Oleh: Aisyah Aulia Vianida, Arif Swandaru, Ria Guslimawati, Ivana Purnamasari, Hardianty Munawir

Pada dasarnya dalam dunia bisnis perusahaan pasti pernah terlibat dalam situasi dimana terjadi ketidakpastian. Hal ini bisa berupa kewajiban untuk mentransfer kas atau aset yang lain telah timbul atau berapa jumlah yang akan diminta untuk melunasi suatu kewajiban. Contoh ketidakpastian misalnya ada perusahaan yang terkena kasus hukum, tapi pada 31 Desember atau saat tutup buku belum jelas apakah perusahaan harus membayar denda atau terbebas dari tuntutan. Adanya ketidakpastian seperti contoh di atas membuat perusahaan harus membuat sebuah provisi atau kontinjensi.

Sebelum kita masuk lebih dalam lagi, kita harus tahu perbedaan dari provisi dan kontinjensi. Berdasarkan PSAK 57, provisi didefinisikan sebagai liabilitas yang waktu dan jumlahnya belum pasti. Provisi diakrualkan dengan membebankannya ke beban dan kewajiban serta dicatat  hanya jika memenuhi tiga kondisi yaitu:

  1. Entitas memiliki kewajiban kini (baik bersifat hukum maupun bersifat konstruktif) sebagai akibat peristiwa masa lalu,
  2. Kemungkinan besar penyelesaian kewajiban tersebut mengakibatkan arus keluar sumber daya yang mengandung manfaat ekonomi,
  3. Jumlah kerugian dapat diestimasi secara layak. Estimasi yang layak dilihat dari pengalaman, nasehat pengacara dan lain-lain.

Sedangkan kontinjensi didefinisikan sebagai kewajiban kini yang timbul sebagai akibat peristiwa masa lalu, tapi tidak diakui karena tidak terdapat kemungkinan besar entitas mengeluarkan sumber daya untuk menyelesaikan kewajibannya; atau jumlah kewajiban tersebut tidak dapat diukur secara andal.

Jika besar kemungkinan bahwa kewajiban kini belum ada pada akhir periode pelaporan, entitas mengungkapkan (disclose) kewajiban kontinjensi. Selain kewajiban kontinjensi, terdapat pula yang dinamakan aset kontinjensi, klaim atau hak untuk menerima aset yang keberadaannya tidak pasti tapi pada akhirnya mungkin jadi sah. Contoh aset kontinjensi yang paling umum itu berkaitan dengan penerimaan yang mungkin atas uang dari hadiah, sumbangan, bonus, kemungkinan pengembalian dana dari pemerintah atas kelebihan pajak, penundaan kasus pengadilan yang hasilnya mungkin menguntungkan, dan kerugian pajak yang mungkin dikompensasi ke depan.  Aset kontinjensi ini tidak perlu diakui, hanya di-disclose saja, sama seperti kewajiban kontinjensi.

Jika kita rangkum peluang keterjadian dari suatu ketidakpastian, maka kita akan mendapatkan tiga kondisi, yakni:

  1. Probable atau kemungkinan keterjadian sangat tinggi, dalam kondisi ini perusahaan mencatat provisi.
  2. Reasonably possible atau peluang kejadian masa depan terjadi lebih besar dari pada kemungkinan tidak terjadi, namun masih di bawah tingkat kemungkinan probable. Dalam kondisi ini, perusahaan melakukan disclosure kewajiban kontinjensi.
  3. Remote yaitu peluang dimana kejadian masa depan terjadi sangat kecil sehingga tidak perlu diungkapkan.

Contoh yang pertama adalah perkara pengadilan dan klaim. Perkara pengadilan dan klaim biasanya sulit untuk ditentukan nilai rupiah yang akan ditanggung oleh perusahaan. Untuk itu biasanya kasus ini hanya perlu di-disclose tanpa mengakui kewajiban diestimasi. Untuk menentukan harus di-disclose atau tidak,  ada bebrapa faktor yang harus diperhitungkan,

  • Periode waktu dimana penyebab tindakan yang mendasari terjadi.
  • Probabilitas hasil yang tidak menguntungkan.
  • Kemampuan untuk membuat estimasi yang layak atas jumlah kerugian.

Jika kasus hukum tersebut menimbulkan kewajiban di masa yang akan datang berupa arus keluar sumber daya, peluang keterjadiannya mungkin (reasonably possible), dan terjadi sebelum laporan keuangan release (walaupun lebih dari 31 Desember), maka perusahaan wajib memberikan disclosure atas kasus tersebut.

Contoh kedua yakni biaya garansi dan jaminan. Biaya garansi dan jaminan adalah contoh dari provisi yang wajib untuk dicatat kewajiban diestimasi karena kewajiban ini biasanya dapat diestimasi dan diukur secara andal dan memiliki probablitas keterjadian yang sangat tinggi.

Nah untuk mencatat biaya jaminan ini, perusahaan menggunakan dua metode dasar akuntansi yaitu metode dasar kas & metode akrual. Untuk metode dasar kas biaya jaminan (warranty expense) dicatat sebagai beban pada saat penjual mengeluarkan kas untuk menepati jaminan itu. Metode kas ini diwajibkan apabila kewajiban jaminan tidak diakrualkan pada tahun penjualan karena tidak mungkin bahwa kewajiban telah terjadi atau jumlah kewajiban tidak dapat diestimasi dengan layak. Untuk metode akrual digunakan jika pelanggan mengajukan klaim menurut jaminan yang berhubungan dengan barang/jasa yang telah dijual. Menurut metode akrual, biaya jaminan dibebankan ke beban operasi pada tahun penjualan. Contoh metode akrual, pada 31 Desember dr. Warranty expense, cr. Cash senilai biaya jaminan yang telah dikeluarkan dan jurnal tambahan dr. Warranty expense, cr. Warranty liability senilai sisa estimasi biaya jaminan yang belum terealisasi.

Penyunting Tulisan: Malinda Sari Sembiring