Perusahaan raksasa penyedia mesin jet terbesar di Inggris, Rolls-Royce dedenda sebesar £671
juta (sekitar Rp 11 Triliun) atas kasus pemberian suap kepada pejabat eksekutif pemebli produk
Rolls Royce yang berafiliasi di Amerika, Cina, India, Rusia, termasuk Indonesia (Garuda
Indonesia). Denda itu merupakan denda terbesar sepanjang sejarah Serious Fraud Office (SFO)
di Inggris. Kasus Rolls Royce juga berdampak kepada investigasi terhadap KPMG, sebagai
Auditor Rolls Royce!
Timbul pertanyaan public, kenapa telah ada auditor, namun masih terjadi fraud?
Tahukah kamu Sobat, sejak tahun 2001 hingga 2015, Indonesia telah mengalami kerugian
sebesar Rp 207 Trilliun rupiah karena fraud! Jumlah itu kira-kira setara dengan 1/9 dari APBN
Indonesia tahun 2015. Mari kita bayangkan sobat, berapa banyak infrastruktur seperti sekolah,
transportasi, dan rumah sakit yang dapat dibangun dengan nominal sebesar itu?
Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) mendefinisikan fraud kedalam 3
kategori, yaitu Corruption, Asset Misappropriation, dan Financial Statement Fraud.
1. Korupsi adalah tindakan penyelewengan yang melawan aturan yang berlaku demi
keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
2. Penyalahgunaan Aset adalah tindakan berupa pencurian asset ketidaktepatan dalam
melaporkan aset dengan sengaja mesalahsajikan dokumen transaksi.
3. Kecurangan dalam laporan keuangan adalah tindakan yang dengan sengaja
mensalahsajikan atau menghilangkan sejumlah nilai atau pengungkapan yang
bertujuan menyesatkan pengguna dan tidak menyajikan laporan keuangan
berdasarkan standar akuntansi yang berlaku.
Di Indonesia, kita sering menyapa Fraud dengan sebutan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme. Ada 5 pemicu terjadinya Fraud ini. Menurut Crowe Howarth, yaitu:
1. Arrogance
Fraudster melakukan tindakan fraud atas dasar ingin memenuhi kesearakahannya.
2. Competence
Kondisi ini terjadi ketika fraudster memiliki power atau wewenang dalam suatu
organisasi dan menyelewengkan wewenang tersebut untuk melakukan fraud.
3. Opportunity
Fraudster melihat adanya kelemahan dalam sistem pengendalian internal suatu organisasi,
dan mengekspolitasinya dengan cara yang salah.
4. Rationalization
Ketika fraudster berkomitmen untuk melakukan fraud dengan membenarkan tindakan
fraud tersebut.
5. Pressure
Kondisi ketika fraudster mengalami tekanan untuk mencapai target tertentu yang
membuat frauster berpikir harus melakukan fraud.
AICPA kemudian merumuskan SAS No. 99 Consideration of Fraud in a Financial
Statement Audit yang bertujuan untuk mendeteksi dini sebelum fraud terjadi melalui langkah-
langkah berikut.
1. Deskprisikan karakteristik dari Fraud.
2. Profesional Skeptisme pada bukti-bukti audit.
3. Diskusikan diantara tim audit tentang kecurigaan salah saji material yang terindikasi
fraud.
4. Pengumpulan dan pengelaborasian informasi.
5. Identifikasi, dan penilaian terhadap resiko
6. Respon terhadap risk assessment dan evaluasi terhadap bukti
7. Komunikasi dan dokumentasi atas konsiderasi Auditor atas Fraud
Source:
AICPA, 2002. AU Section 316 Consideration of Fraud in a Financial. October, (99, 113),
pp.167–218.
Crowe, H., 2011. Why the Fraud Triangle is No Longer Enough. , p.55. Available at:
www.crowehorwath.com.
Lu, S., 2005. SAS 99 & Fraud Detection.
Tashandra, Nabilla. 2017. Memberantas Korupsi, Racun Terbesar Indonesia.
http://nasional.kompas.com/read/2017/03/25/06571531/memberantas.korupsi.racun.terbesar.indo
nesia. Diakses tanggal 29 Oktober 2017.
Komentar Terbaru