Oleh: M. Reza Ar Rizky M/Hatma Wiganti/Siti Masfiroh/Rezha Trisna Yuli
Pasar modal dapat diartikan sebagai kegiatan mengenai penawaran umum dan perdagangan efek perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek. Nah, pasar modal syariah memiliki karakteristik khusus dibandingkan dengan pasar modal konvensional. Bedanya adalah adanya pemenuhan prinsip syariah dalam menciptakan produk, membuat kontrak dalam penerbitan efek syariah, melakukan transaksi perdagangan, serta melakukan aktivitas pasar modal lainnya.
Apa saja prinsip syariah yang harus dipenuhi? Beberapa diantaranya: aktivitasn harus terhindar dari unsur judi (maysir), ketidakpastian (gharar), bunga (riba), dan ketidakadilan. Pasar modal syariah di Indonesia ternyata bukan hal baru di Indonesia. Perkembangan pasar modal syariah diawali dengan penerbitan reksadana syariah pada tahun 1997 oleh PT. Dana Reksa Investment Management, kemudian dilanjutkan dengan kerjasama antara PT. Dana Reksa Investment Management dan Bursa Efek Indonesia pada 2000. Kerjasama tersebut berupa disusunnya Jakarta Islamic Index (JII) yang bertujuan untuk membantu investor berinvestasi secara syariah.
Pada 2002, obligasi syariah (sukuk) pertama kali diterbitkan di Indonesia oleh PT. Indosat Tbk. Ternyata kehadiran beberapa instrumen keuangan syariah tersebut mendapat perhatian yang positif dari berbagai pihak hingga akhirnya pada 14 Maret 2003, BAPEPAM-LK dan DSN-MUI menandatangani MOU untuk mengembangkan Pasar Modal Syariah. Pemerintah juga tak ketinggalan, tahun 2008 pemerintah menerbitkan Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN) dalam bentuk sukuk.
Nah, secara umum pasar modal syariah memiliki beberapa produk, antara lain saham Syariah yang merupakan unit penyertaan dari reksadana syariah dan obligasi syariah (sukuk). Apabila dilihat perkembangan pasar modal syariah, saat ini memang produk-produknya terus berkembang dan bersaing dengan pasar konvensional. Pada akhir 2014, indeks saham syariah yang tersedia di Bursa Efek Indonesia adalah Indeks Saham Syariah Indonesia (ISSI) dan JII.
ISSI merepresentasikan kinerja perdagangan seluruh saham syariah yang tercatat di bursa, sedangkan JII merepresentasikan 30 saham syariah dengan kapitalisasi pasar terbesar dan yang paling likuid diperdagangkan. Di akhir tahun 2014 kapitalisasi pasar ISSI mencapai Rp2946,9 triliun atau sktr 56,37% dari total kapitalisasi pasar saham keseluruhan. Kapitalisasi JII pada akhir tahun 2014 mencapai Rp1.944,5 triliun atau sekitar 37,19% dari total kapitalisasi pasar saham keseluruhan. Kapitalisasi pasar sukuk korporasi adalah 3.18% atau sebesar 7,11 triliun dari total obligasi dan sukuk yang beredar yaitu Rp223,46 triliun.
Porsi sukuk korporasi dibandingkan obligasi konvensional masih sangat kecil. Begitu juga keadaan dengan reksadana syariah, proporsinya mencapai 8.31% dari 894 reksadana aktif. Nilai Aktiva Bersih (NAB) dari reksadana syariah mencapai 4.65% dari total NAB reksadana aktif sebesar Rp241,262 triliun. Perkembangan sukuk dan reksadana yang terus meningkat ternyata masih belum sebanding dengan market share yang dimiliki. Butuh peran aktif dan sinergi dari berbagai macam pihak untuk mengembangkan pasar modal syariah ini agar tujuannya dapat tercapai.
Nah, sebenarnya tujuan dari adanya pasar modal syariah ini apa saja? Visi dari pasar modal syariah yang diusung oleh OJK adalah menjadi pasar modal syariah yang memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian nasional, berkeadilan, dan melindungi kepentingan rakyat.
Dengan prinsip syariah, pasar modal syariah diharapkan dapat memberikan alternatif media investasi yang lebih berkah karena setiap aktivitas dan mekanismenya telah dijamin sesuai dengan prinsip syariah. Walaupun demikian, kita masih perlu untuk mengkritisi beberapa praktik yang dirasa kurang sesuai dengan prinsip syariah agar kedepannya tujuan dari ekonomi syariah yaitu kemaslahatan umat dapat tercapai dengan praktik yang sesuai dengan prisnsip syariah.
*Penyunting Tulisan: Malinda Sari Sembiring
Komentar Terbaru