DUA PILAR PERPAJAKAN INTERNASIONAL MULAI DILAKSANAKAN TAHUN 2023?

Pembahasan mengenai perpajakan internasional dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G20 mengalami banyak kemajuan. Negara-negara anggota G20 bersepakat untuk terus mendukung upaya implementasi Solusi Dua Pilar perpajakan internasional yang dinilai bersejarah dalam merombak arsitektur perpajakan internasional. Komitmen tersebut dinyatakan dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral/Finance Minister and Central Bank Governor (FMCBG) ke-3G20 Presidensi Indonesia yang dilangsungkan pada 15-16 Juli 2022 di Nusa Dua, Bali.

Reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil menjadi salah satu fokus agenda lanjutan G20 yang dikedepankan oleh Presidensi G20 Indonesia. Reformasi sistem perpajakan internasional tersebut dilakukan melalui pengalokasian hak pemajakan ke negara yang menjadi pasar produk barang dan jasa digital (negara pasar) yang dikenal sebagai Pilar 1. Serta memastikan bahwa semua perusahaan multinasional (multinational enterprise /MNE) membayar pajak minimum di semua tempat perusahaan tersebut beroperasi atau yang disebut dengan Pilar 2. Reformasi sistem perpajakan internasional ini terdiri dari dua pilar utama ang bertujuan untuk tata kelola ekonomi global yang berkelanjutan dan inklusif dengan menekankan aspek perpajakan produk dan jasa digital serta upaya antisipasi penghindaranp ajak lintas negara.

Pada Oktober 2021, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 mensahkan Solusi Dua Pilar dan detail rencana implementasinya yang dinilai cukup ambisius yaitu untuk menerapkan peraturan baru mengenai pemajakan pada tahun 2023. Sementara sejak November 2021, tercatat 137 negara anggota OECD/G20 Inclusive Framework (IF), yang mewakili lebih dari 90 persen produk domestik bruto (PDB) global, termasuk Indonesia, telah menyetujui Solusi Dua Pilar. Meski demikian, untuk mewujudkan kedua pilar ini menjadi landasan hukum yang konkret, perlu disusun suatu Konvensi Multilateral (Multilateral Convention/MLC). Karena itu, kepemimpinan Indonesia pada forumG20 2022 menjadi krusial dalam mengawal kemajuan rencana implementasi Solusi Dua Pilar tersebut.

Pilar Pertama Reformasi Sistem Perpajakan Internasional

Pilar II bersifat wajib atau harus diterapkan (minimum standar) oleh anggota OECD/G20IFyang sudah menyepakati Solusi Dua Pilar. S. Adapun Pilar I mensyaratkan tiap negara untuk membatalkan kebijakan pajak digital yang bersifat unilateral, seperti halnya digital servicestax yang contohnya diterapkan oleh India, UK, Perancis, ketika skema Pilar I telah diimplementasikan.

Pilar I yakni Unified Approach, merupakan solusi yang berupaya menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil melalui perombakan sistem pajak internasional yang tidaklagi berbasis kehadiran fisik, tetapi lebih kepada kehadiran ekonomi signifikan. Pendekatanini berlaku bagi perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto global di atasEUR20 miliar dan profitability (laba sebelum pajak terhadap penghasilan bruto) di atas10persen dengan pengecualian untuk bisnis ekstraktif dan jasa finansial yang teregulasi.

Pilar ini bertujuan untuk menciptakan hak perpajakan yang adil ke negara-negara yang merupakan pasar produk barang dan jasa digital. Pilar pertama mencakup perusahaan multinasional dengan peredaran bruto 20 miliar euro beserta tingkat profit diatas 10%. Apabila perusahaan multinasional memiliki minimal 1 juta euro dari negara pasar, maka profit yang didapatkan akan dibagikan kepada negara pasar pula.

Berdasarkan kesepakatan G20/BEPS Juli 2021, tarif alokasi yang dibebankan oleh perusahaan multinasional sendiri akan berkisar 25% yang nanti akan dibagikan sesuai porsi penjualan ke setiap negara pasar. Pilar ini menjadi tonggak reformasi peraturan pajaki nternasional yang baik mengingat saat ini tidak ada alokasi pajak untuk negara pasar apabila perusahaan bukan termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT). Realita ini sungguh merugikanIndonesia, mengingat sebagian perusahaan multinasional bukan merupakan BUT, hanyakantor perwakilan sehingga tidak bisa dikenakan pajak

Scope dalam konteks Pilar I adalah cakupan perusahaan-perusahaan khususnya MNE yang dapat dikenakan pajak. OECD membedakan perusahan menjadi dua yaitu Automated Digital Services (ADS) dan Consumer Facing Business (CFB). Terdapat dua komponen utama dalam kategori ADS yaitu otomatis (automated), yaitu setelah sistem diatur, penyediaan layanan untuk pengguna tertentu memerlukan keterlibatan manusia minimal di pihak penyedia layanan; dan digital, yaitu disediakan melalui internet atau jaringan elektronik (OECD, 2021). Yang termasuk dalam list positive ADS seperti layanan periklanan online; penjualan atau pemindahtanganan data pengguna lainnya; mesin pencari online, platform media sosial;
platform perantara online; layanan konten digital; game online; layanan pengajaran online; dan layanan cloud computing. Untuk itu perusahaan-perusahaan online besar yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia seperti Google, Facebook, Spotify, dll masuk dalam kategori ADS. Selain kategori ADS terdapat kategori CFB, CFB akan mencakup bisnis yang menghasilkan pendapatan dari penjualan barang dan jasa jenis yang biasa dijual kepadakonsumen, yaitu individu yang membeli barang untuk penggunaan pribadi dan bukan untuk tujuan komersial atau professional, termasuk lisensi dan franchise (OECD, 2021).

Threshold
Selain cakupan perusahaan diperlukan batasan yang mengatur pengenaan pajak atas Pilar I. Kewajiban perusahaan dalam pembayaran pajak tidak terlepas dari aspek administratif, untukitu OECD menetapkan syarat peredaran bruto global diatas EUR 20 miliar dan profitability (laba sebelum pajak terhadap penghasilan bruto) di atas 10%. Selain itu apabila perusahan total peredaran bruto di suatu negara melebihi EUR 1 juta maka negara yurisdiksi tersebut (yuridiksi pasar) dapat mengenakan pajak atas penghasilan perusahaan tersebut. Menurut penelitian terdapat sekitar 100 perusahaan global yang masuk dalam kelompok ini.

Alokasi profit
Pilar I, khususnya dalam konteks Amount A, MNE tentunya dapat menerima penghasilan dari berbagai negara. Apabila penghasilan bruto secara global MNE tersebut sudahmemenuhi threshold yaitu EUR 20 Miliar, serta laba sebelum pajak diatas 10%dari total penghasilan tersebut, maka negara yurisdiksi pasar dapat mempunyai hak pemajakan atas MNE tersebut asalkan penghasilan bruto atau penjualan di negara tersebut sudah lebihdari EUR 1 juta maka alokasi profit negara sumber adalah sebagai berikut: Contoh perhitungan:



Pilar Kedua Reformasi Sistem Perpajakan Internasional

Sementara Pilar II merupakan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak. Pilar 2 terdiri atas dua rencana kebijakan, yaitu Global Anti-Base Erosion Rules (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR).
GloBE dilakukan melalui penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimumsecara global sebesar 15 persen ditinjau dari negara domisili. Sedangkan STTR memberi kewenangan kepada negara sumber memberlakukan tarif withholding tax secara penuh tanpa reducedrate dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) apabila penerima penghasilan yang berada di negara lain ternyata tidak membayar pajak di negara domisili.
Pilar II ditujukan bagi seluruh perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto di atas EUR750 juta seperti halnya batasan yang ditetapkan dalam kewajiban laporan per negara (country-by-country reporting/CbCR) dokumentasi transfer pricing. Melalui reformasi peraturan perpajakan internasional ini, diharapkan mampu mengurangi praktik penghindaran. pajak serta mereformasi kebijakan pajak nasional untuk perusahaan multinasional. Tujuan akhirnya adalah tentunya peningkatan penerimaan pajak Indonesia.

Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memprediksikan setidaknya akan terdapat penambahan pajak penghasilan hingga 4% atau sekitar $150 miliar per tahun. Tidak hanya itu, tambahan sebesar $125 miliar akan dialokasikan ke negara pasar pula melalui pilar pertama. Kedua pilar yang merupakan manifestasi reformasi peraturan perpajakan internasional ini ditargetkan untuk ditandatangani pada pertengahan 2022danbaru efektif berjalan pada tahun 2023.

Tantangan Penerapan 2 Pilar

Kedua pilar diatas secara singkat dapat disebut sebagai “yurisdiksi pasar” sebagai elemen hak pemajakan (Tambunan, 2020). Pengenaan hak pemajakan atas dasar “yurisdiksi pasar” atas adanya penjualan jasa dan barang tidak berwujud dapat sangat menguntungkan bagi sebuahnegara khususnya bagi negara berkembang khususnya Indonesia dan Malaysia yang memiliki
basis pajak yang besar di wilayah Asia Tenggara. Dengan diterapkan Pilar I memungkinkan pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk memajaki perusahaan digital raksasa yang mendapatkan penghasilan yang berasal dari Indonesia dan Malaysia akibat penjualanbarang dan jasa tersebut.

Pertanyaan mendasar dari konsensus global tersebut adalah apakah semua negara mampumenerjemahkan dan mengaplikasikan konsensus tersebut? Karena setiap negara memiliki sistem hukum dan administrasi pajak yang tidak seragam antara satu dan lainnya, terutama karena adanya azas perbedaan yurisdiksi. Menjadi pembahasan menarik karena sejatinyakonsensus ini diperlukan pada hampir seluruh negara, dimana Malaysia dan Indonesia juga termasuk, namun rancangan konsensus global ini menjadi tantangan yang sangat besar jika dilakukan dalam waktu dekat terutama apabila setiap negara belum memiliki kesiapan yang cukup. Salah satu bentuk tantangan dapat dilihat dari aspek.

Hukum salah satunya perlu adanya regulasi teknik tata cara dan panduan dalam menerapkan pilar ini, di lain sisi Direktorat Jenderal Pajak kedua negara juga harus memahami organisasi digital dalam menjalankan aktivitas bisnisnya (Tambunan, 2020). Selain tantangan diatas, dalam penerapan Pilar II sistem pencatatan pajak dan akuntansi Indonesia harus dapat
mengkategorisasi penghasilan dari aktivitas rutin dan non rutin, penghasilan dari profit residual dan profit rutin untuk dapat dijadikan basis dalam pengenaan pajak (Tambunan, 2020). Hal ini menjadi tantangan karena adanya perlakuan yang berbeda-beda dalam basis akuntansi. Selain itu yang menjadi kunci utama adalah kekuatan data dan informasi, apabila pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak tidak memiliki sumber daya manusia serta penerapan teknologi maka akan sulit untuk menerapkan kedua pilar ini di masa mendatang. Sisi peluang dan tantangan yang akan dihadapi dapat menjadi dilema bagi pemerintah dalam penerapan konsensus global ini. Melihat dari permasalahan tersebut diatas, penelitianini
ingin melihat dan mengetahui perspektif, kesiapan, hambatan, dan strategi dalam proses implementasi kedua pilar ini dari sudut pandang pemerintah (otoritas pajak),

Solusi Dua Pilar menurut Partner, DDTC Fiscal Research & Advisory Bawono Kristiaji atau kerap disapa Aji merupakan kebijakan yang revolusioner karena sudah lebih berani mereformasi banyak aspek perpajakan internasional. Tidak hanya berupaya mencegah kompetisi pajak yang merugikan negara lain dan mengantisipasi perencanaan pajak yang agresif, tetapi juga membenahi keseluruhan lanskap pajak internasional untuk menjamin alokasi laba dan pajak yang lebih adil. Namun, Aji mengingatkan tantangan-tantangan yang muncul dari aspek teknis yang perlu diperhatikan. Di Pilar 1 misalnya detail teknik cara penentuan suatu penghasilan yang berasal dari market yurisdiksi (revenue sourcingrules) masih belum jelas, apakah berdasarkan jumlah pengguna, jumlah transaksi di suatunegara, dan sebagainya.

“Karena ini yang akan menentukan seberapa banyak setiap negara itu akan mendapat kuenya. Jadi di sini juga tentunya alot dari sisi formula apa yang dipergunakan, tapi juga nanti ada tantangan mengenai bagaimana memastikan bahwa datanya semua transparan,” tutur Aji. Masalah kelembagaan juga menurut Aji kemungkinan muncul setelah pilar 1 ditandatangani, dalam hal mekanisme pengawasan implementasi Pilar 1 secara global.

Selanjutnya, perubahan konsep pemajakan yang turut mengubah prinsip bentuk usaha tetap tidak lagi berbasis kehadiran fisik, akan berimplikasi pada lebih dari 3000 P3B (perjanjian penghindaran pajak berganda) yang harus diubah di seluruh dunia. Sebab itu, dibutuhkan skema konvensi multilateral. Di samping itu, tantangan menurut Aji juga datang dari aspektax certainty yaitu kepastian hukum apabila terjadi sengketa, mengingat penerapan Pilar Idapat berimplikasi pada adanya kemungkinan perusahaan multinasional dikenakan pajak berganda. Sehingga perlu diperjelas mekanisme penyelesaian sengketanya. Karena sepengamatan Aji, dari pengalaman-pengalaman arbitrase internasional cenderung lebih berpihak pada negara capital exporting countries, bukan negara-negara berkembang.

Manfaat Keuntungan Dalam Kedua Pilar Tersebut
Skema Pilar 1 maupun Pilar II akan berimplikasi pada penerimaan pajak. Yon menerangkan melalui pengaturan mengenai alokasi hak pemajakan baru dalam komponen Pilar 1, makaIndonesia akan turut memperoleh alokasi hak pemajakan baru dari perusahaan-perusahaan digital yang selama ini telah beroperasi di Indonesia namun tidak dapat dipajaki dikarenakan tidak adanya kehadiran fisik dari perusahaan tersebut. Yon melanjutkan, implementasi Pilar II memungkinkan Indonesia memperoleh potensi tambahan penerimaan pajak apabila terdapat subsidiary atau entitas anak grup perusahaan multinasional yang memiliki Entitas Induk Tertinggi (Ultimate Parent Entity) di Indonesia, melakukan kegiatan operasional di negara yang tidak mengenakan pajak atau menerapkan tarif pajak rendah.

“Potensi tambahan penerimaan pajak kedua Pilar masih dalam tahap penghitungan dan proses analisis lebih lanjut karena pembahasan detil implementasi kedua Pilar masih berlangsungdi tingkat teknis di forum internasional (OECD),” ungkap Yon. Sementara, berdasarkan kajian ekonomi yang dilakukan OECD, melalui implementasi Pilar 1 yang menjanjikan sistem pajak internasional yang lebih adil terdapat tambahan sebesar USD125 miliar setiap tahunnya yang dapat dialokasikan ke negara pasar.

Menilik kajian tersebut, Aji menerangkan yang perlu dicermati bahwa Pilar 1 hanya untuk perusahaan multinasional dengan threshold di atas EUR20 miliar -yang kemungkinan jumlahnya tidak lebih dari 150 perusahaan di seluruh dunia-. Dengan demikian, hanya sedikit perusahaan multinasional yang nantinya akan harus tunduk pada ketentuan Pilar 1 tersebut. Lebih dari itu, perlu diperhatikan pula formula penghitungan alokasi yang dipakai. Dari residual profit perusahaan multinasional di atas 10 persen laba global yang diperuntukanalokasi ke negara pasar, ternyata juga masih dialokasikan lagi dan hanya sekitar 25persensaja yang akan diterima oleh negara berkembang.

Penilaian Kesiapan Kebijakan Pajak Indonesia dan Kelemahan Implementasi Kedua Pilar

Indonesia merupakan negara pengguna smartphone terbesar keempat setelah China, Amerika, dan India. Dengan kondisi ini memungkinkan Indonesia mendapatkan penghasilan dari aspek penggunaan layanan digital yang besar. Apalagi saat ini dengan adanya pandemi COVID-19pengguna layanan digital Indonesia naik sebesar 37% (e-Conomy SEA report, 2020). Padatahun 2021 Alphabet perusahaan yang menaungi Google melaporkan bahwa pada kuartal I/2021 pendapatan iklan meningkat US$50,44 miliar, atau naik 69 persen dari kuartal tahun lalu. Sedangkan pendapatan YouTube mencapai lebih dari US$7 miliar, naik 83 persendari tahun lalu, mendekati pendapatan kuartalan Netflix, yaitu US$7,34 miliar. Peningkatan pendapatan ini memungkinkan karena adanya peningkatan pengguna layanan masa pada pandemi ini. Peningkatan pendapatan disertai dengan peningkatan basis pajak pula.

A. Penerapan Pilar I

Ini maka Indonesia pun dapat mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan dari perusahaan raksasa dunia seperti Google, Facebook, Youtube, dan Netflix. Dengan adanya penerapan Pilar I, yang sebelumnya Indonesia sudah mengenakan atas PPN maka dengan adanya Pilar I maka dapat merambah ke pajak penghasilan juga. Untuk itu ini merupakan keuntungan bagi Indonesia. Pilar I ini akhirnya menggeser sistem pemajakan yang tidak hanya berbasis kehadiran fisik atau physical present saja, tetapi pemajakan dapat dilakukan saat ada economic present. Dengan adanya hak pemajakan atas residual profit (Amount A) tersebut maka Indonesia dapat menambah hasil penerimaan pajak yang nantinya dapat digunakan untuk pembangunan dan pemberian fasilitas, khususnya dalam penanganan pandemic COVID. Dengan adanya Pilar I maka menjamin kepastian pemajakan perusahaan-perusahaan khususnya digital. Dengan adanya Pilar I konteks “yurisdiksi pasar” ini maka akan menciptakan lingkungan yang baik untuk pemajakan barang danjasatidak berwujud.

Negara-negara berkembang khususnya Indonesia mendapatkan alokasi profit dari residual profit (Tambunan, 2020) Dengan diberlakukannya Pilar I ini maka setiap negara termasuk Indonesia perlu memiliki akses terkait report atas laporan keuangan MNE asing yang memiliki penghasilan di negara Indonesia. Threshold itulah yang dijadikan dasar perhitungan pajak sehingga, jumlah penghasilan global yang dilaporkan juga harus mencerminkan penghasilan sebenarnya serta sesuai dengan penghasilan penghasilan yang termasuk dalam kriteria Pilar I. Setiap negara induk contohnya Amerika dimana merupakan negara induk dari Google harus memiliki data penghasilan Google di setiap negara termasuk Indonesia. Untuk mengetahui berapa besarnya penghasilan ini diperlukan lembaga arbitrase (Task Force of Digital Economy).

B. Upaya penerapan dalam pilar II
Terdiri dari dua kebijakan yang berupaya untuk mengurangi adanya kompetisi pajak yang dilakukan melalui penerapan tarif pajak efektif PPh badan minimum secara global. Rencana kebijakan pertama yaitu pengenaan Pajak Penghasilan Badan minimum sebesar15% yang ditujukan kepada perusahaan multinasional di beberapa negara, dengan artian pihak perusahaan multinasional ini diharuskan membayar pajak lebih banyak di negara mereka menjualkan produk ataupun layanannya.

Peran Indonesia pada Presidensi G20 2022, diharapkan untuk dijadikan momentum pencapaikan kesepakatan global dan melanjutkan reformasi sistem perpajakan internasional yang dapat mengoptimalkan penerimaan pajak di era digital. Kesepakatan global terkait PilarSatu dan Pilar Dua harus dapat diimplementasikan secara adil, sederhana dan inklusif untuk negara maju dan negara berkembang. Presidensi Indonesia harus dapat mendorong keikutsertaan negara-negara G20 dalam penandatangan konvensi multilateral Pilar Satu dan Pilar Dua yang rencananya akan dilakukan pada pertengahan 2022. Hal tersebut sangat penting dilakukan agar semakin banyak negara mendukung suatu solusi yang bersifat multilateral. Presidensi G20 Indonesia juga akan memastikan kelancaran implementasi kesepakatan tersebut melalui konvensi multilateral dan ketentuan domestik yang dibutuhkan untuk dapat mengimplementasikan Pilar Satu dan Pilar Dua.

Strategi dalam Implementasi penerapan pilar I dan pilar II

Indonesia perlu menyiapkan diri dalam negosiasi global guna mengadopsi dua pilar dari BEPS yaitu pilar I dan pilar II hal tersebut tersebut, karena saat ini sifatnya masih dalam diskusi dan belum diberlakukan secara efektif. Karena Indonesia memiliki kepentingan dalam hak pemajakan atas aktivitas MNE dalam wilayah yurisdiksi Indonesia, baik dalam pilar Idan utamanya pilar II. Belajar dari penggerusan pajak yang selama ini terjadi akibat adanya Base Erosion and Profit Shifting akibat adanya perbedaan dan celah dalam pengenaan pajak. Selain itu fenomena mengenai adopsi dan implementasi dari Konsensus Global sudah semakin dekat dan bukan lagi menjadi pilihan. Maka Indonesia perlu ( Steven, 2013):

  1. Memahami kondisi saat ini dari aktivitas ekonomi digital saat ini, karena hal ini menjadi
    kekuatan Indonesia ketika berhadapan dengan negara lainnya. Pemahamandapat
    diperkuat dengan penyederhanaan administrasi pajak, memiliki sistem pengumpul dananalisis data ekonomi digital dan basis data yang mumpuni;
  2. Meyakinkan individu yang terlibat dalam adopsi dan gagasan dari Konsensus Global
    dapat dilakukan dengan skema optimis sehingga perlu ada paket informasi yang mumpuni mengenai know how dari rencana implementasi tersebut dan memastikan bahwa transfer knowledge berjalan dengan baik sehingga dapat meminimalisir terjadinya asymetri information di lapangan pada saat implementasi;
  3. Meyakinkan tim secara kolektif yang terlibat dalam adopsi dan gagasan dari Konsensus Global dapat dilakukan dengan skema optimis sehingga diperlukan mekanisme yang jelas dan peraturan pendukung yang tidak tumpang tindih dalam pelaksanannya. Termasuk juga sudah ada peta alur komunikasi dan koordinasi dalam pelaksanaan;
  4. Menguatkan institusi dalam hal ini adalah otoritas pajak dan juga kapasitas individu dan tim dalam menyambut pelaksanaan peraturan penjelas akibat adanya kesepakatan konsensus global. Strategi ini perlu untuk disiapkan dan dimatangkan sehingga bisa menambah kepercayaan diri pada Indonesia dan meyakinkan baik Indonesia maupun negara lain bahwa Indonesia sebagai negara yang besar mampu dalam melaksanakan konsensus global tersebut serta menambah keyakinan bahwa Indonesia akan sepakat dalam konsensus tersebut. Selain itu, manfaat ini tidak hanya untuk Indonesia tetapi juga negara lain. Karena pada dasarnya dalam menurunkan kasus penghindaran pajak karena pergeseran pendapatan diperlukan adanya komitmen Bersama dan menyeluruh antar negara sehingga dapat Bersama-sama memerangi kasus tersebut dan masing-masing negara dapat mengembalikan pendapatan yang selama ini “selalu”hilang. Serta rencana dalam mewujudkan Sustainability Development Goals dapat tercapai pada masing-masing negara.

DAFTAR PUSTAKA
Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia, (2023), Apa Itu Pilar 1dan Pilar 2 Proposal Pajak OECD, https://pertapsi.or.id/apa-itu-pilar-1-dan-pilar-2-proposal-pajak-oecd, diakses pada 05 Mei 2023
Herry Setyawan, (2022), Inclusive Framework Pilar Satu dan Pilar Dua, https://komwasjak.kemenkeu.go.id/in/post/inclusive-framework-pilar-satu-dan-pilar-duadi
akses pad 05 Mei 2023
Saparilla Worokinasih, Kartika Putri Kumalasari, Nurlita Sukma Alfandia, (2022), BasicResearch OECD Framework Untuk Menanggulangi Base Erosion Profit Shifting (Studi
Komparasi Indonesia Malaysia, Fair Value : Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Keuangan. Vol. 5No. 2 Februari 2022
Amaranggana, (2022), Kenali Dua Pilar Reformasi Sistem Perpajakan Internasional laman:
https://www.pajakku.com/read/618898374c0e791c3760bdbf/Kenali-Dua-Pilar-Reformasi- Sistem-Perpajakan-Internasional-, di akses pada 09 Mei 2023

SPT Pajak

[docxpresso file=”http://www.jagoakuntansi.com/wp-content/uploads/Kultweet-SPT-Pajak.odt” comments=”true”]

Sugar Tax

Beberapa negara telah menerapkan sugar tax. apa itu sugar tax? Sugar Tax adalah satu jenis pajak yang dikenakan terhadap makanan dan minuman mengandung kadar gula berlebih. Pajak ini diterapkan untuk menekan angka obesitas dan masalah kesehatan lain yang disebabkan oleh gula.

 Berdasarkan penjelasan mengenai sugar tax itu sendiri yang merupakan pengenaan pajak pada makanan atau minuman yang memiliki kadar gula berlebih, apakah minuman Coca-Cola, Sprite, dan Fanta termasuk dalam kadar gula yang berlebihan? Yuk kita bahas disini. Kali ini kita mengambil contoh penerapan Sugar Tax di Negara Australia dan Inggris.

Inggris adalah salah satu negara yang menyukai minuman ringan. Tahun lalu, penduduk di negara itu menghabiskan sekitar 14,8 miliar liter minuman ringan. Kandungan gulanya yang tinggi dan bisa menyebabkan obesitas membuat negara mulai khawatir. Menurut Departemen Kesehatan Inggris, minuman yang mengandung gula merupakan sumber terbesar asupan gula pada anak-anak. Seorang anak dapat mengonsumsi gula lebih dari yang direkomendasikan per harinya hanya dengan meminum sekaleng cola, yang mengandung sembilan sendok teh gula, dikutip dari Rzeuters. Menanggapi kekhawatiran atas obesitas, Inggris mengeluarkan strategi untuk mengurangi kegemukan pada anak-anak, dengan menarik pajak pada perusahaan penjual minuman ringan yang mengandung gula. Pajak yang didapat itu kemudian digunakan untuk program kesehatan yang bertujuan mendorong kegiatan jasmani dan diet seimbang bagi murid sekolah. Selain itu, Pemerintah Inggris juga mendorong agar industri minuman dapat mengurangi hingga 20 persen kandungan gula dalam produk-produk minuman dan juga makanan yang disukai anak-anak, termasuk pengurangan lima persen pada tahun pertama. Pemerintah Inggris akan memberlakukan pajak pada minuman ringan yang mengandung 5 gram per 100 liter akan dikenai 0,18 poundsterling dan yang kandungan gula melebihi 8 gram akan dikenai 0,24 poundsterling. Pajak gula akan mulai diberlakukan mulai April 2018, dan pemerintah Inggris mengatakan bahwa pihaknya akan memberi waktu kepada pada produsen untuk mengubah produk mereka (mengurangi kadar gula). Produk lain yang sangat manis adalah minuman energi Rockstar Punched jambu yang mengandung 15,6 gram per 100 ml. Old Jamaica lama berada di bawah dengan jumlah kandungan gula sebesar 15,2 gram.

Menteri Keuangan Inggris George Osborne telah memberikan konfirmasi untuk tetap menerapkan pajak atas makanan dan minuman yang mengandung gula (sugar tax) meskipun ditolak industri minuman. George menutup perdebatan dengan menegaskan bahwa sugar tax atau pajak atas gula ini akan mulai berlaku efektif pada April 2018 sesuai aturan undang-undang yang telah disusun dalam rancangan anggaran keuangan tahun 2017. Dalam rilis resmi Kementerian keuangan, aturan ini akan mengenakan sugar tax (pajak gula) sebesar £18 (Rp302.300) sampai dengan £24 (Rp403.072) untuk harga satu liter minuman bersoda.  Sementara itu, untuk jenis minuman seperti jus buah murni dan minuman dengan kandungan susu yang tinggi akan dibebaskan dari pengenaan sugar tax karena jenis tersebut tidak mengandung gula. Pemerintah berharap dengan diterapkannya sugar tax dapat memberikan kontribusi untuk penerimaan negara hingga sebesar £520 juta (Rp8,7 triliun) pada anggaran keuangan 2018/2019, kemudian sebesar £500 juta (Rp8,3 triliun) pada 2019/2020, dan £455 juta (Rp7,6 triliun) pada 2020/2021.

Profesi Pajak dan Sertifikasi Perpajakan

Berdasarkan data terakhir di bulan juli 2017 yang dikutip dari Sindonews,
jumlah konsultan pajak yang tercatat sebanyak lebih dari 4500 orang.
Jumlah ini masih sangat kecil dibanding rasio perbandingan jumlah wajib
pajak dan jumlah penduduk yang hampir 250 juta orang.
Jepang misalnya, memiliki 66.000 pegawai pajak dan 74.000 konsultan pajak
dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit. Maka, Indonesia masih sangat
kekurangan konsultan pajak.
Kalau masyarakat Indonesia sebanyak itu, sebenarnya perlu adanya
penambahan tenaga konsultan pajak loh sob, karena pada umumnya
beberapa masyarakat masih membutuhkan bimbingan berhubungan
dengan administrasi perpajakan serta permasalahan pajak lainnya. Diluar
dari pada itu target penerimaan pajak negara setiap tahunnya ditingkatkan
sob, sehingga pegawai pajak yang dibutuhkan akan selalu bertambah juga
setiap tahunnya. Gak nyesel sobat semua kuliah di jurusan akuntansi dan
menekuni ilmu perpajakan karena manfaatnya pasti akan sangat besar
bagi sobat semua, karena terdapat profesi lainnya di bidang perpajakan
yang sobat bisa tekuni.

Mengenal profesi pajak

Mengenai profesi pajak, ternyata banyak sekali profesi yang bisa sobat tekuni dan
bukan hanya bekerja di pemerintahan sob namun juga sobat punya peluang
bekerja di perusahaan swasta bahkan sobat juga bisa mendirikan kantor
konsultasi sendiri yang bergerak di jasa perpajakan. Sobat semua tidak perlu
bingung mau kerja di perusahaan yang skala besar atau kecil, Karena pada
umumnya semua perusahaan kecil atau besar sekalipun transaksi bisnisnya akan
melibatkan aspek perpajakan. Pasti pada penasaran ya kalau punya pengetahuan
pajak, bisa kerja dimana aja. Berikut ini profesi pajak yang bisa sobat tekuni:
1. Menjadi Pegawai Pajak di Lingkungan Ditjen Pajak
Kalau sobat baca artikel yang diawal tadi, harusnya sobat paham betul
kalau pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai di Ditjen pajak merupakan
pekerjaan yang mulia sob. Kenapa? Karena Sobat akan mengemban tugas
untuk menghimpun dana pajak dari masyarakat dengan tujuan untuk
membangun bangsa Indonesia sob.
2. Menjadi Tax Planner di Kantor Akuntan Publik (KAP)
Sobat semua pasti akan bertanya, bukannya KAP itu tempat kerja bagi para
Auditor? Memang tidak salah sob, namun jasa yang ditawarkan KAP ke
perusahaan ada yang berupa jasa perencanaan pajak sehingga
memungkinkan bagi sobat yang mendalami perpajakan untuk bekerja di
KAP juga.
3. Menjadi Tax Adviser di Kantor Konsultan Pajak
Apa bedanya sih menjadi Tax Planner di KAP dan menjadi Tax Adviser di
KKP?. Pada umumnya sob, tax planner hanya memberikan jasa
perencanaan pajak di perusahaan yg menjadi klien Auditnya. Namun tax
adviser memberikan jasa yang lebih beragam terkait dengan administrasi
perpajakan termasuk pemotongan dan pemungutan pajak.
4. Menjadi Taxman atau Tax Analyst di Perusahaan
Pada umunya perusahaan yang ukuran besar akan memiliki pegawai pajak
yang dikenal dengan Taxman atau tax Analyst. Tugas taxman pada
umumnya untuk mengeksekusi hasil tax planning yang dibuat oleh tax
panner serta menangani transaksi perusahaan yang melibatkan aspek
perpajakan sob.
5. Menjadi Pegawai Akuntansi Yang Menguasai Perpajakan

Pada umunya taxman dan accounting staff akan dipisah di perusahaan
besar namun di perusahaan skala menengah untuk menghemat biaya,
maka staf akuntansi biasanya merangkap menjadi staf pajak juga loh sob.
Sangat menguntungkan bagi sobat jurusan akuntansi yang mendalami
perpajakan juga.
6. Menjadi Konsultan Pajak Mandiri
Jika sobat sudah mempunyai pengalaman dan ilmu serta ijin terkait jasa
perpajakan maka sobat juga punya peluang untuk menjadi konsultan pajak
mandiri loh.
7. Mendirikan Kantor Konsultan Pajak
Kantor konsultan pajak tidak berbeda dengan Kantor Akuntan Publik sob,
jadi jika sobat sudah memiliki sumber daya dan modal yang cukup dan
pastinya ijin dari kementerian keuangan, maka tidak menutup
kemungkinan untuk sobat membuka kantor konsultan pajak sendiri.
Kalau dilihat lagi, mendalami ilmu perpajakan tidak merugikan ya sob karena
peluang kerja serta profesi yang di tawarkan juga beragam. Namun untuk bekerja
di bidang perpajakan tidak seinstan itu sob kaya mie instan namun juga melalui
beberapa proses, misalnya sobat harus lulus dari jurusan perpajakan serta jurusan
yg terkait langsung dengan perpajakan. Diluar dari pada itu ada beberapa profesi
yang mengharuskan sobat untuk mengambil sertifikasi di bidang perpajakan
supaya sobat bisa diakui sebagai seseorang yang ahli di bidang perpajakan.
Apa saja sih, sertifikasi pajak?
Untuk dapat bisa leluasa memberikan jasa perpajakan, sobat juga harus mengikuti
sertifikasi di bidang jasa perpajakan tertentu. Berikut ini ada beberapa sertifikasi
pajak yang mungkin sobat gogo perlu tahu:
1. Sertifikasi Konsultan Pajak
Sertifikasi Konsultan Pajak (SKP) merupakan ujian sertifikasi untuk profesi
konsultan pajak sob dan menjadi prasyarat untuk mendapat ijin praktek
sebagai konsultan pajak. Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak meliputi Ujian
Sertifikasi Konsultan Pajak Tingkat A, Tingkat B, dan Tingkat C yang
dilaksanakan paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun. Sertifkat A adalah

sertifikat untuk menjadi konsultan pajak bagi orang pribadi, sertifikat B
untuk menjadi konsultan pajak bagi Wajib Pajak badan, sedangkan sertifikat
C adalah untuk menjadi konsultan Pajak Internasional. Untuk sertifikat A
materi sertifikasi meliputi : Akuntansi Perpajakan, Pajak Penghasilan Orang
Pribadi dan SPT OP, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan SPT PPN, Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa (PPSP), Pengadilan Pajak (PP), PPh Pasal 22, 23, 26, Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
Bea Meterai, Kode Etik Profesi sob. Sedangkan untuk Sertifikat B meliputi :
Akuntansi Perpajakan, PPh badan dan SPT PPh, PPN dan SPT PPN, KUP,
PPSP, PP, PPh Pasal 21 dan SPT 1721, Kode Etik Profesi. Dan untuk sertifikat
tingkat C sobat akan mempelajari :  Akuntansi Perpajakan, PPh OP dan SPT
PPh OP, SPT PPh Badan, KUP, PPSP, PP, Perpajakan Internasional. Kode Etik
Profesi. Lembaga yang menyelenggarakan seertifikasi konsultan pajak di
Indonesia adalah Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) ya sob.
2. Certified Tax Advisor (CTA)
CTA pada umumnya sama dengan SKP sob, cuma bedanya CTA dikeluarkan
oleh Chartered institute of Taxation (CIOT) yang berkedudukan di Inggris.
Sobat juga harus mengikuti enam modul pajak serta harus memiiki
pengalaman di bidang perpajakan selama tiga tahu sob. Dan yang pastinya
sobat sudah mendaftarkan diri sebagai anggota dari organisasi CIOT.
3. Certified International Tax Analyst (CITA)
Jika sobat ingin berkarir bukan hanya di Indonesia, sobat perlu untuk
mengambil sertifikasi CITA. Sobat akan belajar bagaimana menganalisis
data terkait perpajakan internasional dan juga isu kebijakan pajak
internasional.
4. Certified Transfer Pricing Specialist (CTP)
Untuk bagi sobat-sobat yang berminat untuk bekerja di perusahaan besar
dimana terdapat transaksi antara induk dan anak, maka pada umumnya
akan terdapat manajemen transfer pricing loh sob. Transfer pricing
dilakukan pada umumnya untuk melakukan penghematan dengan

membayar pajak seminimal mungkin agak memperlancar arus kas
perusahaan.
5. Advanced Diploma in International Taxation (ADIT)
ADIT juga merupakan sertifikasi internasional dibawah lembaga yang sama
dengan Certified Tax Advisor. Bedanya ADIT terlihat lebih bergengsi dan
juga cakupan jasa yang diberikan sob. Sobat akan disyaratkan untuk
menyelesaikan tiga modul untuk memperoleh sertifikasi ini.
Sertifikasi di bidang perpajakan sebenarnya banyak yang diselenggarakan oleh
berbagai lembaga perpajakan selain lia sertifikasi di atas sob. Jadi tidak perlu
kuaitir jika sobat belum memenuhi persyaratan yang di syaratkan dan terus
berjuang sob. Thomas Alva Edison sudah 10.000 kali gagal dalam usahan
menemukan bola lampu. Kalau pada percobaan ke 10.001 dia menyerah maka dia
pasti tidak dikenal sampai dengan sekarang ini sebagai penemu bola lampu sob.
Begitu juga sobat semua, jika gagal dalam mengikuti ujian salah satu ujian
sertifikasi yang sobat berminat, jangan menyerah sob sebelum mendapatkannya.
Sampai disini duku topik mengenai profesi perpajakan, dan semoga bermanfaat
dan memberikan motivasi bagi sobat semua.
Keep Learning, Sharing and Inspiring.
Sumber:
https://finance.detik.com/berita-ekonomi- bisnis/3575383/target-pajak- 2017-
turun-jadi- rp-12836- triliun
https://accounting.binus.ac.id/2015/09/16/7-peluang- karir-dan- pekerjaan-di-
bidang-perpajakan/
http://ypitmutiara.sch.id/index.php/berita-sebelumnya/358- 7-peluang- karir-dan-
pekerjaan-di- bidang-perpajakan
http://www.gafm.com/?page=CITA

Outlook Perpajakan (Part 2)

Hai Sobat Gogo, setelah minggu lalu kita membahas mengenai outlook
perpajakan Indonesia tahun 2018. Eits, pembahasan belum selesai loh, karena hari
ini Gogo akan kembali melanjutkan pembahasan outlook perpajakan Indonesia
tahun 2018. Malam ini, yuk mari kita kupas tuntas pembahasan mengenai strategi
dan hambatan perpajakan kita tahun ini.
Sobat Gogo harus tahu, bahwa prediksi penerimaan APBN 2018, dari sisi
pendapatan pajak adalah sebesar Rp 1.618,T. Dengan shortfall pajak sebesar
sebesar 25%, maka tentu angka penerimaan pajak tersebut menjadi tantangan bagi
pemerintah khususnuya Dirjen Pajak. Namun, tahun 2018 ini, pemerintah cukup
optimis dengan prediksi penerimaan yang ada. Jika kita mau mengabaikan factor
ekonomi lain sebagai pendorong, jika hanya dilihat dari sisi perpajakan maka Gogo
menguraikan sebagai berikut:

1. Kebijakan Automatic Exchange of Information (AEoI).
Automatic Exchange of Information (AEoI)- Gogo pernah bahas materi ini
loh… AEoI sudah bukan menjadi isu baru di Indonesia. Setelah sukses Indonesia
menggelar tax amnesty, pemerintah tidak ingin kehilangan momentum untuk
meningkatkan pendapatan perpajakan dan memantau jumlah harta wajib pajak
Indonesia yang di parker di luar negeri. Melalui PMK 39/PMK.03/2017 tentang Tata
Cara Pertukaran Informasi. PMK ini menjadi landasan kuat untuk menjalankan AEoI
dan diharapkan dapat menjadi strategi jitu untuk Dirjen Pajak Indonesia untuk
menarik kembali harta orang Indonesia di luar negeri.. Dengan adanya wewenang
untuk melakukan pertukaran data dengan pemerintah atau pihak perbankan luar
negeri, maka potensi peningkatan pendapatan kuta ada dong pasti sob…
2. Sustainable Compliance Melalui Inovasi Layanan Pajak.
Modern ini, dengan majunya era globalisasi berbanding lurus dengan
meningkatnya UMKM dalam berbagai bentuk dan industri. Kesempatan ini dinilai

menjadi potensi penerimaan. Namun tentunya Dirjen Pajak menyadari bahwa salah
satu hal yang menghambat wajib pajak dalam membayar dan melaporkan pajaknya
dikarenakan birokrasi yang tidak efisien. Maka permasalahan itu coba diselesaikan
dengan upaya berkesinambungan melalui layanan pajak seperti e-service, mobile
tax unit, KPP Mikro, dan Outbound Call. Layanan berbasis internet ini dapat
menembus jarak dan memiliki jangkauan yang luas.
Selain layanan pajak yang keluarkan oleh Dirjen Pajak sendiri, ternyata ada
juga loh sob layanan pajak hasil kerja sama dengan pihak ketiga. Seperti pada bulan
November lalu sob, Bu Sri Mulyani mencoba bekerja sama dengan PT Gojek
Indonesia ( penyedia jasa ojek online ) untuk menjadi agen pajak. Cara seperti ini,
mencoba dilakukan dan memiliki pengaruh loh sob. Dengan era keterbukaan dan
serba praktis, tentu layanan agen pajak bisa menjadi mitra wajib pajak dalam hal
pelaporan SPT atau pembuatan NPWP. Walaupun terkesan sederhana, diharapkan
agen pajak dapat mengambil andil untuk meningkatkan jumlah wajib pajak di
Indonesia. Kalau wajib pajak kita bertambah, potensi peningkatan pendapatan pajak
kita akan meningkat juga dong sob.
3. Intergrasi Data dan Sistem Informasi Perpajakan.
Direktorat Jenderal Pajak terus berupaya melakukan pembaharuan (Up to
Date) data dan integrasi sistem antara lain melalui e-filing, e-form, dan e-faktur.
Hingga saat ini, DJP telah melakukan validasi data baik berupa data kohir atau
tunggakan pajak melalui program Provenido dan validasi data Surat Pemberitahuan
(SPT). DJP pada 2018 juga berencana melakukan migrasi basis data yang ada di
dalam Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SiDJP).

4. Insentif Pajak dan Review Kebijakan Exemption Tax.
Pemerintah akan terus memberikan insentif perpajakan berupa Tax Holiday
maupun Tax Allowance. Sementara itu, untuk daftar barang tidak kena pajak dalam
UU PPN Nomor 42 Tahun 2009, pemerintah akan mereviu kembali list exemption
tax tersebut sehingga mampu memberi keadilan yang lebih tinggi kepada wajib
pajak sekaligus meningkatkan penerimaan pajak.
5. Reformasi Perpajakan
Menteri Keuangan Sri Mulyani menunjuk Dirjen Pajak Robert Pakpahan
sebagai pemimpin reformasi sistem perpajakan. Reformasi ini merupakan program
jangka Panjang pemerintah sob. Rencananya reformasi perpajakan akan
dilangsungkan hingga tahun 2020. Agenda reformasi pajak ini diantaranya redesign
organisasi, meningkatkan kedisplinan petugas wajib pajak. Untuk sekedar informasi
saja sob, jumlah petugas pajak kita tidak lebih dari 40ribu personel. Jadi kebayang
dong 1 orang petugas dapat menangani 800 wajib pajak (asumsi jumlah wajib pajak
Indonesia 32 juta jiwa ). Menyederhanakan proses bisnis, dan diharapkan dengan
adanya reformasi perpajakan dapat meningkatkan kepatuhan perpajakan yang

berpengaruh pada meningkatnya tax ratio kita menjadi 15%, yang saat ini berada di
level 11%.
Nah sobat, kira-kira apa saja ya tantangan kita dalam merealisasikan
penerimaan pajak tersebut yah? Gogo mencoba menjabarkan hambatan yang Gogo
peroleh dari berbagai sumber. Yang pertama adalah internal pemerintah sendiri.
Pemerintah memiliki ambisi untuk menyelesaikan proyek- proyek dimulai dari
pembangunan jalan tol, jembatan, LRT, MRT, bendungan. Selain proyek-proyek
yang bersifat infrastuktur, pemerintah juga memiliki sejumlah proyek dibidang
kesehatan, Pendidikan, dan sebagainya yang membutuhkan dana segar. Namun
tentu, untuk membiayai proyek diperlukan dana yang cukup besar. Sedangkan pos
penerimaan APBN masih mengandalkan perpajakan sebagai primadona. Apalagi
penerimaan kita tidak ditopang pos lain diluar pajak yang masih cukup lesu.

Disisi lain, tax buoyancy Indonesia sejak periode 2016 menunjukan pola
penerimaan pajak Indonesia kurang elastis. Tahun 2016, tax buoyancy kita berada
di angka 0,35%. Artinya 1% pertumbuhan PDB hanya bisa ditransaksikan pada
pertumbuhan penerimaan pajak sebesar 0,35%. Tahun 2018, bisa dikatakan juga
sebagai tahun politik. Bagaimana tidak, tahun ini kurang lebih 171 daerah di tiap-
tiap provinsi Indonesia akan mengadakan pemilihan kepala daerah. Pilkada 2018
tentu akan menarik perhatian pemerintah dan masyarakat. Di satu sisi, adanya
pilkada tentu diharapkan terjadi deal yang dapat menguntungkan disisi kebijakan
akan pendapatan daerah. Adanya kelompok kepentingan seperti pengusaha
didalam setiap pilkada biasa berdampak juga dengan kebijakan perpajakannya.
Namun disisi lain, hadirnya Pilkada dikhawatirkan akan menghambat pembahasan
RUU perpajakan, diantaranya RUU KUP, RUU konsultan pajak. Khusus RUU KUP
dianggap vital karena dengan pembaharuan terhadap KUP yang baru diharapkan
dapat mengakomodir subjek pajak e-commerce.
Dari sisi dunia internasional, reformasi pajak Amerika Serikat (AS) juga ambil
andil menjadi sorotan. Setelah senat memberikan lampu hijau kepada pemerintahan
Donald Trump untuk mengubah worldwide tax system ke territorial tax system.
Sehingga hal itu berarti penghasilan residen AS yang berasal dari luar AS tidak
dapat dipajaki oleh pemerintah. Selain itu AS berencana mengubah tarif PPh Badan
mereka dari 35% ke angka 20%. Tujuan dilakukan reformasi pajak ini adalah agar
perusahaan multinasional AS di luar negeri untuk pulang dan menggerakan
perekonomian negara. Hal ini menimbulkan sebuah kompetisi baru bagi Indonesia.
Negara besar macam AS yang ingin menurunkan tarif PPh Badan mereka tentu
menjadi perhatian dan hambatan mengingat Indonesia saat ini masih bertahan
dengan tarif PPh Badan sebesar 25%.
Selain itu ada banyak pekerjaan rumah pemerintah dan dirjen pajak, seperti
pengoptimalan CFC rules, kebijakan atas transfer pricing, BEPS.

Nah sekian bahasan kita pada hari ini. Bagaimana sob, sudah ada gambaran
kan mengenai outlook Perpajakan Indonesia 2018. Nah baru sama-sama kita
dukung pemerintah dengan cara taat membayar pajak ya sob.
Learning, sharing, inspiring
Sumber :
https://news.ddtc.co.id/begini-strategi- ditjen-pajak- genjot-tingkat- kepatuhan-11705
http://www.pajak.go.id/kepatuhan-dan- penerimaan-pajak- 2017-tumbuh- pesat-djp- optimis-
hadapi-2018
http://finansial.bisnis.com/read/20170301/10/633133/ini-3- tantangan-dunia- perpajakan-
indonesia-di- era-globalisasi
Inside tax edisi 39