Y Generation, Post-Modernism, and Blue Economy

Oleh: M Akmal Adrianza

PAS FOTOIndonesia adalah negara yang luas dimana dua pertiga wilayahnya diselimuti lautan. Indonesia juga negara yang besar dengan 240 juta jiwa tercatat sebagai bagian dari rakyatnya. Potensi maritim Indonesia sangat besar, menurut para ahli bila dikelola dengan baik sektor maritim mampu menghasilkan angka 20.000 Triliun Rupiah atau 10 kali dari APBN sekarang. Luas pantai Indonesia lebih dari 81.000 Km menyimpan banyak sekali potensi pariwisata dan kebudayaan pesisir yang harus dikembangkan dan dikelola dengan baik.

Indonesia memiliki banyak sekali pemuda dimana pada tahun 2020-2035 nanti Indonesia akan mengalami bonus demografi, yaitu ketika jumlah penduduk usia produktif lebih dari usia non-produkfit atau dengan kata lain dependency ratio yang kecil. Namun bonus demografi bukanlah sebuah anugerah dan berkah yang bisa kita nikmati begitu saja. Bonus demografi adalah sebuah pedang bermata dua. Beberapa persyaratan perlu dipenuhi agar bonus demografi kelak menjadi anugerah untuk bangsa. Sebagian dari penduduk usia produktif  tersebut adalah generasi mereka yang lahir setelah tahun tahun 1980. Mereka adalah generasi Y. Mereka memiliki pemikiran yang terbuka, bebas, dan kritis, dan serba instant.

Generasi ini perlu diberikan pemberdayaan, pendidikan, dan pelatihan terbaik agar terciptanya masa depan Indonesia yang lebih baik. Kemajuan bangsa tergantung dengan kualitas para pemuda generasi Y. Ketika Generasi yang diharapkan tidak memenuhi harapan, maka masa depan Indonesia menjadi suram dan tidak menentu. Generasi ini selalu menuntut lebih terhadap pengembangan kapasitas diri mereka. Sifat interaktif, haus pengetahuan, dan tantangan adalah modal utama untuk mengelola Generation of Hope ini. Pemuda adalah pedang bermata dua, ketika mampu dikembangkan dengan baik maka menjadi pisau yang tajam untuk menusuk peradaban dunia. Ketika pemuda tidak memiliki kualifikasi yang mumpuni, maka mereka adalah guillotine yang dipasang oleh bangsa ini di leher nya sendiri.

Kapal Pemuda Nusantara  (KPN)  memiliki Tiga landasan yaitu Kepemudaan, Kebaharian, dan Kewirausahaan. Intisari landasan di atas akan diperoleh dalam berbagai kegiatan selama 30 hari pelayaran. Sebagai seorang pemuda sudah bukan masanya lagi untuk kita adu kepintaran di atas kertas, di atas kartu hasil study, ataupun adu siapa yang duduk di depan sewaktu wisuda. karena hal diatas adalah mutlak dan kewajiban kita kepada orang tua. Namun berlomba dalam berkarya dan memberikan manfaat kepada masyarakat adalah kewajiban kita kepada negara. Nilai-nilai kepemudaan ini menjadi Trend dengan terma Post-Modernisme, melakukan hal-hal kecil yang simpel, feasibel, dan relevant dengan pemberdayaan masyarakat.

Reformasi yang terjadi pada tahun 1998, adalah bentuk ketidakpuasan pemuda kepada pemerintahan kala itu. Mereka memberontak, berteriak, dan bergaduh menginginkan perubahan keadaan negara. Dahulu kesalahan yang dilakukan oleh penguasa dialihkan kembali kepada penguasa, diserukan dengan lantang dan dengan tangan mengepal; “Hey you, please do something!”. Pemuda kini berseru “See?  We have do something” atas  permasalahan dan kesalahan yang terjadi. Pemuda adalah tentang berbuat dan bertindak untuk kepentingan masyarakat dengan apa yang kita miliki. Semangat pemuda adalah semangat untuk melakukan perubahan. Alasan inilah yang mendasari banyaknya kegiatan berbasis sosial 2-3 tahun belakangan.

Peserta mengeksplor dan menjelajahi Hidden Paradises di Indonesia, setidaknya tujuh tempat singgah, untuk menguak potensi wisata bahari Indonesia, Kita dapati berbagai tempat yang memiliki keindahan alam namun belum terekspos dan tereksplor oleh Negara. Tempat-tempat tersebut menjadi tanggung jawab para pemuda dimasa depan untuk mengembangkannya. Ketujuh tempat tersebut adalah Kotabaru, Pulau Siau, Pulau Tahuna, Pulau Melounganue, Ternate, kabupaten Parigi Moutong, dan Pulau Muna.

Masing – masing daerah singgah memiliki destinasi wisata unggulan dan memiliki potensi untuk dikembangkan. Pantai Sulamadaha, Tepian pusat kota Kotabaru, Pantai Tahuna, dan Teluk Tomini adalah tempat dengan potensi terbesar karena 1) kemudahan akses 2) keindahan alam 3) fasilitas yang sudah ada. Industri Pariwisata memiliki dampak yang luas terhadap masyarakat karena pariwisata memiliki hubungan yang erat dengan industri kreatif dan industri mikro. Pariwisata adalah rangkaian dari beberapa sektor usaha yang terintegrasi menjadi satu. Industri transportasi, makanan dan minuman, garmen, restoran, kerajinan tangan, dan hiburan adalah industri-industri yang tumbuh bersama dengan pariwisata. Destinasi wisata dan sektor pendukung tidak bisa berkembang secara parsial. Sektor-sektor tersebut adalah sektor yang padat karya, sektor yang menyerap banyak tenaga kerja.

Potensi kelautan yang dibahas baru wisata, masih banyak potensi kelautan yang dimiliki Indonesia. Sumber daya alam seperti; minyak dan gas, mineral, dan logam mulia, Sumber energi terbarukan, kelautan dan perikanan, industri perkapalan, jasa pelabuhan, dan water sport belum dapat saya paparkan pada kesempatan kali ini. Ramuan dari maksimalisasi potensi-potensi diatas akan membawa Indonesia pada ekonomi berbasis kelautan atau Blue Economy. Blue economy juga berarti merubah sesuatu dari langka menjadi berlimpah atau “from scarcity becomes abundance”, setidaknya itulah Blue Economy di dalam buku” The Blue Economy: 10 years – 10 innovations – 100 million jobs “  karya Gunter Pauli.

Peran enterpreneur tentu tidak diragukan lagi di dalam roda perekonomian Indonesia. Enterpreneur seringkali dikaitkan dengan uang, kemewahan, kebebasan finansial, dan keleluasaan waktu. Kebanyakan seminar motivasi enterpreneur menekankan dan menawarkan hal-hal diatas sebagai daya tarik untuk menjadi pengusaha, dan tidak jarang dosen pun begitu untuk memotivasi mahasiswanya agar menjadi pengusaha. Iming-iming harta dan kebebasan menjadi doktrin dan motif utama untuk menjadi pengusaha, tidak jarang mendorong kepada sikap dan perilaku kapitalis dari para calon pengusaha. Haus akan harta, kekuasaan, dan kebebasan ternyata telah dipupuk jauh hari dari pelatihan, ceramah, dan seminar enterpreneur

Terima kasih kepada Prof Abdul Basith yang sudah menginspirasi kami untuk menjadi enterpreneur berjiwa sosial, yaitu seorang enterpreneur yang berguna dan bermanfaat di kehidupan sosial masyarakatnya biasa disebut enterpreneur yang signifikan. Seorang significcant enterpreneur adalah seorang yang memberikan hak lebih kepada karyawan, membahagiakan orang tuanya, peduli kepada anak-anak yatim piatu, dan  organisasi kerohanian. Seorang significcant enterpreneur menikmati indahnya berbagi dan mendapatkan kebahagiaan sejati dalam keberbagian. Dengan idealisme seperti itu, seorang significcant enterpreneur akan memberikan manfaat yang lebih besar kepada bangsa dan negara. Seorang significcant enterpreneur adalah orang yang menjalankan peran lebih dari enterpreneur biasa dan mereka akan dikenang oleh rakyat.

Setiap kebaikan yang diberikan kepada negara harus dikembalikan kepada negara dalam bentuk kebermanfaatan dan dampak sosial bagi masyarakat. Program ini akan menciptakan pemuda-pemuda yang mau dan mampu untuk berbagi kepada masyarakat apa yang mereka dapatkan dari program Kapal Pemuda Nusantara. Program ini akan mencetak para calon pengusaha yang berjiwa sosial dan mengedepankan kepentingan masyarakatnya. Program ini pula akan mencetak para pemimpin yang berwawasan luas, memahami kebudayaan Indonesia, dan kritis terhadap keadaan terkini. Program ini bukan program sembarangan yang menghabiskan anggaran negara, namun program ini adalah investasi dari negara untuk masa depan bangsa dan dunia kelak.

*Penulis merupakan Kontributor KJAI Chapter Sumatera Selatan dan Alumnus Universitas Sriwijaya

Ke Arah Mana Negara Seharusnya Maju?

Oleh: M. Akmal Adrianza

PAS FOTONegara maju, biasanya identik dengan kondisi ekonomi nya ataupun sumber daya manusianya. Kedua hal diatas memiliki hubungan yang vertikal-positif  yaitu semakin baik SDM nya semakin baik pula keadaan ekonomi negara tersebut. Saya akan menyampaikan pendapat saya mengenai negara maju dalam sudut pandang ekonomi, sesuai latar belakang saya.

Indikator negara maju dilihat dari segi ekonomi, pada hakikatnya sangat luas. Secara kasar dan fundamental, investor akan melihat pada indikator makro seperti: pertumbuhan ekonomi, inflasi, penyerapan tenaga kerja, paritas daya beli, dan lain-lain.

Angka dan Hanya Angka

Angka-angka tersebut mudah didapatkan. Kenapa? Karena banyak sekali cara untuk menyiasati angka-angka tersebut bahkan secara legal. Ambil contoh adalah RRT (republik rakyat Tiongkok), negara yang dalam 10 tahun terakhir adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Yaitu sampai dengan dua digit dengan angka pengangguran yang tinggi. Apakah itu baik? Belum tentu, karena tidak sedikit sindiran dan kritikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan data makro negeri tirai bambu itu.

Kita pernah mendengar tentang tenaga kerja yang dibayar rendah di RRT. Hal ini terjadi melalui manipulasi data statistik secara legal yaitu memanfaatkan definisi pengangguran terselubung. Satu buah mobil bisa dikerjakan oleh 10 orang, namun bila saya bisa mempekerjakan 20 orang kenapa tidak? Dengan fenomena itu, RRT menghasilkan angka pengangguran yang rendah namun tidak efisien. Ketidak efisienan ditanggung oleh para pekerja dengan bayaran yang rendah. Apakah hal ini legal? Ya, bila mereka memiliki pengeluaran diatas $2 dan memiliki jam kerja 40 jam seminggu.

Makna Di Balik Angka

ada beberapa indikator makro yang menurut saya menarik dan relevan dan bisa menggambarkan kondisi sebenarnya dari sebuah negara yaitu:

  1. koefisien gini, dan
  2. rasio pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan pekerjaan.

Koefisien Gini adalah rasio yang diperkenalkan oleh statistikus italia, Corrado Gini. Koefisien ini dapat menggambarkan kesenjangan pendapatan disuatu negara dimana angka 0 artinya tidak ada kesenjangan dan 1 adalah kesenjangan sempurna. Negara dengan tingkat distribusi terbaik adalah Denmark (0.25) dan negara dengan kesenjangan tertinggi adalah Namibia (0.70).

Sejatinya, pertumbuhan ekonomi adalah pertambahan pendapatan penduduk suatu negara. Pertambahan pendapatan lazimnya didapat melalui pekerjaan, maka pertumbuhan ekonomi akan menyediakan lapangan pekerjaan dan menambah pendapatan. Namun kedua angka tersebut tidak selalu seiring sejalan, pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja. Korelasinya tetap positif namun besarannya berubah.

Indonesia sendiri memiliki koefisien gini yang terus meningkat dan dampak dari pertumbuhan ekonomi terhadap penyediaan lapangan kerja yang besarannya terus menurun.

Jose Murija; Tiap Negara Memiliki “Maju” nya Sendiri

Pernyataan Presiden Uruguay, presiden yang juga dijuluki presiden termiskin di dunia, sempat menggelitik kuping para petinggi negara barat; “Bila rakyat Uruguay menginginkan negaranya maju seperti Eropa dan Amerika, dan begitupun seluruh negara di dunia, maka Bumi tidak akan sanggup memenuhi kebutuhan manusia” kurang lebih seperti itu pernyataan pemimpin negeri pemenang world cup pertama itu. Indikator makro seperti pendapatan perkapita, pengangguran, dan inflasi mengabaikan keberlangsungan faktor produksi. Berapa konsumsi pangan mereka dalam setahun? Konsumsi Energi mereka? Bagaimana dengan proses deforestasi? Bagaimana dengan laju pertumbuhan penduduk dan banyak hal lain yang tidak akan terjawab. Pernyataan Jose Murija sebenarnya bisa dijawab dengan Blue Economy dan Green Economy. Sayang sekali konsep itu belum mampu menjamah keseluruh lapisan dunia.

Bagaimana “Maju” nya Indonesia?

Bila kita pahami pernyataan Jose Murija, setiap negara memiliki identitas “Kemajuan” nya. Indonesia dengan jumlah penduduk 270 Juta bila mengikuti definisi “Maju” nya barat, akan membuat bumi pertiwi menangis karena tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyatnya. Rakyat Indonesia dan pemimpinnya harus paham kemana arah pembangunan negara. Setidaknya sadarilah bahwa kemajuan bukan hanya angka, negara maju bukanlah negara dengan rasio terbaik. Setiap negara memiliki identitasnya sendiri dan arah tujuannya sendiri . Kemajuan bangsa sudah tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dan landasaan Idiil Negara. Sebagai rakyat tentu kita tahu dan paham kemana arah kemajuan bangsa. Sekarang apakah kita ingin maju sesuai identitas bangsa atau malah belum paham tentang identitas bangsa?

*Penulis merupakan Kontributor KJAI Chapter Sumatera Selatan dan Alumnus Universitas Sriwijaya

Sistem Anggaran Tradisional

Sistem Anggaran Tradisional

Oleh: Elychia Roly Putri/Nelly Yulinda/Hajrahwati/Borisma Anastasia Sinaga

Penyunting Tulisan: Astrid Mega A

Terdapat 2 (dua) jenis dalam penganggaran pada sektor publik, yaitu anggaran tradisional dan anggaran pendekatan New Public Management (NPM).

Pada halaman ini, akan dibahas mengenai salah satu jenis penganggaran sektor publik yaitu anggaran tradisional.

Sistem Anggaran Tradisional (Traditional Budgeting System) adalah suatu cara penyusunan anggaran dimana tidak didasarkan atas pemikiran dan analisa rangkaian kegiatan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Adapun dua ciri utama dalam pendekatan Sistem Anggaran Tradisional yaitu cara penyusunan anggaran didasarkan atas pendekatan incrementalism. Penjelasannya, penekanan dan tujuan utama pendekatan tradisional adalah pada pengawasan dan pertanggungjawaban yang terpusat. Bersifat incrementalism artinya menambah dan mengurangi jumlah rupiah pada item-item anggaran yg sudah ada dengan data tahun sebelumnya. Masalah utama Sistem Anggaran Tradisional adalah tidak memperhatikan konsep Value For Money (VFM). Terdapat tiga konsep dalam VFM yaitu Ekonomi, Efisiensi, dan Efektivitas.

Ciri kedua dalam Sistem Anggaran Tradisional yaitu struktur dan susunan anggaran yang bersifat Line-item. Bersifat Line-item didasarkan atas sifat (nature) dari penerimaan dan pengeluaran. Masalah utama Sistem Anggaran Tradisional adalah tidak mampu mengungkapkan besarnya dana dikeluarkan untuk setiap kegiatan. Metode Line-item budget tidak memungkinkan item-item penerimaan atau pengeluaran yang telah ada dalam struktur anggaran.

Penyusunan anggaran dengan menggunakan struktur Line-item dilandasi alasan adanya orientasi Sistem Anggaran Tradisional yang dimaksud untuk mengontrol pengeluaran. Sistem Anggaran Tradisional disusun atas dasar sifat penerimaan dan pengeluaran seperti pendapatan dari pemerintah atasan, dan sebagainya.

Terdapat beberapa karakteristik pada Sistem Anggaran Tradisional, yaitu:

  1. sentralisasi,
  2. berorientasi pada input,
  3. tidak terkait dengan perencanaan jangka panjang,
  4. Line-item & incremantalism.
  5. batasan departemen yang kaku,
  6. menggunakan aturan klasik,
  7. vote accounting,
  8. prinsip anggaran bruto,
  9. bersifat tahunan.

Pada penerapan Sistem Anggaran Tradisional memiliki kelebihan dan kelemahan, antara lain:

Kelebihan:

  • Penyusunannya relatif mudah, sehingga dapat mengatasi rumitnya proses penyusunan anggaran;
  • Tidak memerlukan pengetahuan tinggi untuk memahami program-program baru karena banyak dari kegiatan tersebut dilanjutkan dari tahun sebelumnya.

Kelemahan:

  • Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang;
  • Sekat antara departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai dan berpeluang menimbulkan konflik;
  • Overlapping, kesenjangan dan persaingan antar departemen;
  • Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran investasi/ modal.

Pengukuran Kinerja Sektor Publik

Oleh: Elychia Roly Putri / Nelly Yulinda / Hajrahwati / Borisma Anastasia Sinaga

Penyunting Tulisan: Astrid Mega A

Keberhasilan sebuah organisasi sektor publik tidak dapat diukur semata-mata dari perspektif keuangan. Surplus atau defisit dalam laporan keuangan tidak dapat menjadi tolak ukur keberhasilan organisasi sektor publik. Oleh sebab itu, aspek pertanggungjawabannya tidak cukup hanya berupa laporan keuangan, tetapi juga harus dilengkapi dengan laporan kinerja.

Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk melakukan penilaian kinerja, yaitu untuk menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, program, atau kegiatan yang dilakukan oleh organisasi sektor publik. Pengukuran kinerja di sektor publik bukanlah hal yang mudah. Salah satu sebabnya adalah karena tidak adanya sebuah teknik atau cara yang baku untuk melakukannya.

Dalam melakukan pengukuran kinerja ada 2 jenis informasi yang digunakan, yaitu informasi finansial dan informasi non-finansial.

Penilaian laporan kinerja finansial diukur berdasarkan pada anggaran yang telah dibuat. Penilaian tersebut dilakukan dengan menganalisis varians (selisih atau perbedaan) antara kinerja aktual dengan yang dianggarkan. Analisis varians ini secara garis besar berfokus pada 2 hal, yaitu varians pendapatan dan varians pengeluaran.

Sedangkan informasi non-finansial digunakan untuk menambah keyakinan terhadap kualitas proses pengendalian manajemen. Jenis informasi ini dapat dinyatakan dalam bentuk variabel kunci (key variable) atau sering juga dinamakan key success factor. Variabel kunci ini merupakan variabel yang mengindikasikan faktor-faktor yang menjadi sebab kesuksesan organisasi.

Variabel kunci memiliki beberapa karakteristik, antara lain: (1) menjelaskan faktor pemicu keberhasilan dan kegagalan organisasi; (2) sangat volatile dan dapat berubah dengan cepat; (3) perubahannya tidak dapat diprediksi; (4) jika terjadi perubahan perlu diambil tindakan segera; dan (5) variabel tersebut dapat diukur, baik secara langsung atau melalui ukuran antara (surrogate). Contohnya unit kerja perusahaan air minum diukur dari jumlah debit air yang terjual, PLN diukur dari kWh yang terjual.

Hal yang dilakukan selanjutnya setelah mengidentifikasi variabel kunci adalah mengembangkannya menjadi indikator kinerja. Indikator kinerja tersebut dapat berbentuk faktor-faktor keberhasilan utama organisasi dan indikator kinerja kunci.

Faktor keberhasilan utama (critical success factors) adalah suatu area yang mengindikasikan kesuksesan kinerja unit kerja organisasi. Area ini merefleksikan preferensi manajerial dengan memperhatikan variabel-variabel kunci finansial dan non-finansial pada kondisi waktu tertentu. Critical success factors ini harus secara konsisten mengikuti perubahan yang terjadi dalam organisasi.

Sedangkan indikator kinerja kunci (key performance indicator) merupakan sekumpulan indikator yang dianggap sebagai ukuran kinerja kunci baik yang bersifat finansial maupun non-finansial untuk melaksanakan operasi dan kinerja unit bisnis. Indikator ini dapat digunakan oleh manajer untuk mendeteksi dan memonitor capaian kinerja. Penggunaan indikator kinerja penting untuk mengetahui apakah suatu aktivitas atau program telah dilakukan secara efisien dan efektif.  

Indikator untuk tiap-tiap unit organisasi berbeda-beda, tergantung pada tipe pelayanan yang dihasilkan. Dalam penetuan indikator kinerja perlu mempertimbangkan 5 komponen berikut, yaitu :

  1. biaya pelayanan,
  2. penggunaan,
  3. kualitas dan standar pelayanan,
  4. cakupan pelayanan,
  5. kepuasan (satisfaction).

Apa yang diukur dalam proses pengukuran kinerja?

Salah satu pendekatan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah sebuah konsep yang dikenal dengan Value for Money.

Konsep Value for Money ini merupakan indikator yang memberikan informasi kepada kita apakah anggaran (dana) yg dibelanjakan menghasilkan suatu nilai tertentu bagi masyarakatnya. Dalam konsep ini, indikator yang dimaksud adalah ekonomi, efisien, dan efektif.

Konsep ekonomi sangat terkait dengan konsep biaya untuk memperoleh unit input. Ekonomi berarti sumber daya input hendaknya diperoleh dengan harga lebih rendah (spending less), yaitu harga yg mendekati harga pasar.

Selanjutnya yaitu konsep Efisiensi. Efesiensi diukur dengan rasio antara output dengan input. Semakin besar output dibanding input, maka semakin tinggi tingkat efisiensi suatu organisasi.

Dan yang terakhir adalah konsep Efektivitas. Efektivitas merupakan ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Efektivitas tidak menyatakan tentang berapa besar biaya yang telah dikeluarkan untuk mencapai tujuan tersebut. Efektivitas lebih melihat apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang ditetapkan.

Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah

Oleh: Elychia Roly Putri / Nelly Yulinda / Hajrahwati / Borisma Anastasia Sinaga

Penyunting Tulisan: Astrid Mega A

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, Indonesia mulai menjalankan prinsip desentralisasi. Hal ini diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan adanya desentralisasi ini, diharapkan kinerja pemerintah dalam mengelola keuangan akan meningkat.

Kinerja Keuangan Daerah yaitu tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah. Kinerja Keuangan Daerah ini mencakup semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang.

Pemerintah telah membuat dasar hukum untuk Kinerja Keuangan Daerah yaitu pada Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

Bentuk Kinerja Keuangan Daerah yang digunakan yaitu berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur Laporan Pertanggungjawaban Kepala Daerah. Pengukurannya melalui perhitungan Rasio APBD yaitu perbandingan antara PAD X 100% terhadap bantuan pemerintah pusat atau provinsi dan pinjaman.

PAD yaitu Pendapatan Asli Daerah. PAD ini mengatur masalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah.

Kinerja keuangan dalam otonomi daerah memiliki 2 (dua) aspek, yaitu:

  1. Daerah diberi kewenangan mengurus pembiayaan daerah dengan kekuatan utama pada kemampuan PAD (Desentralisasi Fiskal).
  2. Pengelolaan keuangan daerah harus lebih akuntabel dan transparan.

Kedua aspek tersebut disebut sebagai reformasi pembiayaan atau Financing Reform. Kinerja Keuangan Daerah ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Oleh karena itu, daerah dalam pengelolaan keuangannya harus dilakukan secara ekonomis, efisien, efektif, partisipatif, transparansi, akuntabilitas dan keadilan.

Kinerja keuangan dapat dinyatakan baik yaitu ketika suatu daerah memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah.

Di era reformasi ini, keuangan daerah memiliki 3 (tiga) sisi, yaitu penerimaan, pengeluaran, dan pembiayaan. Pembiayaan ini merupakan era pra reformasi keuangan daerah. Yang menjadi pembeda dari pembiayaan ini yaitu adanya pos pembiayaan yang merupakan upaya agar APBD semakin informatif. Informatif yang dimaksud adalah di dalam APBD dilakukan pemisahan akun pinjaman dari pendapatan daerah.

AcuanAgustina, Oesi. 2013. Analisis Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah dan Tingkat Kemandirian Daerah Di Era Otonomi Daerah. Jurnal. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Jurusan Ilmu Ekonomi. Universitas Brawijaya.