena dampaknya dapat dirasakan sampai sekarang, yaitu “kemerdekaan”. Entah apa yang akan terjadi jika Soekarni, Wikana dan Chaerul Saleh dari perkumpulan “Menteng 31” beserta yang lainnya tidak segera mengamankan Soekarno dan Hatta saat itu.

Zaman terus bergerak dan berubah. Sudah 69 tahun Indonesia merdeka, seyogyanya ada yang tidak berubah dari mahasiswa, yaitu semangat dan idealisme. Semangat-semangat yang berkobar terpatri dalam diri mahasiswa, semangat yang mendasari perbuatan untuk melakukan perubahan-perubahan atas keadaan yang dianggapnya tidak adil. Mimpi-mimpi besar akan bangsanya. Intuisi dan hati kecilnya akan selalu menyerukan idealisme. Mahasiswa sebenarnya tahu, ia harus berbuat sesuatu untuk masyarakat, bangsa dan negaranya.

Sekarang ini mahasiswa dihadapkan pada tantangan yang tidak kalah besar dibandingkan dengan kondisi masa lampau. Kondisi yang membuat bangsa Indonesia terpuruk, yaitu masalah korupsi yang merebak di pelosok negeri ini. Korupsi seperti sudah menjadi budaya laten. Lantas apa peran mahasiswa dalam menghadapi korupsi? Kita sering melihat sekelompok mahasiswa dari berbagai organisasi turun aksi ke jalan dengan menyuarakan pemberantasan korupsi. Mereka menuntut pemerintah untuk merdeka dari korupsi. Namun, apakah mahasiswa itu sendiri sudah merdeka dari korupsi?

Isu ini memang sepertinya sengaja dihindari. Padahal untuk dapat berperan secara optimal dalam pemberantasan korupsi di negeri ini, kita harus berawal dari lingkungan terkecil. Ya, harus ada pembenahan terhadap diri mahasiswa dan kampusnya terlebih dahulu. Dengan kata lain, mahasiswa harus mendemonstrasikan bahwa diri dan kampusnya bersih dan jauh dari perbuatan korupsi. Bagaimanapun terkadang perilaku koruptif justru sering dilakukan oleh mereka sendiri.

Contoh yang paling sering adalah ketika mengadakan acara kemahasiswaan. Pembuatan proposal yang di dalamnya sudah dilakukan mark up anggaran dengan argumentasi bahwa mereka jarang memperoleh jumlah dana sesuai dengaan jumlah yang diminta dalam proposal.

Begitu juga dalam hal laporan pertanggungjawaban dana kemahasiswaan, kebanyakan mahasiswa tidak mengembalikan surplus dana acara. Selisih penerimaan dan pengeluaran dalam laporan pertanggungjawaban dibuat sedemikian rupa sehingga menjadi nol. Bahkan ada pengeluaran yang dibuat sendiri notanya padahal tidak ada transaksi alias fiktif.

Hal ini seperti sudah menjadi lumrah dalam organisasi kemahasiswaan. Satu sama lain “saling memahami” dalam melakukan kesalahan. Padahal ini sudah merupakan tidakan fraud (kecurangan) yang merupakan bagian dari tindak korupsi. Oleh karena itu, harus ada lembaga khusus semacam Badan Audit Kemahasiswaan (BAK) di setiap kampus sebagai lembaga tinggi independen yang dibentuk untuk melakukan mekanisme audit keuangan terhadap lembaga kemahasiswaan, sesuai dengan standar yang telah ditentukan dan bertanggung jawab langsung pada mahasiswa.

Ditambah lagi, iklim kampus yang tidak lagi mendukung dengan membentuk mahasiswa sebagai generasi-generasi baru kapitalis. Paradigma yang dibangun dalam program mahasiswa saat ini adalah paradigma kapitalistik. Kemudian mahasiswa didorong untuk mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) yang pada dasarnya sudah berubah fungsi menjadi Program Korupsi Mahasiswa. Karena tidak jarang, uang hibah PKM tersebut sebagian digunakan untuk kepentingan pribadi. Tugasnya kemudian adalah membuat laporan fiktif untuk mengelabui para pengawas yang melakukan monitoring dan evaluasi secara kurang teliti. Tidak terpikir lagi bagaimana tugasnya untuk menyelesaikan permasalahan bangsa melalui budaya literasinya.

Apa yang mahasiswa teriakkan di jalan; “Lawan koruptor! Berantas korupsi! Tangkap koruptor!” seolah menjadi paradoks. Jangan sampai mental koruptor dan perilaku koruptif telah dipelajari semenjak di bangku pendidikan. Ketika mahasiswa yang notabene merupakan “Iron Stock” (generasi penerus roda kepemimpinan) telah memiliki mental dan perilaku koruptif, maka kasus korupsi di Indonesia tetap tak akan ada habisnya.

Marilah seluruh mahasiswa baik sebagai individu maupun anggota organisasi untuk terus semangat dalam berjuang melawan korupsi. Mulailah dari diri sendiri, lingkungan yang terkecil di kampus masing-masing dan mulai saat ini juga. Kini bukan lagi saatnya mahasiswa berkata “merdeka korupsi” tetapi saatnya kita proklamasi mahasiswa “merdeka dari korupsi.”

Kami mahasiswa-mahasiswi Indonesia, yang peduli pemberantasan korupsi, dengan ini menyatakan merdeka dari korupsi. Hal-hal yang mengenai segala bentuk korupsi, kolusi dan nepotisme akan kami berantas hingga ke akar-akarnya.”

Dirgahayu Republik Indonesia ke-69. Jaya selalu, merdeka sebenar-benarnya!

Fadly Alwahdy (@fadlyalw) – Direktur Komunitas Jago Akuntansi Indonesia

Artikel ini termasuk Akuntansi Forensik & Audit Investigatif dalam aplikasi di dunia kemahasiswaan. Dipublish Okezone.com hari Sabtu, 16 Agustus 2014 pukul 10.02 WIB cek http://kampus.okezone.com/read/2014/08/15/367/1025057/proklamasi-mahasiswa-merdeka-dari-korupsi

 

Pesta Demokrasi : Biaya Sosial Masyarakat Sangat Besar!

Pesta Demokrasi : Biaya Sosial Masyarakat Sangat Besar!

Biaya Sosial Pemilu

DI BALIK maraknya ajang pesta demokrasi pemilihan umum, baik pemilihan anggota legislatif (pileg) April lalu maupun pemilihan presiden (pilpres) Juli ini, jelas ada pengorbanan masyarakat yang besar. Oleh karenanya, para pemimpin partai harus menjadikan pengorbanan masyarakat ini menjadi konsideran mereka.

Mengapa demikian? Masyarakat memang menghendaki perubahan, yaitu terciptanya pemerintahan yang adil, bersih, berwibawa dan benar-benar berusaha memakmurkan masyarakat. Dengan kata lain, melalui pemilu diharapkan adanya perubahan kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya yang lebih baik.

Sebaliknya, partai politik maupun calon presiden dan wakil presiden berlaga di arena pesta nampaknya lebih mementingkan upaya untuk menjadi pemenang dengan melupakan pengorbanan masyarakat. Hal ini terlihat pada kegiatan yang mereka lakukan, sasarannya lebih kepada mencari jumlah pendukung tanpa melakukan pendidikan demokrasi yang semestinya. Padahal di balik pesta demokrasi itu, terselubung biaya besar dan mahal yang ditanggung masyarakat, yaitu pengeluaran dalam rupiah yang sangat besar dan biaya sosial (social cost) yang tak ternilai.

Pesta demokrasi ini menelan biaya yang tidak sedikit, ratusan miliar rupiah. Mulai dari biaya untuk persiapan dan perencanaan, keperluan partai politik untuk kampanye, kepanitiaan pusat dan daerah serta kelembagaan lain yang berkaitan, pencetakan keperluan administrasi dan kertas suara, pelaksanaan pemilu, biaya pengiriman berkas (pendistribusian dan pengumpulan kembali), biaya untuk masing-masing partai dan macam-macam biaya lain. Semua ini mencapai miliaran rupiah. Untuk melihat Laporan Penerimaan Dana Kampanye periode II masing-masing calon presiden dan wakil presiden 2014 silakan cek di laman resmi KPU.

Selain itu masih ada beban yang harus ditanggung masyarakat. Mereka harus menanggung biaya sosial (social cost) yang tidak ternilai berupa berbagai pengorbanan immaterial yang mungkin belum terpikirkan oleh para peserta pesta demokrasi. Biaya sosial ini bervariasi macamnya. Kadar beban yang dirasakan masyarakat pun berbeda-beda. Namun secara keseluruhan akan menyangkut sebagian besar masyarakat.

Biaya sosial dengan munculnya rasa was-was yang berkembang di masyarakat pada setiap akhir pekan. Hal ini dikarenakan banyak partai politik mapun capres/cawapres yang mendeklarasikan kemunculan di daerah dengan mengambil waktu akhir pekan. Keadaan tersebut pasti akan diikuti oleh pengumpulan massa yang sering kali menimbulkan ekses negatif. Ekses negatif ini yang membuat sebagian masyarakat takut keluar rumah. Padahal akhir pekan adalah hari milik keluarga, sehingga yang terjadi adalah terganggunya ketenangan jiwa masyarakat.

Biaya sosial lainnya yang muncul adalah kekhawatiran munculnya pertikaian fisik antarpartai politik maupun antarpendukung capres/cawapres pada waktu berkampanye. Dampaknya tentu bukan hanya mereka yang bertikai, tetapi juga masyarakat kebanyakan. Kekhawatiran ini bukannya tidak beralasan. Lihat saja masing-masing capres/cawapres mengklaim dengan menyatakan diri sebagai pemenang pilpres berdasar quick count bukan menunggu hasil resmi real count dari KPU. Tindakan elite ini tentu akan mempengaruhi kondisi masyarakat di grassroots. Terlebih tahun ini pertama kalinya pilpres di Indonesia dengan kandidat hanya dua pasang calon. Saling serang antarpendukung juga terjadi di dunia maya. Hubungan keluarga, kerabat atau pertemanan menjadi renggang karena perbedaan pilihan. Benar-benar head to head yang membuat suhu politik memanas.

Belum lagi kalau masyarakat keliru memilih partai politik yang tidak berbobot. Kekeliruan ini akan sangat mungkin terjadi. Di satu pihak, sebagian besar masyarakat kita masih belum melek politik. Mereka hanya mampu melihat kebutuhan jangka pendek misalnya untuk memenuhi hidup sehari-hari. Mereka hanya akan mengikuti siapa yang dapat memberikan uang atau sembako lebih banyak. Janji politis tidak akan banyak berarti bagi sebagian masyarakat ini.

Di lain pihak, partai belum mendidik masyarakat. Proses pembelajaran rakyat belum dilakukan atau menjadikan rakyat sebagai subyek pemilu belum merupakan bagian dari platform partai. Sasaran partai masih diarahkan terhadap jumlah pemilih dengan tujuan akhir mencari kemenangan. Akibatnya kampanye partai bukan diarahkan untuk membahas atau mempromosikan kehebatan konsep membangun negara. Kampanye hanya diarahkan untuk penggalangan massa, sehingga money politic yang akan mampu menggaet suara. Partai yang demikian tentu tidak akan mampu menyuarakan suara pemilihnya. Dengan demikian kekeliruan memilih partai akan menjadi beban sosial bagi masyarakat yang sangat mahal. Semua yang disebut di atas itulah yang dimaksud dengan biaya sosial.

Mempertimbangkan besarnya biaya pemilu, baik dalam nilai rupiah maupun biaya sosial, maka sudah seharusnya peserta pesta demokrasi, dalam hal ini partai politik dan capres/cawapres, harus benar-benar menjadikannya bahan konsiderasi. Peserta pemilu akan menikmati kesempatan berpesta. Masing-masing partai maupun capres/cawapres akan menikmati sesuai dengan kepentingan politisnya. Namun setelah pesta berakhir dan berhasil meraih kemenangan, para pemenang harus benar-benar mengganti biaya pesta tersebut. Caranya yaitu dengan memperjuangkan kepentingan masyarakat, termasuk mereka yang tidak memilih partai atau capres/cawapres-nya. Jadi pesta kemenangan bukan hanya untuk dinikmati oleh kelompok pemenang. Pemenang juga diharap tidak menjadi penguasa, tetapi menjadi pelaksana pemerintahan. Sebab kekuasaan seharusnya tetap terletak ditangan rakyat.

Demikian pula bagi partai maupun capres/cawapres yang tidak berhasil memenangkan pesta ini. Mereka jangan semakin menambah beban sosial dengan menambah kekacauan. Sebaliknya, mereka diharapkan untuk mawas diri, sadar bahwa kekalahan harus disadari sebagai memberikan kesempatan memerintah kepada pihak lain dan tetap bertindak sebagai oposisi yang harus memberikan kritik produktif serta pengontrol jalannya pemegang pemerintahan.

Artikel ini termasuk Akuntansi Keperilakuan dalam aplikasi di dunia sosial. Dipublish Okezone.com hari Jum’at, 25 Juli 2014 pukul 08.24 WIB cek http://kampus.okezone.com/read/2014/07/25/367/1017906/pesta-demokrasi-biaya-sosial-masyarakat-sangat-besar

Fadly Alwahdy (@fadlyalw) – Direktur Komunitas Jago Akuntansi Indonesia