Oleh: Tim Prodi Akuntansi Syariah
Al-sharf secara etimologi artinya Al-Ziyadah (penambahan), Al-‘Adl (seimbang), penghindaran, pemalingan penukaran, atau transaksi jual beli. Kadang-kadang Al-Sharf dipahami berasal dari kata Sharafa yang artinya membayar dengan penambahan. Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Atau sharf (money changing) adalah menjual nilai sesuatu dengan nilai sesuatu yang lain, meliputi emas dengan emas, perak dengan perak, dan emas dengan perak. Dalam kamus istilah fiqh disebutkan bahwa Ba’i Sharf adalah menjual mata uang dengan mata uang (emas dengan emas).
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa Al-Sharf ialah pertukaran antara uang satu dengan uang lain yang sejenis atau mata uang satu dengan mata uang lain. Mengapa kita perlu bahas Sharf? Karena persoalan perdagangan valuta asing telah menjadi sangat populer, umum dan hampir dilakukan serta diterima sebagai suatu transaksi yang dipraktikkan di seluruh dunia. Tidak ada sistem ekonomi suatu negara mengalami kemajuan tanpa berhubungan dengan perdagangan valuta asing. Oleh sebab itu selayaknya perdagangan valuta asing diterima dan diadopsi sebagai suatu kebutuan di bidang ekonomi dan bermanfaat serta sulit sekali dipisahkan dari dunia modern. Maka ekonomi Islam memberi solusi dengan adanya permasalahan ini. Rukun Sharf yaitu terdapat penjual (bai’), pembeli (musytari’), mata uang yang diperjualbelikan (sharf), nilai tukar (si’rus sharf) dan ijab qabul (sighat).
Perlakuan akuntansi akad sharf sebelumnya diatur di dalam PSAK Nomor 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah paragraf 145-146. Sejak 1 Januari 2016 lalu Dewan Standar Akuntansi Syariah (DSAS) telah menetapkan secara efektif pernyataan ED PPSAK 101 mengenai pencabutan atas PSAK Nomor 59, namun sampai saat ini belum ada SAK khusus yang mengatur akad sharf. Dalam PSAK Nomor 59 paragraf 145-146 menjelaskan pengakuan dan pengukuran pendapatan sharf sebagai berikut:
1. Selisih antara kurs yang diperjanjikan dalam kontrak dan kurs tunai (mark to market) pada tanggal penyerahan valuta diakui sebagai keuntungan/kerugian pada saat penyerahan/penerima dana.
2. Selisih penjabaran aktiva dan kewajiban valuta asing dalam rupiah (revaluasi) diakui sebagai pendapatan atau beban.
Aplikasi Dan Ilustrasi
1. Transaksi dalam valuta asing dijabarkan ke dalam rupiah menggunakan kurs laporan (penutupan) yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, yaitu kurs tengah yang merupakan rata-rata kurs beli dan kurs jual berdasarkan kurs Reuters pada pukul 16.00 WIB setiap hari.
2. Transaksi Dalam melakukan pencatatan transaksi mata uang asing terdapat dua metode yang dapat digunakan yaitu:
a. Single Currency (Satu Jenis Mata Uang)
Single Currency adalah pencatatan transaksi mata uang asing dengan membukukan langsung ke dalam mata uang dasar (base currency) yang digunakan untuk Perbankan Indonesia yaitu mata uang rupiah/Indonesia Rupiah (IDR). Karakteristik dari Single Currency adalah sebagai berikut:
– Neraca yang diterbitkan hanya dalam mata uang rupiah;
– Saldo rekening dalam mata uang asing dicatat secara extracomptable;
– Penjurnalan tidak menggunakan akun rekening perantara mata uang asing;
– Penjabaran (revaluasi) saldo rekening mata uang asing dilakukan langsung per rekening yang bersangkutan.
b. Multi Currency (Lebih dari Satu Jenis Mata Uang)
Multi Currency adalah pencatatan transaksi mata uang asing dengan membukukan langsung ke dalam masing-masing mata uang asing asal (original currency) yang digunakan pada transaksi tersebut. Karakteristik dari Multi Currency adalah sebagai berikut:
– Neraca dapat diterbitkan dalam setiap mata uang asing asal (original currency) yang digunakan;
– Untuk mengetahui posisi keuangan gabungan seluruh mata uang, diterbitkan neraca dalam base currency (untuk perbankan Indonesia digunakan mata uang rupiah);
– Tidak diperlukan pencatatan saldo rekening dalam valuta asing secara extracomptable;
– Penjurnalan menggunakan akun rekening perantara; dan
– Penjabaran (revaluasi) saldo rekening mata uang asing dilakukan melalui rekening perantara mata uang asing. Penjabaran ekuivalen rupiah dari rekening-rekening tersebut hanya dilakukan dalam rangka pelaporan neraca.
3. Pengakuan laba rugi jual beli (trading) dapat dilakukan pada saat terjadinya transaksi atau pada saat revaluasi. Revaluasi dapat dilakukan pada akhir hari atau akhir bulan disesuaikan dengan kebijakan bank yang bersangkutan.
4. Untuk tujuan laporan keuangan di akhir periode, aset moneter (piutang dan utang) dalam satuan valuta asing juga akan dijabarkan dalam satuan rupiah dengan menggunakan kurs tengah Bank Indonesia pada tanggal laporan keuangan. Jurnal penyesuaiannya adalah sebagai berikut:
a. Jika nilai kurs tengah BI lebih kecil dari nilai kurs tanggal transaksi
Dr. Kerugian xxx
Cr. Piutang (valas) xxx
Dr. Utang (valas) xxx
Cr. Keuntungan xxx
b. Jika nilai kurs tengah BI lebih besar dari nilai kurs tanggal transaksi
Dr. Piutang (valas) xxx
Cr. Keuntungan xxx
Dr. Kerugian xxx
Cr. Utang (valas) xxx
Praktek Sharf Dalam Perbankan Syariah
Valas adalah singkatan dari valuta asing. Yang dimaksud dengan valuta asing ialah mata uang luar negeri, seperti dolar Amerika, Poundsterling Inggris, Ringgit Malaysia dan sebagainya. Apabila antara negara terjadi perdagangan internasional, maka tiap negara membutuhkan valuta asing untuk alat bayar luar negeri, yang dalam dunia perdagangan disebut devisa. Misalnya, importir Indonesia memerlukan devisa untuk mengimpor barang dari luar negeri untuk membayar barang-barang impor tersebut. Maka, importir membutuhkan mata uang asing.
Demikian juga misalnya, bila sebuah perusahaan di Indonesia mengekspor barang ke Jepang, maka diperlukan pertukaran mata uang asing. Pembayaran oleh Jepang untuk perusahaan Indonesia harus dengan mata uang lokal, rupiah. Sementara importir Jepang hanya memiliki mata uang yen. Maka, dalam hal ini ada dua kemungkinan yang dapat ditempuh, guna memenuhi kebutuhan transaksi antara eksportir Indonesia dan importir Jepang tersebut.
Pertama, bila eksportir Indonesia menagih dalam bentuk rupiah, maka importir Jepang harus menjual yen dan membeli rupiah untuk membayar barang yang diimpor dari Indonesia.Kedua, bila eksportir Indonesia dibayar dengan mata uang yen, maka eksportir Indonesialah yang harus menukar yen itu ke rupiah. Dengan demikian, akan timbul penawaran dan permintaan devisa di bursa valuta asing. Transaksi antara dua negara dapat juga diselesaikan dengan menggunakan mata uang negara ketiga, misalnya dolar.
Hal ini bisa terjadi bila eksportir maupun importir tidak memiliki mata uang lokal negara masing-masing atau mata uang kedua negara itu sangat jarang diperdagangkan karena mata uangnya sangat lemah. Ini berarti mata uang yang dipergunakan itu adalah mata uang yang populer di kedua negara itu, misalnya dolar.
Perbankan Syariah sebagai lembaga keuangan yang memfasilitasi perdagangan internasional tidak dapat menghindari diri dari keterlibatannya pada pasar valuta asing. Perbankan syariah harus menyusun pedoman kerja operasional agar dapat mempunyai akses yang luas ke pasar valuta asing tanpa harus terlibat pada mekanisme perdagangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
Aktifitas perdagangan valuta asing harus terbebas dari unsur riba, maisir dan gharar. Dalam pelaksanaannya haruslah memperhatikan beberapa batasan berikut:
1. Pertukaran tersebut harus dilakukan secara tunai (spot), artinya masing-masing pihak harus menerima/menyerahkan masing-masing mata uang pada saat yang bersamaan.
2. Motif pertukaran adalah untuk kegiatan bisnis sektor riil, yaitu transaksi barang dan jasa, bukan dalam rangka spekulasi.
3. Harus dihindari jual beli bersyarat. Misalnya, si A setuju membelinya kembali pada tanggal tertentu di masa mendatang.
4. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
5. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai atau dengan kata lain, tidak dibenarkan jual beli tanpa hak kepemilikan (ba’i al-fudhuli) .
Dengan memperhatikan beberapa batasan tersebut, terdapat beberapa tingkah laku perdagangan yang dewasa ini biasa dilakukan di pasar valuta asing konvensional harus dihindari, yaitu antara lain:
1. Perdagangan tanpa penyerahan (future non delivery trading atau margin trading).
2. Jual beli valas bukan transaksi komersial (arbitrage) baik spot maupun foward.
3. Melakukan penjualan melebihi jumlah yang dimiliki atau dibeli (oversold)
4. Ekonomi syariah juga melarang transaksi swap.
Sekian pembahasan kali ini mengenai Akad Sharf. Semoga bermanfaat ya, Sob
Keep learning, sharing, inspiring…
Komentar Terbaru