oleh Admin | Okt 31, 2017 | Perpajakan, Uncategorized
Lebih dari 80 negara di dunia berkomitmen untuk menerapkan Country by Country Report
(CBCR). Sejauh ini sudah lebih dari 50 negara yang mengadopsi, dimana Indonesia merupakan
salah satunya. Dengan terbitnya PMK Nomor 213 Tahun 2016, ketentuan dokumentasi transfer
pricing (TP Doc) bagi grup usaha yang melakukan transaksi afiliasi di Indonesia mengalami
perubahan signifikan. Mulai tahun pajak 2016, tak hanya local file yang wajib disiapkan oleh
grup usaha, tetapi juga master file dan CBCR harus segera disiapkan dalam waktu yang
relatif pendek.
Apa latar belakang dari kebijakan penyampaian Master File dan CBCR?
Pada 2013, G20 Leaders mengendorse Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan dan
mempromosikan transparansi internasional untuk menangani penghindaran pajak. BEPS action
plan ini terutama ditujukan untuk menangani double non taxation yang tidak fair. Lalu lahirlah
15 action plan dalam BEPS project, yang salah satunya di action 13 adalah CBCR. Indonesia
sebagai negara G20 dan BEPS Assosiate tentu akan berusaha untuk berkomitmen menerapkan
CbCR tersebut sebagai bagian dari minimum standard atas BEPS action plan yang harus
diterapkan. Begitu kita sudah komitmen ikut bertukar CBCR, maka format dan threshold-nya
harus sama, tapi waktu penyampaian dan prosedurnya bisa berbeda-beda menyesuaikan dengan
ketentuan domestik di masing-masing negara. Namun, yang wajib membuat CBCR tidak semua
perusahaan, hanya yang memenuhi kriteria tertentu.
Bagaimana penerapan CBCR di Indonesia?
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan PMK Nomor 213 Tahun 2016 untuk mengatur
kewajiban penyelenggaraan Dokumen Penetapan Harga Transfer. Itu merupakan paket
dokumentasi transfer pricing yang berisikan dokumen induk (Master file), dokumen lokal (local
file), dan laporan per Negara/Country by Country Report (CBCR). Ini semua harus dibuat dalam
format Bahasa Indonesia.
Isi dari CBCR mencakup soal laba grup di tiap negara, pajak yang dibayarkan, dan jumlah
karyawan, sehingga memberikan informasi aktivitas grup atau fungsi apa saja yang dijalani
setiap grup usaha di masing-masing negara. Dan ini akan ditransmisi secara otomatis, tapi hanya
dengan negara yang sama-sama punya komitmen dan menandatangani perjanjian pertukaran
CBC baik bilateral maupun multilateral. Perjanjian pertukaran CBC secara multilateral namanya
CBC Multilateral Competent Authority Agreement (CBC-MCAA).
Apa urgensi dari CBCR?
Secara tidak langsung kehadiran PMK 213 semacam alert: “Anda tidak bisa main-main lagi
dengan skema grup!”. Sudah ada mekanisme yang mengawasi sehingga fairness akan terjadi. Itu
yang pertama. Kedua, persyaratan kertas kerja dalam CBCR. Tujuannya supaya WP tidak asal-
asalan membuat CBCR, sumbernya harus jelas. Penggunaan CBCR ini dibatasi hanya untuk risk
management, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar koreksi audit. Nantinya, yang
dipertukarkan ke negara lain hanya CBCR form. Sedangkan kertas kerja tidak. Intinya segala
macam unfairness, tax avoidance, itu bisa dimitigasi dengan baik dari awal.
Artinya pendekatannya DJP ke Wajib Pajak berubah?
Pesan yang dituangkan dalam PMK 213 adalah ingin Wajib Pajak menerapkan Arms Length
Principle (ALP) sejak Wajib Pajak men-set- up harga. Pendekatan ini dikenal dengan nama price
setting approach atau ex-ante basis. Berdasarkan PMK ini, Wajib Pajak diharapkan tidak lagi
menerapkan ex-post basis sehingga akan lebih fair baik dari sisi Wajib Pajak maupun DJP. Jadi
pada saat price setting dia harus setup berdasarkan arms length principle, prinsip kewajaran.
Misalnya, WP menetapkan laba = total cost + 5%. Dari mana angka 5% itu. Ini yang harus
didasarkan pada ALP dan didokumentasikan dalam TP Documentation (Master File dan Local
File). Pesan lebih besar, kami ingin supaya transaksi yang harganya sudah ditentukan sesuai
dengan ALP tidak menjadi potensi koreksi. Tidak fair kalau transaksi afiliasi sudah arms length
sejak awal tahun, tapi tetap dikoreksi. Sebaliknya, Wajib Pajak yang tidak melakukan setting
price berdasarkan ALP tentu akan berisiko untuk dilakukan koreksi oleh pemeriksa. Itu tidak
akan terjadi kalau WP menggunakan price setting berdasarkan ALP. Jikapun realisasi pada akhir
tahun terdapat deviasi dari price setting yang ditetapkan di awal, Wajib Pajak dipersilakan untuk
menjelaskannya di dalam TP Doc. Sehingga semuanya fair dan transparan.
Bukankah transfer pricing sesuatu yang normal?
Transfer pricing merupakan penetapan harga transaksi antara pihak yang terafiliasi. Penentuan
harga jual, harga beli, nilai royalti, nilai jasa, dan apapun bentuknya, itu transfer pricing
sepanjang dilakukan dengan afiliasi. Sampai sini tidak ada masalah karena hakikatnya transaksi
afiliasi adalah sesuatu yang normal dan tidak dilarang secara hukum. Hanya pada saat terjadi
transfer pricing abuse, baru ada masalah. Abuse what for? untuk mengecilkan pajak di Indonesia.
Jadi yang masalah bukan transfer pricing, tapi transfer pricing abuse. Kalau tax planning
ditujukan untuk penghindaran pajak, nah itu baru bermasalah. Kalau dia tidak dilakukan secara
arms length, secara wajar, maka DJP punya kewenangan untuk melakukan koreksi.
Banyak keuntungan diperoleh dengan bisnisnya di Indonesia, mendapatatkan sumber daya energi
dan buruh murah, sampahnya banyak di Indonesia, truknya banyak menghancurkan jalan, tapi
labanya dipindahkan ke luar negeri. Pada saat dia mentransfer ini lah yang bermasalah. Bukan
berarti transfer pricing tidak boleh. Transfer pricing boleh sepanjang wajar (ALP).
Harus diingat bahwa CBCR ini tidak bisa digunakan untuk mengoreksi transfer pricing.
Penggunaanya hanya untuk risk analysis. Jadi hanya untuk melakukan analisis risiko atas
transfer pricing sehingga bisa melihat dimana saja risiko transfer pricing sebuah perusahaan.
Hasil risk analysis akan memberikan rekomendasi atau petunjuk bahwa perusahaan ini layak
diperiksa .atau didalami lebih lanjut transfer pricingnya. Ini sebagai diagnostic tool untuk
melihat risiko transfer pricing. Kalau memang tidak ada risiko, ya tidak akan dijadikan prioritas
utama pemeriksaan transfer pricing. Kalau ada risiko luar biasa, mari teliti mana transaksi yang
paling optimal untuk dilakukan pemeriksaan.
Apakah tidak malah memberatkan WP?
Justru ini akan memudahkan WP, meng-encourage WP untuk patuh menerapkan ALP. Yang
patuh akan keliatan patuh, yang tak patuh akan kelihatan tak patuh. Jadi kita tempatkan TP doc
pada posisi yang fair untuk bisa memberikan perlakuan yang adil. Untuk yang patuh akan
mendapatkan benefit, yang tidak patuh akan mendapatkan disinsetif dalam bentuk punishment
Sanksinya apa bagi WP yang tidak patuh dalam pelaporan Dokumentasi Transfer pricing?
Selama ini, sanksi yang diterapkan atas ketidakpatuhan Wajib Pajak menerapkan ALP atau tidak
membuat TP Doc umumnya sama yaitu 2% per bulan sesuai Pasal 13 ayat (2) UU KUP. Akan
tetapi, saat ini bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan Dokumen Transfer pricing, maka
sanksinya sesuai dengan Pasal 13 ayat 3 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP),
yakni 50% dari pajak yang tidak atau kurang bayar. Sedangkan bagi WP yang telat atau hingga
batas waktu yang sudah ditentukan belum juga menyampaikan dokumentasi transfer pricing,
maka menjadi diskresi pemeriksa apakat TP doc-nya dipertimbangkan atau tidak. Istilahnya
ditetapkan secara jabatan. Apabila dites tidak wajar, maka pemeriksa akan mengenakan sanksi 2% per bulan. Sementara bagi WP yang memanipulasi dokumen transfer pricing berdasarkan informasi yang tidak benar, maka bisa kena sanksi pidana. Sehingga di sini kita tempatkan sesuatu secara adil. Kalau WP tidak membuat TP doc, maka diperlakukan sama seperti WP yang tidak melaksanakan kewajiban pembukuan.
oleh Admin | Okt 30, 2017 | Artikel, Auditing, Direktorat Pendidikan dan Pelatihan
Latar belakang munculnya penggunaan D&A pada audit ini adalah dikarenakan ketika
dihadapkan oleh permasalahan bagaimana kita mendapatkan keputusan yang relevan dengan
informasi dari data yang berjumlah cukup besar (explotion of data). Maka muncul beberapa
alat, seperti alat digital, sistem otomatisasi, robot, analisis data, serta komputasi kognitif.
Hubungan teknologi D&A dan kognitif manusia merupakan saling melengkapi yakni
melalui pendekatan kombinasi dalam menghasilkan kedalaman analitis dan perspektif yang
lebih luas sehingga memungkinkan pengambilan keputusan yang efektif.
a. Analytics (logic)
Yakni kemampuan manusia dalam menganalisis, membandingkan, mengukur,
optimalisasi, memprediksi, mencegah, memonitor, dan menetapkan
b. Cognitive (Rationale)
Yakni kemampuan manusia dalam mempelajari, menilai, menyimpulkan, menduga,
probability, menganalogi, dan memilih.
Kemampuan D&A membuat auditor dapat dengan cepat menganalisis data yang lebih
besar, mendapatkan visibilitas yang lebih besar terhadap tren dan anomali di semua cakupan
tempat dan bisnis, meninjau data pada tingkat presisi yang lebih tinggi sehingga auditor dapat
lebih memfokuskan prosedur audit pada risiko tertentu. Selain itu, otomatisasi
memungkinkan audit lebih adaptif dan responsif terhadap risiko unik yang ada dalam industri
dan bisnis klien.
Kualitas + Wawasan = Nilai
Adapun Proses dari D&A adalah sebagai berikut :
1. Planning
merencanakan audit, termasuk proses, waktu, dan ruang lingkup, serta mengoordinasikan
permintaan data dengan klien
2. Data Extraction
klien mempersiapkan dan melakukan ekstraksi data yang aman, menerima dan
mengangkut data terenkripsi
3. Analysis
mengimpor data klien ke lingkungan yang aman, memvalidasi dan reconcile data klien,
menjalankan rutinitas yang dipilih, melakukan review hasil
4. Reporting
memberikan hasil, review dan penggunaan hasil
5. Completion
menyelesaikan pelaporan
Dalam penggunaan D&A juga dilakukan rutinitas data dan analisis melalui software,
rutinitas yang sudah diprogram, maupun tipe software lainnya yang digunakan untuk
memeriksa, mengurutkan, menyaring data, menganalisis transaksi ataupun data terkait yang
digunakan sebagai bukti audit. Contoh aplikasi atau software ini adalah Microsoft Excel
IDEA, dll. Rutinitas data dan analisis dalam audit ditujukan untuk:
a. penggunaan teknologi yang mampu membantu auditor dengan memproses dan / atau
mengevaluasi populasi data
b. melakukan analisis berdasarkan penerapan aturan bisnis terhadap populasi tersebut,
dan
c. memberikan hasil yang relevan untuk membantu hasil interpretasi auditor
Rutinitas D&A dapat memberi informasi yang relevan untuk mendukung penilaian
risiko, membantu dalam pengujian kontrol atau membantu dalam melaksanakan prosedur
audit substantif. Penentuan jenis, kecukupan, dan kesesuaian bukti audit yang diperoleh dari
rutinitas dipengaruhi oleh pertimbangan faktor-faktor seperti
a. Tujuan rutinitas yang sedang dilakukan
b. jenis data yang digunakan dalam rutinitas dan prosedur yang dilakukan untuk
mengatasi relevansinya dan reliabilitasnya
c. akun signifikan terkait asersi yang relevan ditangani oleh rutinitas
Kategori jenis umum rutinitas D & A
a. Rutinitas D&A yang memisahkan, menyortir atau memanipulasi rincian informasi
yang diaudit dan memberikan output yang digunakan dalam audit
b. Rutinitas D&A yang membantu untuk mendapatkan pemahaman umum tentang
entitas dan / atau mendukung penilaian risiko umum, termasuk perencanaan dan
prosedur analisis akhir
c. Rutinitas D&A yang dilakukan sebagai bagian dalam prosedur audit
d. Rutinitas D&A yang membandingkan jumlah tercatat pada tingkat transaksi ke data
elektronik untuk mendapatkan bukti audit substantif
oleh Admin | Okt 30, 2017 | Auditing
Halo Sobat! Kamis malam? Giliran audit gentayangan! Gimana sharing “Audit Sampling”
minggu lalu? Gogo harap Sobat jadi makin penasaran dengan audit!
Sobat, sebagai calon future auditor, sikap professional scepticism harus dimiliki untuk
menghasilkan audit berkualitas. Kurangnya sikap professional scepticism dapat berujung pada
misstatement yang tidak terungkap sepenuhnya. Peningkatan lebih lanjut dalam professional
scepticism harus ditunjukkan dengan sebuah pemahaman psikologi, khususnya bias kognitif. Bias
kognitif dapat mempengaruhi para stakeholder dalam proses pelaporan keuangan, termasuk
auditor, sehingga mengurangi kualitas audit. Maka dari itu, malam ini, kita bakal sharing tentang
“Bias Kognitif” dalam audit! Tapi, sebelum ke sana, gimana sih konsep bias dalam standar
internasional?
Bias menjadi rujukan di dalam beberapa standar internasional audit, tapi penggunaan
istilahnya berbeda dari literatur psikologi, Sobat! Dalam Handbook of International Quality Control,
Auditing, Review, Other Assurance, and Related Services Pronouncements IAASB, management bias
didefinisikan sebagai “A lack of neutrality by management in the preparation of information.”
Neutrality di sini berarti “bebas dari bias.” Selanjutnya, ISA mewajibkan auditor untuk waspada
terhadap indikator bias manajemen dan mengambil tindakan mitigasi saat bias diketahui. Jadi,
menghilangkan bias dilihat sebagai sesuatu yang bukan saja diinginkan, tetapi juga memungkinkan,
Sobat!
Pada bulan Desember 2015 lalu, ada sebuah diskusi mengenai bias auditor yang mengacu
pada bias kognitif. Analisis terhadap tanggapan konsultasi “Invitation to Comment, Enhancing Audit
Quality in the Public Interest” (the ITC) IAASB mengidentifikasi risiko bahwa auditor mungkin secara
tidak sadar melakukan bias, Sobat! Analisis ini menyarankan auditor memitigasi subconscious bias ini
dengan cara menjadi lebih aware bahwa bias tersebut benar-benar ada. Riset terhadap bias kognitif
menemukan bahwa awareness dan pelatihan dapat membantu memitigasi bias, tapi mungkin tidak
sepenuhnya efektif.
Literatur mengenai bias kognitif berakar pada sebuah publikasi berjudul “Judgement under
Uncertainty: Heuristics and Biases” oleh Amos Tversky dan Daniel Kahneman. Isu yang mereka coba
jawab adalah mengapa beberapa penilaian manusia terlihat irasional dan tidak optimal. Mereka
menjelaskan bahwa sejumlah bias kognitif yang telah berkembang memengaruhi manusia dalam
pengambilan keputusan.
Beberapa bias kognitif berfungsi sebagai shortcut untuk pengambilan keputusan yang cepat
meski tidak terlalu akurat dan sangat membantu apabila waktunya singkat. Sebagai contoh, auditor
tetap perlu membuat keputusan saat memiliki informasi yang tidak lengkap atau saat asersi
pelaporan keuangan bergantung pada informasi yang forward-looking. Selain itu, audit dengan
sumber terbatas bergantung pada interaksi sosial yang baik dengan klien agar perolehan informasi
jadi lebih efisien. Akibatnya, proses audit rentan terhadap bias kognitif, Sobat!
Ada 12 bias kognitif yang paling relevan terhadap proses audit:
1) Hindsight bias
2) Outcome bias
3) Confirmation bias
4) Anchoring bias
5) Availability heuristic
6) Groupthink
7) Overconfidence
8) Recency
9) Conjunction bias
10) Selective perception
11) Stereotyping
12) Blind-spot bias
Kendalanya adalah bahwa bias kognitif ini merupakan akibat langsung dari menjadi manusia,
Sobat! Bias kognitif dapat dimitigasi dengan cara merancang sistem yang dapat mengurangi
dampaknya. Namun, tidak semua bias kognitif bisa dihilangkan. Audit yang benar-benar
menghilangkan bias kognitif mungkin akan sangat memakan waktu dan mahal. Oleh karena itu,
tantangan ini menuntut tanggung jawab seluruh stakeholder untuk kualitas sistem secara
keseluruhan. Setiap pihak perlu meningkatkan awareness terhadap bias kognitif agar sistem dan
proses dapat dirancang menjadi lebih tangguh. Nah, siapa aja nih stakeholder-nya, Sobat?
1) Auditor
Saat merancang dan melakukan proses audit, auditor perlu menyadari sejauh mana mereka
terpengaruh oleh subconscious bias. Mereka harus memitigasi bias sebisa mungkin, baik
pada tahap perancangan dan selama mereviu temuan audit.
2) Penyusun standar
Saat menyusun standar, mereka harus memastikan bahwa standar tersebut tidak
menciptakan sistem yang rentan terhadap bias.
3) Penyusun laporan keuangan
Mereka harus menyiapkan laporan keuangan yang transparan. Mereka juga harus
memastikan bahwa auditor mereka didukung dalam menerapkan professional scepticism
dan diberi ruang untuk melakukan pekerjaan secara independen.
4) Komite audit
Mereka harus mempertanyakan auditor selama proses audit untuk mengidentifikasi area-
area di mana bias kognitif mungkin terjadi dan meminta auditor mereka untuk
meminimalkan dampak bias kognitif pada proses audit.
5) Regulator
Regulator harus berfokus pada peningkatan kualitas audit yang lebih baik dan bekerja sama
dengan stakeholder kualitas audit lainnya untuk meminimalkan risiko bias auditor.
6) Investor
Investor harus memikirkan bagaimana cara meminimalkan dampak bias terhadap proses
seleksi auditor.
7) Masyarakat
Masyarakat harus mendorong diskusi baru mengenai kualitas audit yang berakar pada
komitmen bersama terhadap kualitas.
Nah, itu dia sharing Gogo mengenai bias kognitif pada malam ini! Semoga menambah
pengetahuan para Sobat Audit! Jangan lupa kepo Twitter untuk kultweet asik dan Instagram untukinfografik menarik hanya di @jagoakuntansi! Nantikan gentayangan audit pada Kamis malam
berikutnya, Sobat!
Keep Learning, Sharing, Inspiring!
Sumber: Gambier, Andrew. Banishing bias? Audit, objectivity and the value of professional
scepticism. London: Association of Chartered Certified Accountants, 2017.
oleh Admin | Okt 30, 2017 | Artikel, Auditing, Direktorat Pendidikan dan Pelatihan
Sobat gogo pasti tidak asing dengan salah satu jasa yang diberikan oleh Akuntan Publik.
yang satu ini, yaitu audit. Nahkali ini terkait jasa audit kita akan bahas hal yang lekat
dengan jasa audit yaitu sampling.
Auditor di Indonesia yang melaksanakan jasa audit mengacu pada Standar Audit yang
dibuat oleh IAPI. Untuk hal yang menyakut dengan Jasa Audit teman-teman bisa
melihat Standar Audit dengan mengakses laman IAPI.
Nah kita mulai bahas sampling dengan mengerti arti sampling. Sampling adalah
penerapan prosedur audit terhadap kurang dari100% unsur dalam suatupopulasi.
Diharapkan sampling dampak menggambarkan keadaan populasiagar Auditor
mendapatkan basis untuk menarik kesimpulan atas keadaan populasi tersebut.
Karena tidak100% unsur dalam suatu populasi diterapkan prosedur audit,maka
terdapat risiko sampling.
Jadi agar auditor tidak menarik kesimpulan yang salah karena adanya risiko sampling,
auditor harus melakukan beberapa tindakan sebelum melakukan samplingyaitu:
1. Perancangan suatu sampel audit
2.Mempertimbangkan tujuan prosedur audit dan karakteristik populasi
3.Menentukan ukuran sampel
4.Memilih unsur-unsur yang akan diuji dengan peluang antara unsur satu dan yang
lain sama untuk dipilih
Sampling dibagi menjadi dua yaitu statistik dan nonstatistik. Untuk sampling statistik
memiliki karakteristik yaitu pemilihan unsur sampel dilaksanakan secara acak dan
penggunaan teori probabilitas untuk menilai hasil sampel, termasuk untuk mengukur
risiko sampling. Jika suatu sampling tidak memiliki kedua karakteristik dianggap sebagai
sampling non statistik.
Besarnya ukuran sampel akan dipengaruhi oleh faktor:
a.Tingkat keyakinan auditor
b.Tingkat kesalahan yang diharapkan
c.Tingkat kesalahan yang dapat ditolerir
Tingkat keyakinan auditor dalam mempengaruhi besarnya ukuransampel dilihat dari
pengalaman auditor dalam melakukan prosedur auditor pada unsur tersebut sesuai
dengan tujuan prosedur tersebut di keadaan kliennya. Semakin tinggi tingkat keyakinan
auditor kepada keadaan klien untuk dilalukan prosedur audit maka semakin sedikit
sampel yang akan diambil, begitu sebaliknya.
Tingkat kesalahan yang diharapkan yang dimaksud adalah tingkat kesalahan yang
ditemukan oleh auditor sebelum melakukan prosedur audit tersebut. Auditor yang
melakukan prelimenary research pada kliennya akan menemukan tingkat kesalahan.
Semakin tinggi tingkat kesalahan yang diharapkan maka semakin tinggi sampel yang
akan ditentukan, begitupun sebaliknya.
Tingkat kesalahan yang dapat ditolerir adalah tingkat kesalahan dalam melaksanakan
prosedur audit tersebut. Semakin kecil tingkat kesalahan yang dapat ditolerir maka
semakin besar sampel yang akan diambil, begitupun sebaliknya.
Jika auditor telah melakukan sampling, auditor juga harus mengevaluasi hasil sampling
yaitu dengan menilai hasil sampel, dan menilai apakah penggunaan sampling telah
menyediakan basis yang wajar untuk menarik kesimpulan tentang populasi yangdiuji.
Saat sampling audit belum dapat memberikan basis yang wajar untuk penarikan
kesimpulan auditor dapat melakukan penyesuaian sifat, saat dan luas untuk prosedur
audit tambahan, ataupun meminta klien (manajemen) untuk menginvestigasikesalaahan
penyajian yang terlihatpada sampel tersebut dan melakukan penyesuaian yang
diperlukan.
Nah Sobat,demikian penjelasan Gogo mengenai Sampling kali ini. Semoga bermanfaat
bagi sobat-sobat sekalianya.Tetap semangat untuk belajar dan berbagiya,Sob!
Nantikan materi-materi auditing dari Gogo minggu depan.
KJAI!Learning, Sharing ,Inspiring!!!
Sumber:
Gray,Ian andManson, Stuart.(2008) ‘The Audit Process Principles, Practice and Cases’,
Chapter11,4thedition, Singapore: Thomson Learning
oleh Admin | Okt 30, 2017 | Artikel, Auditing, Direktorat Pendidikan dan Pelatihan
Selamat Malam! Gimana kabarnya semua? Sudah siap belajar audit bareng Gogo?
Masih ingat kan kalau minggu lalu kita membahas tentang KPPK? Nah, kali ini Gogo
melanjutkan pembahasan minggu lalu, simak yuk simak..
Laporan Keuangan terdiri atas Laporan Keuangan triwulanan unaudited dan Laporan
Keuangan tahunan audited. Jika terdapat kesalahan hal yang harus dilakukan pelapor yaitu:
1. Pelapor harus menyampaikan koreksi atas kesalahan laporan dimaksud ke Bank
Indonesia. Koreksi laporan ini kan menjadi laporan pengganti atas laporan yang telah
diterima sebelumnya.
2. Nah, Laporan, koreksi laporan, dan/atau dokumen pendukung disampaikan kepada
Bank Indonesia secara online melalui website pelaporan di Bank Indonesia dengan
alamat https://www.bi.go.id/lkpbuv2.
Laporan yang disampaikan ini tidak boleh sembarangan karena BI dapat melakukan
penelitian terhadap kebenaran laporan dan/atau koreksi laporan yang disampaikan Pelapor.
Penelitian ini dilakukan dengan:
(1) memintapenjelasan, bukti, catatan, dan/ataudokumen pendukung, dengan atau tanpa
melibatkan instansi terkait
(2) melakukan pemeriksaan langsung terhadap Pelapor;
(3) meminta penjelasan dari KAP yang ditunjuk oleh Pelapor untuk menjelaskan Laporan
KPPK yang telah melalui Prosedur Atestasi
(4) menunjuk pihak lain untuk melakukan penelitian bagi BI.
Bukti pembukuan, catatan, dokumen, dan penjelasan yang diperlukan dalam rangka
penelitian kebenaran laporan ini harus disampaikan kepada BI paling lama 15 hari sejak
tanggal penerbitan surat permintaan.
Pelanggaran terhadap ketentuan pelaporan KPPK dapat dikenakan sanksi administratif
sebagai berikut:
1. Pelapor yang menyampaikan Laporan KPPK secara tidak lengkap dan/atau tidak
benar dikenakan sanksi administrative berupa denda sebear Rp500.000,00 untuk
setiap laporan.
2. Pelapor yang terlambat menyampaikan Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah
melalui Prosedur Atestasi, dan Laporan Keuangan dikenakan sanksi administratif
berupa denda sebesar Rp500.000,00
3. Untuk setiap hari kerja keterlambatan dengan denda paling banyak sebesar
Rp5.000.000,00.
4. Pelapor yang tidak menyampaikan Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui
Prosedur Atestasi, dan Laporan Keuangan dikenakan sanksi administratif berupa
denda sebesar Rp10.000.000,00 dapat dikenakan teguran tertulis dan/atau
pemberitahuan kepada otoritas/instansi berwenang.
5. Pelapor yang terlambat atau tidak menyampaikan informasi mengenai pemenuhan
Peringkat Utang (Credit Rating) dikenakan sanksi administratif berupa teguran
tertulis dan/atau pem beritahuan kepada otoritas atau instansi berwenang.
6. Selain dikenakan sanksi administrative berupa denda, Pelapor yang terlambat dan/atau
tidak menyampaikan Laporan KPPK, Laporan KPPK yang telah melalui Prosedur
Atestasi, dan/atau Laporan Keuangan,
7. Pelapor dapat dikenakan sanksi administrative berupa teguran tertulis dan/atau
pemberitahuan kepada otoritas atau instansi yang berwenang dalam hal:
(a) Pelapor tidak membayar sanksi administrative berupa denda; atau
(b) Pelapor telah dikenakan sanksi administrative berupa denda sebanyak 3 (tiga) kali
dalam 1 (satu) tahun kalender.
Ketentuan jika terjadi Force Majeure :
1. Pelapor yang mengalami kondisi force majeure sehingga menyebabkan keterangan
dan data tidak tersedia, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan untuk
periode laporan pada saat force majeure terjadi.
2. Sementara itu, Pelapor yang mengalami kondisi force majeure sehingga menyebabkan
penyampaian laporan terhambat, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan laporan
dalam batas waktu penyampaian laporan.
3. Ketika mengalami kondisi force majeure, Pelapor wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis kepada BI dengan memberikan penjelasan mengenai
keadaan force majeure yang dialami.
Nah Sobat, demikian penjelasan Gogo mengenai KPPK kali ini. Semoga bermanfaat bagi
sobat-sobat sekalianya.Tetap semangat untuk belajar dan berbagi ya,Sob!
Nantikan materi-materi auditing dari Gogo minggudepan.
KJAI! Learning, Sharing, Inspiring!!!
Sumber:
1. Surat Edaran Bank Indonesia No.17/3/DSTA
tentangPelaporanPenerapanPrinsipKehati-
hatiandalamPengelolaanUtangLuarNegeriKorporasi Nonbank
2. Tanya Jawab Surat Edaran Bank Indonesia
No.17/3/DSTAtentangPelaporanPenerapanPrinsipKehati-
hatiandalamPengelolaanUtangLuarNegeriKorporasiNonbank dalam
http://www.bi.go.id/id/peraturan/moneter/Documents/se_170315_faq.pdf (diakses
pada 29 September 2017 pukul 19.46 WIB)
Komentar Terbaru