Akuntansi Keuangan Akuntansi Sekuritas Pendilusi part. 2

Sekuritas Pendilusi (Pendilusi Securities)

Sekuritas pendilusi merupakan sekuritas yang dapat diubah menjadi saham biasa dan perubahan tersebut berakibat pada pengurangan (dilution) laba per lembar saham.

Contoh sekuritas pendilusi adalah convertible bonds, convertible preferred stock, stock warrants.

Gogo kali ini bahas 3 contoh sekuritas pendilusi nya ya sob!

 

1. Utang dan Ekuitas ( Debt & Equity )

Banyak kontroversi  yang terkait dengan perlakuan akuntasi untuk instrumen keuanga seperti opsi saham, sekuritas konvertibel, dan saham preferen berhubungan dengan apakah perusahaan harus melaporkan intrumen intrumen ini sebagian kewajiban (liability) ataukah sebagai ekuitas. Misalnya, perusahaan harus menggolongkan saham yang tidak dapat ditembus (nonredeemable) sebagai ekuitas karena perusahaan penerbitnya tidak memiliki kewajiban(obligation) untuk membayar dividen atau membeli kembali saham. Pengumuman dividen adalah kebijakan perusahaan penerbit, demikian pula mengenai keputusan untuk membeli kembali saham tersebut. Demikia pula, saham preferen yang tidak dapat ditebus tidak mengharusakan perusahaan penerbitnya untuk membayar dividen atau membeli sahamnya kembali. Oleh karena itu, saham biasa atau saham preferen yang dapat ditebus tidak mempunyai karakteristik kewajiban yang penting kewajiban untuk membayar pemegang saham biasa atau saham preferen pada suatu saat dimasa depan.

Sekuritas yang mempunyai dua karakteristik, baik sebagai hutang maupun ekuitas. Misalnnya, obligasi koonvertibel mempunyai karakteristik baik sebagai hutang maupun ekuitas.  Sekuritas konvertibel di samping opsi, warna, dan sekuritas yang lain sering kali disebut sebagai sekuritas dilutif (dilutive securities), karena pada saat pengurangan (exercise), sekuritas ini akan mengurangi / mendilusi laba per saham.

 

2. Utang Terkonversi ( Debt Converted )

Aset dan kewajiban finansial merupkan pos-pos statemen keuangan sebagai konsekuensi adanya instrumen finansial. Instrumen finansial pada dasarnya merupakan alat pembayaran atau penjaminan sehingga dapat digunakan oleh pemegangnya untuk melunasi utang. Utang terkonversi (convertible debt) merupakan salah satu instrumen finansial tersebut. Karakteristik obligasi konversi menimbulkan masalah akuntansi pada saat pengakuan, pengkonversian, dan pelunasan.

Karena bersifat kewajiban dan ekuitas, masalah pada saat pengakuan adalah apakah harga penerbitan (kos) obligasi harus dipecah menjadi porsi yang merepresentasi utang obligasi (masuk kewajiban) dan porsi yang merepresentasi hak konversi (masuk ekuitas) atau harga penerbitan tidak dipecah dan utang terkonversi dianggap utang semata-mata.

Terdapat dua perbedaan pendapat mengenai hal tersebut. Pendukung pemisahan berpendapat bahwa hak konversi dapat dinilai karena hak tersebut tidak berbeda dengan hak beli saham. Sementara itu, pendukung semata-mata utang mengatakan seballiknya. Landasan mereka dalam memperlakukan utang terkonversi semata-mata sebagai utang adalah ketidakterpisahan (inseparability) dan kepraktisan (practicality). Hal ini pula yang menjadi basis APB dalam memandang nilai obligasi dan hak konversi sebagai satu kesatuan.

Jika obligasi dapat dikonversi menjadi sekuritas perusahaan lainnya selama periode tertentu sesudah penerbitnya, maka obligasi tersebut disebut sebagai Obligasi konvertibel (convertible bonds). Obligasi konvertibel menggabungkan manfaat dari sebuah obligasi dengan hak istimewa (privilege) untuk menukarnya dengan saham pada opsi pemegang saham. Obligasi itu dibeli oleh investor yang menginginkan keamanan atas obligasi yang dipegangnya (jaminan bunga dan pokok) ditambah opsi tambahan berupa konversi jika nilai saham tersebut meningkat secara signifikan.

Perusahaan menerbitkan sekuritas konvertibel karena dua alasan utama. Pertama adalah keinginan untuk meningkatkan modal ekuitas tanpa memberikan pegendalian kepemilikan yang berlebihan kecuali diperlukan. Untuk mengilustrasikannya, asumiskan bahwa perusahaan ingin mendapat $1.000.000 pada saat saham biasanya dijuah seharga $45 persaham. Penerbitan seperti ini akan membutukan penjualan sebanyak 22.222 saham (dengan mengabaikan biaya penerbitan). Dengan menjual 1.000 Obligasi pada nilai pari $1.000, yang masing masing dapat dikonversi menjadi 20 lembar saham biasa, perusahaan dapat memperoleh $1.000.000 dengan hanya menerbitkan 20.000 lembar saham biasa.

Alasan kedua mengapa perusahaan menerbitkan sekuritas konvertibel adalah untuk memperoleh pembiayaan dengan saham biasa pada suku bunga yang rendah. Banyak perusahaan hanya dapat menerbitkan hutang pada suku bunga yang tinggi, kecuali jika perjanjian konvertibel dicantumkan. Hak istimewa atau privilage konversi membuat para investor bersedia menerima suku bunga yang lebih rendah dibandingkan penerbitan hutang secara normal. Sebagi contoh, Amazon.com baru baru ini menerbitkan obligasi konvertibel yang membayar bunga pada hasil efetif 4,75% yang lebih rendah daripada yang harus dibayar Amazon.com jika menerbikan hutang langsung. Pada suku bunga yang lebih rendah  ini, investor memperoleh hak untuk memberli saham biasa amazon.com pada harga yang tetap sampai jatuh tempo.

Akuntasi untuk hutang konvertibel mencakup masalah pelaporan pada saat (1) penerbitan, (2) konversi, (3) penarikan.

 

  • Pada Saat Penerbitannya

Metode pencatatan obligasi konvertibel pada tanggal penerbitan mengikuti metode yang digunakan untuk mencatat penerbitan hutang langsung. Tanpa mencatat hasilnya sebagai ekuitas. Setiap diskonto atau premi yang dihasilkan dari penerbit obligasi konvertibel diamortisasi hingga tanggal jatuh tempo. Mengapa perilakunya seperti ini? Karena sulit untuk memprediksikan kapan, secara keseluruhan, konversi akan terjadi. Akan tetapi, akuntansi untuk hutang  konvertibel sebagai penerbitan huatng langsung bersifat kontroversial.

 

  • Pada Saat Konversi

Jika obligasi dikonversi menjadi sekuritas lainnya, maka  perusahaan metode nilai buku untuk mencatat konversi. Metode niali buku mencatat pertukaran sekuritas untuk obligasi pada jumlah tercatat (nilai buku) obligasi.

Illustration :

Hilton Inc. Menerbitkn suatu obligasi konvertibel senilai $1,000 yang dapat di konversi menjadi 10 Lembar saham biasa  (nilai pari $10). Pada saat konversi, premi yang belum diamortisasi adalah $50. Ayat jurnal untuk konversi obligasi Hilton Inc. Adalah :

Jurnal :

                  Hutang Obligasi                                   $1,000

                  Premi Atas Hutang Obligasi                 $50

                                          Saham Biasa                                        $100

                                          Agio Saham                                         $950

 

Para pendukung pendekatan niali buku menyatakan bahwa suatu perjanjian telah ditetapkan pada tanggal penerbitan untuk membayar sejumlah uang yang di tetapkan pada saat jatuh tempo atau untuk menerbitkn sejumlah sekuritas ekuitas yang telah ditetapkan. Maka dari itu apabila huatng dikonversi menjadi ekuitas sesuai dengan syarat-syarat kontrak sebelumnya, maka tidak ada keuntungan atau kerugian yang diakui atas konversi.

 

 

  • Konversi Yang di Rangsang ( Induced Conversion )

Kadang-kadang penerbit ingin merangsang lebih cepat konversikan hutang konvertibelnya menjadi sekuritas ekuitas, dengan tujuan mengurangi biaya bunga atau meningkatkan rasio hutang terhadap ekuitas. Sebagai akibatnya, penerbit dapat menawarkan beberapa bentuk pertimbangan tambahan ( seperti kas atau saham biasa ) atau di sebut “pemanis” (sweetener), untuk merangsang konversi. “Sweetener” ini harus dilaporkan sebagai beban periode berjalan dalam jumlah yang sama dengan nilai wajar sekuritas tambahan atau pertimbangan lain yang diberikan.

Illustration :

Helloid, Inc. mempunyai obligasi konversi dengan nominal  $1,000,000. Obligasi dapat dikonversikan dengan 100,000 saham biasa  (nominal $1). Ketika dijual  Helloid mencatat agio saham-ekuitas konversi  $15,000. Helloid berkeinginan untuk mengurangi biaya bunga dengan mendorong pemilik obligasi untuk mengkonversi menjadi saham. Helloid setuju untuk membayar  $80,000 bila obligasi dikonversi menjadi saham biasa.

 

Jurnal Saat Konversi :

Biaya konversi                         $65,000

Agio Saham-Ekuitas Konversi $15,000

Utang Obligasi                         $1,000,000

                        Modal saham biasa                                  $100,000

                        Agio  Saham Biasa                                    $900,000

                        Kas                                                                  $80,000

 

Beberapa akuntan berpendapatan bahwa biaya perangsangan konversi adalah biaya untuk memperoleh modal ekuitas. Hal ini harus di akui sebagai biaya (pengurangan dari) modal ekuitas yang diperoleh dan bukan sebagai beban. Jika diperlukan tambahan pembayaran untuk membuat para pemegang obligasi mengkonversinya, maka pembayaran tersebut adalah untuk jasa (pemegang obligasi mengkonversikan pada waktu tertentu) dan harus dilaporkan sebagai beban. Beban ini tidak boleh dilaporkan perusahaan penerbit sebagai pos luar biasa.

 

  • Penarikan Hutang Konvertibel ( Withdrawal of Convertible Debt )

Metode pencatatan penerbitan obligasi konvertibel mengikuti metode yang digunakan dalama mencatat penerbitan hutang langsung. Secara khusus hal ini berarti bahwa tidak ada bagian dari hasil yang ahrus berasal dari karateristik konversi dan dikreditkan ketambahan modal disetor.

Keuntungan atau kerugian atas penarikan hutang konvertibel perlu diakui dengan cara yang sama seperti pada keuntungan atau kerugian atas penarikan hutang nonkonvertibel. Perbedaan antara harga tunai akusisi hutang dan jumlah tercatatnya harus dilaporkn dalam laba berjalan sebagai keuntungan atau kerugian.

3. Saham Preferen Terkonversi ( Convertible Preference Shares )

Saham preferen terkonfersi (convertible preference shares) mencakup opsi bagi pemegang untuk mengkonversi saham preferen menjadi saham biasa dengan jumlah tetap. Perbedaan utama akuntansi untuk obligasi konvertibel dan saham preferen konvertibel adalah pada tanggal penerbitannya: Obligasi konvertibel di anggap sebagai kewajiban, sedangkan saham preferen konvertibel (kecuali ada penebusan wajib) dianggap sebagai bagian dari ekuitas pemegang saham.

Ketika pemegam saham menggunakan saham preferen terkonversi, tidak ada justifikasi teoritis untuk mengakui keuntungan atau kerugian. Tidak ada keuntungan atau kerugian yang diakui pada saat perusahaan bertemu dengan pemegam saham dalam kapasitasnya sebagai pemilik usaha. Oleh karena itu, perusahaan tidak mengakui keuntungan atau kerugian pada saat pemegang saham menggunakan saham preferen terkonversi.

 

Illustration 1:

Morse Company mengeluarkan  1,000 lembar Saham Preferen Konversi dengan nominal  €1 per lembar. Saham dijual pada harga  €200 .

Jurnal :

Kas (1,000 x €200)                                             €200,000

Modal saham Preferen (1,000 x €1)                                €1,000

Agio Saham- ekuitas konversi                            €199,000

 

Illustration 2 :

Bila 1 lembar saham preferen dapat dikonversi menjadi  25 lembar saham biasa  (nominal €2) yang mempunyai nilai pasar  €410,000.

Junral :

Modal saham Preference                                               €1,000

Agio saham-ekuitas konversi                                          €199,000

Modal saham biasa  (1,000 x 25 x €2)                             €50,000

Agio Saham biasa                                                                     €150,000

 

Illustration 3 :

Bila Saham Preferen dibeli kembali dan tidak dikonversi.

Jurnal :

Modal saham Preference                       €1,000

Agio Saham-ekuitas konversi                 €199,000

Laba Ditahan                                         €210,000

Kas                                                                  €410,000

Bila pelunasan melebihi nilai saham terkonversi maka didebet ke rekening laba di tahan.

 

4. Warran ( Warrant )

Warran atau surat jaminan (warrant) adalah sertifikat yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk memperoleh saham pada harga tertentu selama periode yang telah ditetapkan. Opsi ini serupa dengan privilage atau hak istimewa konversi karena warran, jika digunakan, akan menjadi saham biasa dan biasanya mempunyai pengaruh dilutif ( mengurangi laba per saham ) yang serupa dengan konversi. Akan tetapi, perbedaan pokok antara sekuritas konvertibel dan warran terletak pada penggunaan warran, dimana pemilik harus membayar sejumlah uang tertentu untuk memperoleh saham.

Penerbitan warran atau opsi untuk membeli tambahan saham biasanya timbul dalam 3 situasi :

  1. Pada saat menerbitkan jenis sekuritas yang berbeda, seperti obligasi atau saham preferen, sering kali warran disertakan agar sekuritas terliht lebih menarik untuk memberikan suatu “pendorong ekuitas (equity kicker)”.
  2. Pada penerbitan tambahan saham biasa, pemegang saham yanga ada mempunyai hak istimewa (preemptive right) untuk lebih dahulu membeli saham biasa. Warran dapat diterbitkan untuk membuktikan hak tersebut.
  3. Warran, yang sring kali disebut sebagai opsi saham (stock option), di berikan sebagai kompensasi kepada para eksekutif dan karyawan.

Warran Dikeluarkan Bersamaan Dengan Sekuritas Lain

Warran yang diterbikan dengan sekuritas lainnya pada dasarnya merupakan opsi jangka panjang untuk membeli saham biasa dengan harga tetap. Meskipun beberapa warran perpetual telah di perdagangkan, namun umumnya hanya bertahan slama 5 tahun, terkadang 10 tahun.

Perusahaan menggunakan metode  with-and-without untuk mengalokasikan penerimaan dari dua komponen.

Illustration 1 :

AT&T (USA) mengeluarkan obligasi dengan disertai waran yang berumur 5 tahun (10.000 lembar warran). Setiap warran dapat digunakan untuk membeli 1 lembar saham biasa dengan harga $25(nominal saham $5). Pada saat itu saham biasa AT&T dijual  $50. Adanya warran ini membuat harga obligasi  AT&T ditawarkan sebesar nominal dengan bunga 8,75%. AT&T menjual obligasi plus warran sebesar  $10,200,000. AT&T menggunakan metode  with-and-without. Present value dari Cash flow di masa mendatang adalah  $9,707,852.

Jurnal :

Kas                                          $9,707,852

Utang Obligasi                          $9,707,852

Kas                                          $492,148

Agio Saham-Warran                               $492,148

 

Illustration 2 :

Bila investor memanfaatkan 10,000 warran untuk membeli saham.

Jurnal :

Kas (10,000 x $25)                                             $250,000

Agio Saham—Waran                                         $492,148

Modal saham biasa (10,000 x $5)                                   $50,000

Agio Saham biasa                                                         $692,148

 

Illustration 3 :

Bila investor tidak memanfaatkan warran untuk membeli saham dan warran menjadi kadaluarsa.

Jurnal :

Agio Saham—Warran                            $492,148

Agio Saham – Warran Kadaluarsa                                  $492,148

 

Islamicity Performance Index

[Pendahuluan]

Komposisi keuangan syariah global sekitar US$ 2 trillion (2015) yaitu perbankan syariah ± 79% dan sukuk ±15%, sisanya antara lain: takaful dan Islamic Fund under management. Perkembangan perbankan nasional menurut Global Islamic Finance Report (GIFR, UK) di tahun 2016 menyebutkan bahwa  Indonesia berada di No.6 dibawah Malaysia, Iran, Arab Saudi, UAE dan Kuwait yang merupakan pasar keuangan syariah yg tumbuh dengan dukunganpemerintah dan negara muslim terbesar di dunia, “likely to be aforemost player in the global Islamic finance”. Indonesia, UAE, Arab Saudi, Malaysia dan Bahrain sekarangdianggap berada dalam posisi to offer lessonskepada negara lain didunia untuk pengembangan keuangan syariah.

Indonesia bersama dengan negara muslim lain yaituQatar, Turki, Malaysia, UAE dan Saudi Arabia atau dikenal dengan QISMUT “will be the driving factors behind the next big wave in Islamic finance in the world”.. (Ernst & Young, World Islamic Banking Competitiveness Report, 2014). Walaupun mengalami perlambatan, namun tetap pertumbuhan perbankan syariah Indonesia tertinggi diantara negara QISMUT di 2010 – 2014 dgn CAGR 29% (Ernst & Young World Islamic Banking Competitiveness Report2016).

 

 

[Islamicity Performance Index]

Perbankan syariah memilki sistem yang sama seperti halnya aspek-aspek lain dari pandangan hidup Islam. Tujuan utama perbankan dan keuangan Islam dari perspektif Islam adalah mencakup: (1) penghapusan bunga dan pembaharuan aktivitas bank agar sesuai prinsip Islam; (2) distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar; dan (3) mencapai kemajuan pembangunan ekonomi. Sedangkan dalam perspektif stakeholder, tujuan Islamic Bank adalah memaksimalkan laba, kontribusi pada kesejahteraan sosial, mengurangi kemiskinan, mempromosikan proyek pembangunan berkesinambungan, meminimalkan biaya operasi, meningkatkan kualitas produk dan jasa, menyediakan produk keuangan yang layak dan kompetitif dan mempromosikan nilai-nilai Islam dan way of life melalui staf, klien, dan masyarakat umum.

Salah satu cara untuk mengukur kinerja organisasi adalah melalui indeks. Meskipun saat ini telah ada beberapa indeks yang disusun untuk mengukur kinerja organisasi, tetapi belum banyak indeks yang dapat digunakan untuk mengukur kinerjalembaga keuangan Islam. Hameedet al., (2004) telah mengembangkan sebuahindeks yang dinamakan Islamicity Index, sehingga kinerja dari lembaga keuanganIslam dapat benar-benar diukur.Artinya, tidak hanya dari segi keuangan tetapi juga mampu mengevaluasi prinsip keadilan, kehalalan dan penyucian (tazkiyah) yang dilakukan oleh lembaga keuangan Islam.

 

 

[Indikator yang Diukur]

Indikator yang diukur dalam Islamicity Performance Index yaitu

  1. Profit Sharing Ratio

Profit sharing (bagi hasil) merupakan salah satu tujuan utama dari perbankan syariah.Oleh karena itu sangat penting untuk mengetahui seberapa jauh perbankan syariah telah berhasil mencapai eksistensi mereka atas bagi hasil melalui profit sharing ratio.Pendapatan dari bagi hasil dapat diperoleh melalui dua akad, yangpertama adalah mudaraba yaitu penanaman dana dari pemilik kepada pengelola dana untukmelakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian berdasarkan profit and loss sharing. Akadyang kedua adalah musyarakah yaitu perjanjian antara pemilik modal untuk mencampurkan modalmereka pada suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan yang telah disepakati sebelumnya,dan kerugian ditanggung semua pemilik modal berdasarkan bagian modal masing-masing.Profit sharing ratio dihitung dengan menjumlahkan pembiayaan dari akad mudharabah dan musyarakah yang selanjutnya dibandingkan dengan total pembiayaan. Berikut rumus profit sharing ratio (PSR):

            PSR = (Mudharabah + Musyarakah)/Total Pembiayaan

 

  1. Zakat Performance Ratio

Zakat merupakan salah satu perintah dalam Islam sehingga harus menjadi salah satu tujuan akuntansi syariah.Oleh karena itu, kinerja perbankan syariah harus didasarkan pada zakat yang dibayarkan oleh bank untuk menggantikan indikator kinerja konvensional yaitu earning per share. Kekayaan bank harus didasarkan pada aset bersih dari pada laba bersih yang ditekankan oleh metode konvensional. Sehingga apabila bank memiliki aset bersih yang tinggi, maka semakin tinggi pula zakat yang harus dibayarkan. Adapun rumus zakat performance ratio (ZPR) sebagai berikut.

                ZPR =  Zakat/Net Asset

 

  1. Equitable Distribution Ratio

Akuntansi syariah berusaha memastikan distribusi yang merata kepada semua pihak selain kegiatan bagi hasil. Distribusi bagi hasil dari pendapatan yang diperoleh bank-bank syariah inilah yang pada dasarnya coba untuk ditemukan oleh rasio ini kepada berbagai pihak pemangku kepentingan.Rasio ini dihitung dengan menjumlahkan dana yang dikeluarkan untuk qardh dan dana kebajikan, upah karyawan, pemegang saham dan laba bersih. Untuk setiap item, akan dihitung jumlah yang didistribusikan dari total pendapatan setelah dikurangi zakat dan pajak. Berikut rumus equitabel distribution ratio:

EDR = Average distribution for each stakeholders/Total Revenues

 

  1. Directors – EmployeesWelfare Ratio

Directors-Employee Welfare Ratio merupakan rasio yang membandingkan antara gaji direkturberbanding dengan uang yang digunakan untuk kesejahteraan pegawai.Dimana nilai yang dihasilkan digunakan untuk mengidentifikasi berapa uang yang digunakan untuk gaji direktur dibandingkan dengan uang yang digunakan untuk kesejahteraan pegawai.Kesejahteraan karyawan meliputi gaji, pelatihan, dan lain-lain.

Untuk mengukur apakah direktur mendapatkan gaji yang berlebih dibandingkandenganpegawai, karena remunerasi direktur merupakan isu yang penting. Berikut adalah rumus DER:

                DER = Rata – rata gaji direktur/Rata – rata kesejahteraan karyawan tetap

 

 

  1. Islamic Income Vs Non Islamic Income

Islam telah secara tegas melarang transaksi yang melibatkan riba, gharar dan judi. Akan tetapi, saat ini masih banyak dijumpai praktik perdagangan yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, penting bagi bank-bank syariah untuk mengungkapkan dengan jujur setiap pendapatan yang dianggap halal, dan mana yang dilarang dalam Islam. Bank syariah harus menerima pendapatan hanya dari sumber yang halal. Jika bank syariah memperoleh pendapatan dari transaksi non-halal, maka bank harus mengungkapkan informasi seperti jumlah, sumber, bagaimana penentuannya dan prosedur apa saja yang tersedia untuk mencegah masuknya transaksi yang dilarang oleh syariah. Dalam laporan keuangan bank syariah jumlah pendapatan non-halal dapat dilihat dalam laporan sumber dan penggunaan qardh. Rasio ini bertujuan untuk mengukurpendapatan yang berasal dari sumber yang halal.Berikut rumusnya.

                PH = Pendapatan/(Pendapatan halal +Pendapatan non halal)

 

 

  1. Islamic invesiment vs non Islamic investment ratio

Islamic Investment vs non Islamic Investment merupakan rasio yang membandingkan antarainvestasi halal dengan total investasi yang dilakukan oleh bank syariah secara keseluruhan (halaldan non halal). Dimana nilai yang dihasilkan merupakan ukuran aspek kehalalan dan keberhasilanpelaksanaan prinsip dasar bank syariah yaitu terbebas dari unsur riba.Berikut adalah rumusnya.

           IH =  Investasi Halal/(Investasi Halal + Investasi non halal)

 

[Penutup]

Dengan menggunakan Islamicity Performance Index maka akan memudahkan stakeholder untuk mengetahui rasio bagi hasil yang dilakukan oleh bank syariah, rasio zakat, distribusi yang adil pada masyarakat, perbandingan gaji direktur dan pegawai, perbandingan investasi halal dan tidak halal, perbandingan pendapatan halal dan tidak halal. Dengan rasio-rasio tersebut maka akan semakin terlihat dengan jelas, keberadaan prinsip ketaatan, keadilan, kehalalan, dan penyucian (tazkiyah) yang ada di bank syariah.

 

Keberadaan prinsip keadilan yang dilakukan oleh bank syariah, tercermin dari pengukuran equitable distribution ratio serta perbandingan gaji direktur dan pegawai.Equitable ditribution ratio pada dasarnya melihat distribusi yang adil pada masyarakat.Sedangkan pada perbandingan gaji direktur dan pegawai melihat berapa uang yang digunakan untuk gaji direktur berbanding dengan uang yang digunakan untuk kesejahteraan pegawai. Bukan berarti gaji direktur harus sama dengan pegawai, namun gaji direktur harus sesuai dengan pekerjaan yang dikerjakan direktur, begitu pula untuk pegawai. Keberadaan prinsip kehalalan dapat dilihat dari pendapatan halal dengan non-halal serta investasi halal dan non halal.Sementara keberadaan prinsip penyucian (tazkiyah) dapat dilihat dari zakat performance ratio.Keberadaan prinsip-prinsip tersebut merupakan hal yang mutlak ada pada bank syariah.Keempat hal ini yang membedakan antara bank syariah dan bank konvensional.

 

 

SUMBER:

Berikut adalah sumber yang dijadikan rujukan dalam menyusun materi mengenai Islamicity Performance Index:

Dewanata, Pandu; Hamidah; Ahmad, Gatot Nazir, (2016),”The Effect Of Intellectual Capital And Islamicity Performance Index To The Performance Of Islamic Bank In Indonesia 2010-2014 Periods”, Jurnal Riset Manajemen Sains Indonesia, Vol 7: 2

Meilani, Sayekti Endah Retno; Andraeny, Ditaa; Rahmayati, Anim, “Analisis Kinerja Perbankan Syariah Di Indonesia DenganMenggunakan Pendekatan Islamicity Indices”, ISSN 2460-0784

http://faculty.kfupm.edu.sa/coe/sadiq/proceedings/SCAC2004/50.ASC089.EN.Shahul.Alternative%20Disclosure%20&%20Performance%20_1_.pdf

Powerpoint “Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia” oleh Deden Firman Hendarsyah-DP5S Otoritas Jasa Keuangan

Corporate Governance pada Institusi Keuangan Islam

[Latar Belakang]

Secara praktis, isu penerapan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG) mulai muncul ke permukaan ketika Amerika Serikat harus melakukan restrukturisasi corporate governance sebagai akibat market crash pada tahun 1929 (bpkp.or.id). Pada awal tahun 2000-an, mata dunia seakan terbelalak ketika perusahaan-perusahaan besar di dunia seperti Enron, Worldcom, Tyco, Merck, Global Crossing, Xerox, dan lain-lain, terjerat dalam kasus skandal keuangan yang menyebabkan mereka gulung tikar (collapse). Baru-baru ini kita dikagetkan juga dengan skandal yang terkait dengan transaksi syariah, yaitu: sukuk oleh Dubai World, perusahaan ini merupakan perusahaan milik Pemerintah Dubai yang bergerak dalam berbagai bidang infrastruktur, salah satunya adalah Nakheel. Proyek property Nakheel yang terkenal adalah The Palm Island, perumahan yang berada di tengah laut berbentuk pohon kurma. Sumber pendanaannya antara lain dengan menggunakan sukuk. Nilai sukuk yang ditunda pembayaran pokoknya adalah sebesar 3,52 miliar USD. Tanggal jatuh temponya adalah tanggal 14 Desember 2009, diusulkan ditunda hingga 30 Mei 2010.Penundaan ini tentunya memberikan efek negatif bagi pemegang sukuk tersebut yang sangat membutuhkan likuiditas. Hal ini menyebabkan jatuhnya harga sukuk tersebut hingga -31,11% (menjadi 62) dalam satu hari pada tanggal 26 November 2009. Masalah sukuk Nakheel pada dasarnya mulai muncul pada bulan Juli 2009 ketika Nakheel mengajukan revisi struktur sukuk sebesar 750 juta US dollar.

 

Hal ini sekaligus semakin menguatkan akan pentingnya penerapan GCG, termasuk di institusi keuangan islam. Buruknya praktik corporate governance, adanya manipulasi informasi, kurangnya transparansi dan akuntabilitas inilah yang diduga sebagai penyebab terjadinya berbagai krisis, termasuk krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 hingga saat ini.

 

Perkembangan institusi keuangan keuangan Islam—khususnya bank syariah—mulai meningkat dari tahun-ketahun. Bank syariah mulai berkembang di Indonesia pasca disetujuinya UU No.10 tahun 1998, yang mengatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Hal lain yang memicu tumbuhnya bank syariah adalah Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank. Dengan adanya fatwa tersebut jelas memperkuat posisi bank syariah sebagai satu-satunya alternatif bagi kaum muslimin untuk menitipkan uangnya.Hal ini dikarenakan pandangan masyarakat yang menganggap bahwa bank syariah adalah lembaga keuangan yang telah bebas dari praktik riba.

 

Sebagai salah satu entitas bisnis yang berada di bawah payung negara kesatuan Indonesia, bank syariah pun dituntut untuk menerapkan GCG. Pedoman GCG yang telah keluarkan oleh KNKCG mengikat seluruh entitas bisnis, baik yang konvensional maupun syariah.Hal ini dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk menciptakan iklim dunia usaha yang sehat. Namun demikian, beberapa permasalahan muncul ketika pedoman GCG konvensional dipandang tidak cukup mengakomodasi kebutuhan tata kelola perusahaan dengan prinsip syariah—khususnya bank syariah. Ada dua alasan utama mengapa pedoman GCG konvensional dipandang kurang mengakomodasi kebutuhancorporate governance pada institusi keuangan Islam.Pertama, nilai-nilai Islam yang melekat pada institusi keuangan Islam belum diakomodasi oleh pedoman GCG konvensional.Kewajiban institusi keuangan Islam untuk taat pada kaidah-kaidah syariah dalam setiap praktiknya menjadi hal yang seharusnya lebih diutamakan daripada unsur-unsur lainnya.

 

Kedua, secara teoretis institusi keuangan Islam dipandang lebih pas bila menggunakan konsep shariah enterprise theory, yang membuat struktur dan orientasi perusahaannya berbeda dengan perusahaan konvensional yang menganut konsep entity theory. Dengan dianutnya konsep shariah enterprise theory, orientasi institusi keuangan Islam bukan hanya sekadar untuk mencari keuntungan semata, namun lebih menekankan pada zakat sebagai alat pendistribusian kesejahteraan. Di samping itu, diterapkannya GCG pada institusi keuangan Islam adalah sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan. Bahkan menurut Agustianto (2008), bank-bank syariah seharusnya tampil sebagai pionir terdepan dalam pengimplementasian GCG tersebut. Hal ini dikarenakan institusi keuangan Islam memiliki tanggung jawab vertikal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala disamping bertanggung jawab kepadastakeholders.

 

 

[Pengertian GCG]

Definisi GCG menurut Bank Dunia adalah aturan, standar dan organisasi di bidang ekonomi yang mengatur perilaku pemilik perusahaan, direktur dan manajer serta perincian dan penjabaran tugas dan wewenang serta pertanggungjawabannya kepada investor (pemegang saham dan kreditur). Tujuan utama dari GCG adalah untuk menciptakan sistem pengendaliaan dan keseimbangan (check and balances) untuk mencegah penyalahgunaan dari sumber daya perusahaan dan tetap mendorong terjadinya pertumbuhan perusahaan. Sementara Syakhroza (2003) mendefinisikan GCG sebagai suatu mekanisma tata kelola organisasi secara baik dalam melakukan pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis ataupun produktif dengan prinsip-prinsip terbuka, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independen, dan adil dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Tata kelola organisasi secara baik apakah dilihat dalam konteks mekanisma internal organisasi ataupun mekanisma eksternal organisasi. Mekanisme internal lebih fokus kepada bagaimana pimpinan suatu organisasi mengatur jalannya organisasi sesuai dengan prinsip-prinsip diatas sedangkan mekanisma eksternal lebih menekankan kepada bagaimana interaksi organisasi dengan pihak eksternal berjalan secara harmoni tanpa mengabaikan pencapaian tujuan organisasi.

 

Pada prinsipnya, ada lima elemen utama yang menjadi komponen penyusun GCG. Lima elemen penyusun GCG tersebut adalah:

(1) transparancy yaitu keterbukaan mengenai informasi kinerja perusahaan,

(2) fairness yaitu kepastian perlindungan atas hak seluruh pemegang saham dari penipuan dan penyimpangan,

(3) accountability yaitu penciptaan sistem pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian wewenang,

(4) independency yaitu pengelolaan perusahaan tanpa pengaruh atau tekanan pihak lain, dan

(5) responsibility yaitu pertanggungjawaban perusahaan kepada semua pihak (The Business Roundtables, 2002).

 

Dalam tataran dalam negeri, pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menciptakan iklim dunia usaha yang sehat, diantaranya adalah dengan mendorong internalisasi GCGPada tahun 1999, dibentuk Komite Nasional KebijakanCorporate Governance (KNKCG) berdasarkan keputusan Menko Ekuin No: KEP/31/MEKUIN/08/1999 yang mengeluarkan Pedoman Good Corporate Governance. Pada tahun berikutnya, melalui Surat Edaran Ketua BAPEPAM No.SE-03/PM/2000 dan Keputusan Direksi BEJ No. Kep-339/BEJ/07-2001 mengharuskan semua perusahaan yang tecatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ) memiliki komite audit dan komisaris independen.

 

 

[Islam dan Corporate Governance]

Islamic Corporate Governance dilaksanakan melalui prinsip-prisip dasar yang bersumber dari hukum-hukum Islam (Syariah) yaitu: kesejahteraan ekonomi umat/masyarakat, persaudaraan universal, keadilan sosial, akuntabilitas, kebenaran, transparansi, perlindungan terhadap minoritas, pengungkapan yang memadai dan distribusi pendapatan yang wajar. Ada dua aspek utama yang membentuk Islamic Corporate Governance: Pertama adalah hukum Islam; Kedua adalah prinsip-prinsip keuangan dan ekonomi Islam (zakat, riba, larangan spekulasi).

Islam juga menyediakan panduan yang luas untuk rerangka implementasi dan pengawasan. Seperti halnya OECD, panduan dari Islam tersebut juga menekankan pada transparansi, konsistensi dan persamaan aturan dalam hukum. Aspek-aspek tersebut dijabarkan sebagai berikut:

  1. Pengambilan Keputusan

Dalam Islam beberapa dasar prinsip pengambilan keputusan dalam Corporate Governance bersumber ayat-ayat berikut:

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah” (Ali Imran, 3:159)

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (Al-Shu’ra, 42:38).

 

Hadist Nabi: dari Abu Hamzah Anas bin Malik (RA):

“Tidaklah kamu beriman (pada Alloh dan agama-Nya), sampai sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencitai dirinya sendiri (Al-Bukhari & Muslims)”.

 

Sama dengan prinsip OECD, ayat tersebut juga menekankan memperhatikan stakeholders pada saat pengambilan keputusan dan memberikan kepentingan yang sama kepada stakeholders (temasuk pemegang saham minoritas). Namun, ada satu tambahan yaitu demensi vertikal yang menjadi stakeholder utama yaitu: Allah Swt (Tuhan Yang Maha Esa). Ada dua manfaat percaya pada Allah setelah suatu keputusan diambil: Pertama, berkah dari Allah akan membantu implementasi keputusan tersebut; Kedua, bila semua stakeholders percaya pada Allah, akan ada invisible control atas mereka.

 

  1. Pengungkapan (Transparansi)

Islam sangat mendorong adanya pengungkapan atau transparansi, dalam pencegahan konflik di masa depan, dan mendorong akuntabilitas di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Beberapa ayat berikut memberikan dasar yang jelas tentang pengungkapan:

Q.S. Al Baqarah 282 dan 283 menyebutkan:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalahtidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al Baqarah, 2:282)

 

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Baqarah, 2:283)

 

Kedua ayat tersebut menekankan pada pengungkapan dan transparansi. Tambahan yang tidak ada pada prinsip OECD adalah Allah Maha Tahu. Bila kita mengerti bahwa Allah Maha Tahu maka tidak akan ada yang disembunyikan. Ini akan menjadikan adanya pengungkapan yang memadai dan tranparansi dalam pelaporan.

 

  1. Akuntabilitas

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seluruh aqad (kewajiban) itu.” (Q.S. Al Maaidah, 1)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Q.S. Al Anfaal:27)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S.An Nisaa’:29)

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah: 188)

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S.An Nisaa’: 59)

“Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in (penjaga amanah) dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya (apa yang diamanakannya)” (HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138 dan Muslim no. 4701 dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma) 

 

Dalam Agama Islam akuntabilitas tidak terbatas pada kehidupan di dunia tetapi juga menyangkut aspek kehidupan setelah di dunia, yaitu: akherat. Jadi dalam Islamic Corporate Governance akuntanbilitas tidak hanya terbatas kepada Dewan Komisaris dari manjemen senior tetapi juga akuntanbilitas kepada Allah Swt. dan umat. OECD mengatur senior manajemen akuntabel terhadap Dewan Komisaris, dan Dewan Komisaris terhadap pemegang saham tetapi Islam mengatur akunatabilitas tidak hanya untuk stakeholders tetapi juga kepada Allah Yang Maha Kuasa. OECD membuat orang akuntabel untuk semua kewajiban yang ditetapkan dan tertulis tetapi Islam menuntut akuntabilitas juga terhadap janji yang dikatakan.

 

 

 

Tabel 1

Corporate Governance dalam Islam dan OECD Prinsiples – Suatu Perbandingan

Basis perbedaan Prinsip OECD Prinsip Islam
Otoritas Direktur mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan berdasarkan prinsip-prinsip OECD Kekuasaan tunggal hanya untuk Allah Yang Maha Kuasa. Semua keputusan dibuat berdasarkan prinsip syariah sebagai hukum sumber otoritas.
Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan disandarkan pada CEO dan manajemen senior. Voting hanya diperlukan untuk memilih Dewan Komisaris dan beberapa keputusan. Setiap keputusan diambil dengan konsultasi dan konsensus masing-masing stakeholders.
Sasaran Maksimisasi profit dan nilai pemegang saham Persamaan, persamaan distribusi kekayaan, perhatian untuk seluruh komunitas.
Akuntabilitas Manajemen senior akuntabel terhadap pemegang saham Akuntabilitas tidak hanya kepada pemegang saham tetapi juga terhadap Allah Yang Maha Kuasa.
Etika Transparansi, akuntabilias, dan pengungkapan. Keadilan, persamaan, kebenaran, perlindungan untuk minoritas, akuntabilitas yang lebih luas, pengungkapan baik tertulis maupun lisan.
Aplikasi Prinsip-prinsip tidak diterapkan dengan sama untuk seluruh dunia. Diterapkan dengan sama untuk seluruh dunia.

 

 

[Panduan Prinsip-prinsip Corporate Governance oleh Islamic Financial Service Board (IFSB)]

Prinsip-prinsip corporate governance yang khusus terkait dengan institusi yang mengunakan prinsip Islam dalam operasi bisnisnya diajukan oleh The Islamic Financial Services Board (IFSB). Dewan (board) ini adalah suatu organisasi penyusun standar internasional yang berusaha memajukan dan meningkatkan praktik sehat dan stabilitas dari industry jasa keuangan Islam dengan mengeluarkan standar-standar penting secara global dan panduan prinsip-prinsip untuk industri, terutama di perbankan, pasar modal, dan sektor asuransi. IFSB juga berusaha melakukan riset dan melakukan koordinasi inisiatif terkait isu-isu industry tersebut, baik itu berupa penyelenggaraan diskusi, seminar, konferensi untuk pemangku kepentingan dari pemerintah dan industri.

Pendekatan Umum Tata kelola oleh IFSB

Hak-hak Investment Account Holders (IAH)

Kepatuhan terhadap Prinsip dan Aturan Syariah

Transparansi Pelaporan Keuangan

 

Penjabaran masing-masing prinsip:

Pendekatan Umum Tata Kelola oleh IFSB

1.1    Institusi keuangan Islam harus mengeluarkan rerangka kebijakan tata kelola yang komprehensif yang menetapkan fungsi dan peran strategis untuk setiap bagian perusahaan serta mekanisme untuk menyeimbangkan akuntabilitas Institusi keuangan Islam terhadap semua stakeholders

Dalam rerangka kebijakan tata kelola ini, Institusi keuangan Islam harus menetapkan:

  1. Fungsi dan peran strategis untuk setiap bagian perusahaan meliputi dewan komisaris, komite, eksekutif manajemen, Dewan Pengawas Syariah (DPS), internal dan eksternal auditor dan lain-lain.
  2. Mekanisme untuk menyeimbangkan akuntabilitas setiap bagian Institusi keuangan Islam terhadap semua stakeholders.
  3. Untuk mengkoordinasi dan mengintegrasikan implementasi kebijakan tata kelola perusahaan yang telah dibuat, Dewan Komisaris dapat membentuk Governance Committee(Komite Governance) yang minimal terdiri dari 3 anggota, dengan komposisi yang disesuaikan mencakup anggota dari komite audit, DPS dan direktur non-eksekutif.

Komite Governance ini bertugas untuk:

  1. Menjaga dan mengawasi implementasi kebijakan governanceperusahaan bekerja sama dengan manajemen, komite audit, dan komite syariah (DPS).
  2. Memberikan laporan dan rekomendasi kepada dewan komisaris terkait dengan temuan-temuan yang dihasilkan.

Fungsi dan peran Komite Governance ini tidak boleh merangkap dan tumpang tindih dengan Komite Audit. Komite Governance merupakan pelengkap fungsi Komite Audit dalam fungsi tata kelola perusahaan. Tujuan utama pembentukan Komite Governance adalah lebih untuk melindungi kepentingan Stakeholders daripada Shareholders.

 

1.2.  Institusi keuangan Islam harus menjamin bahwa laporan keuangan dan informasi nonkeuangan memenuhi standar akuntansi yang diakui secara internasional yang sesuai dengan prinsip syariah dan dapat diterapkan oleh semua Institusi keuangan Islam.

Pentingnya proses akuntansi yang tepat untuk tata kelola perusahaan yang baik harus disadari dengan:

  1. Menggunakan akuntan, konsultan, dan auditor secara tepat dan efektif untuk menyelesaikan permasalahan.
  2. Adanya internal dan eksternal auditor yang independen.

 

Dewan Komisaris dapat membentuk Komite Audit yang beranggotakan minimal tiga orang (Ketua dan dua orang anggota). Komite Audit ini bertugas:

  1. Memeriksa dan mengawasi proses akuntansi Institusi keuangan Islam bekerja sama dengan internal dan eksternal auditor.
  2. Memberikan laporan dan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai kepatuhan Institusi keuangan Islam dengan standard akuntansi internasional dalam pelaporan keuangan dan informasi nonkeuangan.

Komite Audit dapat berkomunikasi dan berkoordinasi dengan DPS dan Komite Governance untuk menjamin bahwa informasi yang sesuai dengan prinsip syariah dan prinsip perusahaan dilaporkan dengan tepat waktu dan memadai.

 

 

2.1.    Institusi keuangan Islam harus menyatakan hak-hak Investment Account Holders(IAH) untuk memonitor kinerja investasi mereka dan risiko yang berhubungan, dan memberi tempat yang memadahi untuk menjamin bahwa hak IAH ini dijalankan dan diawasi.

Secara konseptual, berdasarkan prinsip mudharabah, IAH sebagai Rabb al Mal menanggung risiko kehilangan kapital yang diinvestasikan pada Institusi keuangan Islam sebgai Mudarib. Ini berarti risiko investasi IAH sama dengan pemegang saham yang menanggung risiko kehilangan kapital sebagai investor Institusi keuangan Islam. Namun, Institusi keuangan Islam sebgai mudarib mempunyai fiduciary duty terhadap IAH berdasarkan kontrak mudharabah, paralel dengan kewajiban mereka terhadap pemegang saham. Dalam konteks ini manajemen bersama pemegang saham sebagai mudarib mempunyai fiduciary duty terhadap IAH sebagai Rabb al Mal.

Oleh karena itu, sewajarnya bila Institusi keuangan Islam menempatkan IAH pada posisi yang sama dengan pemegang saham dengan mengetahui hak-hak IAH untuk mengakses semua informasi yang relevan dengan akun investasi mereka.

Sesuai dengan struktur agen-prinsipal, berdasarkan prinsip mudharabah, tepat bila Institusi keuangan Islammengakui hak-hak IAH untuk memonitor kinerja investasi mereka dan memberi tempat yang memadahi untuk menjamin pelaksanaan hak IAH tersebut.

Institusi keuangan Islam harus menginformasikan dari awal saat mereka membuka akun investasi, sesuai dengan prinsip mudharabah, terutama pada saat likuidasi Institusi keuangan Islam:

  1. IAH hanya menanggung kerugian sesuai proporsi asset yang ditanamkan pada investasi mereka.
  2. Institusi keuangan Islam harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh kelalaian, perbuatan jahat, dan pelanggaran atas investasi yang dimandatkan.
  3. The restricted IAHtidak bertanggung jawab atas kewajiban kepada pihak lain yang timbul dari defisiensi atau likuiditas Institusi keuangan Islam kecuali berhubungan dengan dana. restricted IAH. Sedangkan unrestricted IAHhanya bertanggung jawab atas kewajiban sesuai dengan proporsi bagian mereka pada commingled funds.

 

2.2  Institusi keuangan Islam harus mengadopsi strategi investasi yang sehat yang appropriatelyalignedterhadap risiko dan kembalian harapan (expected return) oleh IAH dan transparan dalam meratakan tiap return.

IAH biasanya mencari investasi yang berisiko rendah dengan tingkat kembalian yang stabil, sedangkan pemegang saham biasanya lebih menyukai strategi investasi yang sehat dan agresif yang menawarkan tingkat kembalian tinggi dengan risiko yang tinggi pula. Hal ini mungkin dapat menimbulkan konflik kepentingan dana IAH dan dana pemegang saham bercampur. Meratakan return IAH mungkin dapat mengurangi masalah ini, tetapi tidak berdampak secara fundamental terhadap risiko pokok dan mungkin mempunyai efek negatif pada transparansi.

 

Dalam mengembangkan strategi investasi untuk kepentingan IAH, Institusi keuangan Islam harus mempertimbangkan risiko dan tingkat kemablian yang diharapkan IAH dengan:

  1. Mempunyai ketepatan dan sistematik mekanisme know your customer yang dapat menggambarkan secara efektif perbedaan risk-return profiles dari restricted dan unrestricted IAH.
  2. Mempekerjakan manajer investasi yang qualifiedyang mengerti kebutuhan dan harapan IAH.
  3. Transparan kepada Komite Governance sesuai dengan strategi investasi yang diadopsi Institusi keuangan Islam.

Institusi keuangan Islam harus menginformasikan kepada IAH bila praktik meratakan returns dilakukan dengan cara membentuk cadangan dalam bentuk PER (Profit Equalisation Reserve). Institusi keuangan Islam harus memberitahukan kepada IAH setiap kali mereka menggunakan cadangan untuk meratakan dividen yang dibayarkan.Dengan tujuan untuk menjamin pengggunaan PER tersebut tepat, Komite Governance dapat diberi mandat untuk mengamati dan merekomendasikan pengguanaan PER terhadap Dewan Komisaris.Demikian juga bila Institusi keuangan Islam telah membentuk IRR (Investment Risk Reserve) untuk mengkoverunexpected lost pada bagian IAH, penggunaan IRR harus ditempatkan dibawah pengamatan dan merupakan subjek rekomendasi Komite Governance terhadap Dewan Komisaris.

 

3.1   Institusi keuangan Islam harus mempunyai mekanisme yang tepat untuk memperoleh aturan syariah, mengaplikasikan fatwa, dan memonitor kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua aspek produk, operasi, dan aktivitas mereka.

Mekanisme untuk memperoleh aturan syariah, mengaplikasikan fatwa, dan memonitor kepatuhan terhadap prinsip syariah mencakup:

  1. Aspek Ex antedan Ex post seluruh transaksi keuangan yang dilaksanakan oleh Institusi keuangan Islam misalnya untuk menjamin kepatuhan prinsip syariah pada setiap kontrak dan kinerja sesuai kontrak tersebut.
  2. Operasi Institusi keuangan Islam termasuk aspek-aspek seperti pemeriksaan kepatuhan terhadap prinsip syariah, kebijakan investasi, kegiatan amal, dan lain sebagainya.

Institusi keuangan Islam harus memberikan informasi terhadap otoritas pengawasan mengenai mekanisme merekauntuk memperoleh aturan syariah, mengaplikasikan fatwa, dan memonitor kepatuhan terhadap prinsip syariah dan juga mengungkapakannya terhadap publik.

Untuk pemeriksaan kepatuhan terhadap prinsip syariah di internal, Institusi keuangan Islam dapat bekerja sama dengan internal auditor/shariah reviewers agar DPS/Shariah Scholars dapat memberi saran kepada internal auditor/shariah reviewers mengenai scope audit/review yang mereka lakukan. Auditor/shariah reviewers ini berkewajiban untuk membuat laporan internal shariah compliance.

Untuk pemeriksaan kepatuhan terhadap prinsip syariah eksternal, Komite Audit harus mampu menjamin bahwa eksternal auditor dapat melaksanakan Ex-post shariah compliance reviews.

 

3.2.  Institusi keuangan Islam harus patuh terhadap prinsip dan aturan syariah seperti yang telah diungkapkan dalam aturan Shariah Scholars Institusi keuangan Islam. Institusi keuangan Islam juga harus mengungkapkan aturan dan prinsip ini kepada publik.

Institusi keuangan Islam harus patuh terhadap aturan dan prinsip yang dikeluarkan oleh Shariah Scholars.Prinsip dan aturan ini harus dipublikasikan melalui saluran komunikasi publikasi yang benar.

Institusi keuangan Islam harus mempublikasikan penjelasan mengenai keputusan untuk mengadopsi suatu fatwa yang dikeluarkan oleh Shariah Scholars.Institusi keuangan Islam juga harus memberikan klarifikasi yang transparan kepada public mengenai keputusan untuk meninggalkan fatwa yang dikeluarkan Shariah Scholars.

 

4.1.   Institusi keuangan Islam harus membuat pengungkapan yang memadai dan tepat waktu kepada IAH dan publik mengenai informasi yang material dan relevan tentang akun investasi yang mereka kelola.

Berkaitan dengan hak IAH untuk memonitor kinerja dari investasi mereka, terutama dengan kontrak mudharabah,profit-sharing ratio harus diungkapkan dengan jelas. Selain itu, Institusi keuangan Islam juga harus mengungkapkan metoda penghitungan laba, alokasi asset, strategi investasi, dan mekanisme smoothing the return.

Penting untuk menjamin bahwa informasi tersebut siap tersedia dalam bentuk yang comparable, understandable, readable, dan reliable tidak hanya untuk IAH tetapi juga untuk konsumen. Proses tersebut dapat dilakukan dengan:

  1. Standardisasi terminologi dan bahasa
  2. Comparanbe measure, cara menjelaskan, beban, risiko, penghitungan profit, alokasi aset, strategi investasi, dan mekanisme smoothing return.
  3. Kemudahan akses informasi misalnya melalui internet.

Berdasarkan BCBS paragraph 47, Institusi keuangan Islam juga harus mengungkapkan:

  1. Informasi mengenai Dewan Komisaris
  2. Struktur organisasi dasar
  3. Kebijakan remunerasi, kompensasi eksekutif, bonus, stock option, dan lain-lain.
  4. Etika dan kebijakan bisnis Institusi keuangan Islam
  5. Apabila Institusi keuangan Islam dimiliki oleh pemerintah, harus diungkapkan sasaran umum kepemilikan pemerintah.
  6. Sifat dan luasnya transaksi dengan cabang dan pihak-pihak yang berhubungan.

 

 

[Penerapan Good Corporate Governance dalam Institusi Keuangan Syariah di Indonesia]

Penerapan prinsip-prinsip GCG menjadi hal yang penting bagi sebuah institusi, termasuk di dalamnya institusi keuangan syariah. Hal ini lebih dikarenakan tuntutan adanya tanggung jawab kepada publik (public accountability) berkaitan dengan kegiatan operasional institusi kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders), dan kepentingan kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam hukum positif seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Syariah, berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya. Hal yang tidak kalah penting adalah kepatuhan entitas syariah terhadap prinsip-prinsip syariah sebagaimana yang telah digariskan dalam alQuran, Hadis, dan Ijma’ para ulama.

 

Pengertian GCG dalam dunia perbankan dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 ”Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum,” disebutkan bahwa:

good corporate governance adalah tatakelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).

 

Penjelasan umum PBI No. 8/4/PBI/2006 dikemukakan juga mengenai arti dari setiap prinsip GCG tersebut:

Pertama, transparansi (transparancy) diartikan sebagai keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan.

Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pertanggungjawaban bank sehingga pengelolaannya berjalan efektif.

Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat.

Keempat, independensi (independency) yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun.

Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stake holder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Corporate governance pada lembaga keuangan memiliki keunikan bila dibandingkan governance pada lembaga keuangan non-bank. Hal ini lebih disebabkan oleh kehadiran pihak yang berkepentingan dan memiliki resiko dengan sumberdaya yang dititipkan di perusahaan dalam hal ini adalah pemegang saham dan penyetor modal sementara (Investment Account Holders) sebagai suatu kelompok stakeholders yang kepentingannya harus diakomodir dan dijaga. Sementara itu khusus dalam entitas syariah dikenal adanya prinsip-prinsip syariah yang mendukung bagi terlaksananya prinsip good corporate governance (GCG) dimaksud, yakni keharusan bagi subjek hukum untuk menerapkan prinsip kejujuran (shiddiq), edukasi kepada masyarakat (tabligh), kepercayaan (amanah), dan pengelolaan secara profesional (fathanah).

 

Corporate governance merupakan suatu konsep yang dijabarkan dalam bentuk ketentuan/peraturan yang dibuat oleh lembaga otoritas, norma-norma dan etika, yang dikembangkan oleh asosiasi industri dan diadopsi oleh pelaku industri, serta lembaga-lembaga yang terkait dengan tugas dan peran yang jelas untuk mendorong disiplin, mengatasi dampak moral hazard, dan melaksanakan fungsi check and balance. Sejumlah perangkat dasar yang diperlukan untuk pembentukan GCG pada entitas syariah antara lain: sistem pengendalian internal, manajemen risiko, ketentuan yang mengarah pada peningkatan keterbukaan informasi, sistem akuntansi, mekanisme jaminan kepatuhan syariah, dan audit eksternal.

 

Secara yuridis entitas keuangan syariah bertanggung jawab kepada banyak pihak (stakeholders).Pihak dimaksud antara lain terdiri dari nasabah, penabung, pemegang investasi temporer (Investment Account Holders), pemegang saham, investor obligasi, bank koresponden, regulator, pegawai perseroan, pemasok serta masyarakat dan lingkungan.Dengan demikian penerapan GCG merupakan suatu kebutuhan bagi setiap entitas syariah. Penerapan GCG merupakan wujud pertanggungjawaban entitas syariah kepada masyarakat bahwa suatu entitas syariah dikelola dengan baik, profesional dan hati-hati (prudent) dengan tetap berupaya meningkatkan nilai pemegang saham (shareholder’s value) tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders lainnya.

 

Prinsip-prinsip good corporate governance oleh sebuah entitas, termasuk entitas keuangan syariah paling tidak harus diwujudkan dalam:

  1. Tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan Dewan Direksi (Top Eksekutif);
  2. Adanya komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian internal entitas;
  3. Diterapkan fungsi review kepatuhan, baik oleh auditor internal dan auditor eksternal;
  4. Diterapkan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian internal;
  5. Adanya dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;
  6. Adanya Rencana Strategis (Renstra) entitas;
  7. Keterbukaan (transparancy) kondisi keuangan dan non keuangan enitas.

 

Sedangkan untuk meningkatkan pemenuhan prinsip syariah oleh entitas paling tidak terdapat dua langkah penting yang perlu ditempuh, yaitu:

  1. Perlunya mengefektifkan aturan dan mekanisme pengakuan (endorsement) dari otoritas fatwa dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional (DSN), dalam hal menentukan kehalalan atau kesesuaian produk dan jasa keuangan entitas dengan prinsip syariah.
  2. Perlunya mengefektifkan sistem pengawasan yang memantau transaksi keuangan entitas sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh otoritas fatwa perbankan. Terkait dengan hal ini permasalahan yang sering muncul adalah masih minimnya ahli yang memiliki pemahaman ilmu fikih dan syariah serta sekaligus memiliki pengetahuan perbankan yang memadai.
  3. Bagi para pemegang otoritas/regulator perlu mengantisipasi munculnya tantangan yang mungkin muncul terkait dengan implementasi GCG entitas keuangan syariah di Indonesia. Saat ini sebagian prinsip-prinsip GCG telah dipenuhi oleh entitas keuangan syariah khususnya bank-bank syariah, misalnya dengan telah dibentuknya aturan hukum dan kelembagaan khusus untuk bank syariah (otoritas perbankan syariah dari Bank Indonesia sebagai bank sentral), yang mengatur tentang struktur dan organisasi bank syariah, persyaratan pemilik dan pengurus, aturan dan mekanisme fit and proper test, kewajiban bank untuk membentuk satuan kerja audit internal, ketentuandisclosure, standard akutansi, dan penerapan manajemen risiko yang semuanya telah diatur secara detail dalam PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan GoodCorporate Governance Bagi Bank Umum.

 

Disamping itu terdapat elemen-elemen pendukung bagi implementasi prinsip GCG pada bank syariah yakni adanya lembaga-lembaga lain, seperti Dewan Syariah Nasional (DSN), Dewan Pengawas Syariah (DPS), Lembaga Pengaduan Nasabah, Lembaga Mediasi Perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), dan terakhir adanya perluasan kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan agama dalam hal memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

 

 

 

Berikut adalah sumber yang dijadikan rujukan dalam menyusun materi mengenai CG pada Institusi Keuangan Islam:

http://sharia.feb.ugm.ac.id/index.php/blog-artikel/penelitian/90-corporate-governance-pada-institusi-keuangan-islam

https://staff.blog.ui.ac.id/dodik.siswantoro/2009/11/28/kasus-dubai-world-subprime-mortgage-jilid-2/

Hasil Seleksi Ujian Wawasan Akuntansi Rekrutmen Terbuka Angkatan VI

Berdasarkan ujian wawasan Akuntansi dalam Rekrutmen Terbuka Komunitas @JagoAkuntansi Indonesia (KJAI) Angkatan VI yang dilaksanakan pada hari Selasa, 11 April 2017 sampai dengan Senin, 17 April 2017 maka diperoleh informasi sebagai berikut :
Total peserta Ujian Wawasan Akuntansi : 516 Orang
Total Peserta yang tidak lolos : 203 Orang
Total peserta yang lolos : 313 Orang
Bagi peserta yang lolos Seleksi Ujian Wawasan Akuntansi berhak mengikuti tahap selanjutnya yaitu Wawancara Chapter yang akan dilaksanakan pada :

Hari, Tanggal : Kamis, 4 Mei 2017 – Kamis, 11 Mei 2017
Waktu dan Tempat : akan dikabari oleh Panitia Rekrutmen masing-masing Chapter.

Demikian pengumuman ini disampaikan, kami ucapkan selamat kepada Sobat sekalian yang lolos Seleksi Ujian Wawasan Akuntansi, semoga sukses dalam menghadapi Wawancara Chapter. Kepada Sobat sekalian yang tidak lolos Seleksi Ujian Wawasan
Akuntansi, kami ucapkan terima kasih atas partisipasinya, semoga dapat ikut serta dalam agenda KJAI lainnya.

Berikut nama peserta lolos tahap ujian wawasan akuntansi:

Hasil Seleksi Ujian Wawasan Akuntansi Angkatan VI KJAI