DUA PILAR PERPAJAKAN INTERNASIONAL MULAI DILAKSANAKAN TAHUN 2023?

Pembahasan mengenai perpajakan internasional dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G20 mengalami banyak kemajuan. Negara-negara anggota G20 bersepakat untuk terus mendukung upaya implementasi Solusi Dua Pilar perpajakan internasional yang dinilai bersejarah dalam merombak arsitektur perpajakan internasional. Komitmen tersebut dinyatakan dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral/Finance Minister and Central Bank Governor (FMCBG) ke-3G20 Presidensi Indonesia yang dilangsungkan pada 15-16 Juli 2022 di Nusa Dua, Bali.

Reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil menjadi salah satu fokus agenda lanjutan G20 yang dikedepankan oleh Presidensi G20 Indonesia. Reformasi sistem perpajakan internasional tersebut dilakukan melalui pengalokasian hak pemajakan ke negara yang menjadi pasar produk barang dan jasa digital (negara pasar) yang dikenal sebagai Pilar 1. Serta memastikan bahwa semua perusahaan multinasional (multinational enterprise /MNE) membayar pajak minimum di semua tempat perusahaan tersebut beroperasi atau yang disebut dengan Pilar 2. Reformasi sistem perpajakan internasional ini terdiri dari dua pilar utama ang bertujuan untuk tata kelola ekonomi global yang berkelanjutan dan inklusif dengan menekankan aspek perpajakan produk dan jasa digital serta upaya antisipasi penghindaranp ajak lintas negara.

Pada Oktober 2021, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 mensahkan Solusi Dua Pilar dan detail rencana implementasinya yang dinilai cukup ambisius yaitu untuk menerapkan peraturan baru mengenai pemajakan pada tahun 2023. Sementara sejak November 2021, tercatat 137 negara anggota OECD/G20 Inclusive Framework (IF), yang mewakili lebih dari 90 persen produk domestik bruto (PDB) global, termasuk Indonesia, telah menyetujui Solusi Dua Pilar. Meski demikian, untuk mewujudkan kedua pilar ini menjadi landasan hukum yang konkret, perlu disusun suatu Konvensi Multilateral (Multilateral Convention/MLC). Karena itu, kepemimpinan Indonesia pada forumG20 2022 menjadi krusial dalam mengawal kemajuan rencana implementasi Solusi Dua Pilar tersebut.

Pilar Pertama Reformasi Sistem Perpajakan Internasional

Pilar II bersifat wajib atau harus diterapkan (minimum standar) oleh anggota OECD/G20IFyang sudah menyepakati Solusi Dua Pilar. S. Adapun Pilar I mensyaratkan tiap negara untuk membatalkan kebijakan pajak digital yang bersifat unilateral, seperti halnya digital servicestax yang contohnya diterapkan oleh India, UK, Perancis, ketika skema Pilar I telah diimplementasikan.

Pilar I yakni Unified Approach, merupakan solusi yang berupaya menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil melalui perombakan sistem pajak internasional yang tidaklagi berbasis kehadiran fisik, tetapi lebih kepada kehadiran ekonomi signifikan. Pendekatanini berlaku bagi perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto global di atasEUR20 miliar dan profitability (laba sebelum pajak terhadap penghasilan bruto) di atas10persen dengan pengecualian untuk bisnis ekstraktif dan jasa finansial yang teregulasi.

Pilar ini bertujuan untuk menciptakan hak perpajakan yang adil ke negara-negara yang merupakan pasar produk barang dan jasa digital. Pilar pertama mencakup perusahaan multinasional dengan peredaran bruto 20 miliar euro beserta tingkat profit diatas 10%. Apabila perusahaan multinasional memiliki minimal 1 juta euro dari negara pasar, maka profit yang didapatkan akan dibagikan kepada negara pasar pula.

Berdasarkan kesepakatan G20/BEPS Juli 2021, tarif alokasi yang dibebankan oleh perusahaan multinasional sendiri akan berkisar 25% yang nanti akan dibagikan sesuai porsi penjualan ke setiap negara pasar. Pilar ini menjadi tonggak reformasi peraturan pajaki nternasional yang baik mengingat saat ini tidak ada alokasi pajak untuk negara pasar apabila perusahaan bukan termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT). Realita ini sungguh merugikanIndonesia, mengingat sebagian perusahaan multinasional bukan merupakan BUT, hanyakantor perwakilan sehingga tidak bisa dikenakan pajak

Scope dalam konteks Pilar I adalah cakupan perusahaan-perusahaan khususnya MNE yang dapat dikenakan pajak. OECD membedakan perusahan menjadi dua yaitu Automated Digital Services (ADS) dan Consumer Facing Business (CFB). Terdapat dua komponen utama dalam kategori ADS yaitu otomatis (automated), yaitu setelah sistem diatur, penyediaan layanan untuk pengguna tertentu memerlukan keterlibatan manusia minimal di pihak penyedia layanan; dan digital, yaitu disediakan melalui internet atau jaringan elektronik (OECD, 2021). Yang termasuk dalam list positive ADS seperti layanan periklanan online; penjualan atau pemindahtanganan data pengguna lainnya; mesin pencari online, platform media sosial;
platform perantara online; layanan konten digital; game online; layanan pengajaran online; dan layanan cloud computing. Untuk itu perusahaan-perusahaan online besar yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia seperti Google, Facebook, Spotify, dll masuk dalam kategori ADS. Selain kategori ADS terdapat kategori CFB, CFB akan mencakup bisnis yang menghasilkan pendapatan dari penjualan barang dan jasa jenis yang biasa dijual kepadakonsumen, yaitu individu yang membeli barang untuk penggunaan pribadi dan bukan untuk tujuan komersial atau professional, termasuk lisensi dan franchise (OECD, 2021).

Threshold
Selain cakupan perusahaan diperlukan batasan yang mengatur pengenaan pajak atas Pilar I. Kewajiban perusahaan dalam pembayaran pajak tidak terlepas dari aspek administratif, untukitu OECD menetapkan syarat peredaran bruto global diatas EUR 20 miliar dan profitability (laba sebelum pajak terhadap penghasilan bruto) di atas 10%. Selain itu apabila perusahan total peredaran bruto di suatu negara melebihi EUR 1 juta maka negara yurisdiksi tersebut (yuridiksi pasar) dapat mengenakan pajak atas penghasilan perusahaan tersebut. Menurut penelitian terdapat sekitar 100 perusahaan global yang masuk dalam kelompok ini.

Alokasi profit
Pilar I, khususnya dalam konteks Amount A, MNE tentunya dapat menerima penghasilan dari berbagai negara. Apabila penghasilan bruto secara global MNE tersebut sudahmemenuhi threshold yaitu EUR 20 Miliar, serta laba sebelum pajak diatas 10%dari total penghasilan tersebut, maka negara yurisdiksi pasar dapat mempunyai hak pemajakan atas MNE tersebut asalkan penghasilan bruto atau penjualan di negara tersebut sudah lebihdari EUR 1 juta maka alokasi profit negara sumber adalah sebagai berikut: Contoh perhitungan:



Pilar Kedua Reformasi Sistem Perpajakan Internasional

Sementara Pilar II merupakan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak. Pilar 2 terdiri atas dua rencana kebijakan, yaitu Global Anti-Base Erosion Rules (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR).
GloBE dilakukan melalui penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimumsecara global sebesar 15 persen ditinjau dari negara domisili. Sedangkan STTR memberi kewenangan kepada negara sumber memberlakukan tarif withholding tax secara penuh tanpa reducedrate dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) apabila penerima penghasilan yang berada di negara lain ternyata tidak membayar pajak di negara domisili.
Pilar II ditujukan bagi seluruh perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto di atas EUR750 juta seperti halnya batasan yang ditetapkan dalam kewajiban laporan per negara (country-by-country reporting/CbCR) dokumentasi transfer pricing. Melalui reformasi peraturan perpajakan internasional ini, diharapkan mampu mengurangi praktik penghindaran. pajak serta mereformasi kebijakan pajak nasional untuk perusahaan multinasional. Tujuan akhirnya adalah tentunya peningkatan penerimaan pajak Indonesia.

Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memprediksikan setidaknya akan terdapat penambahan pajak penghasilan hingga 4% atau sekitar $150 miliar per tahun. Tidak hanya itu, tambahan sebesar $125 miliar akan dialokasikan ke negara pasar pula melalui pilar pertama. Kedua pilar yang merupakan manifestasi reformasi peraturan perpajakan internasional ini ditargetkan untuk ditandatangani pada pertengahan 2022danbaru efektif berjalan pada tahun 2023.

Tantangan Penerapan 2 Pilar

Kedua pilar diatas secara singkat dapat disebut sebagai “yurisdiksi pasar” sebagai elemen hak pemajakan (Tambunan, 2020). Pengenaan hak pemajakan atas dasar “yurisdiksi pasar” atas adanya penjualan jasa dan barang tidak berwujud dapat sangat menguntungkan bagi sebuahnegara khususnya bagi negara berkembang khususnya Indonesia dan Malaysia yang memiliki
basis pajak yang besar di wilayah Asia Tenggara. Dengan diterapkan Pilar I memungkinkan pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk memajaki perusahaan digital raksasa yang mendapatkan penghasilan yang berasal dari Indonesia dan Malaysia akibat penjualanbarang dan jasa tersebut.

Pertanyaan mendasar dari konsensus global tersebut adalah apakah semua negara mampumenerjemahkan dan mengaplikasikan konsensus tersebut? Karena setiap negara memiliki sistem hukum dan administrasi pajak yang tidak seragam antara satu dan lainnya, terutama karena adanya azas perbedaan yurisdiksi. Menjadi pembahasan menarik karena sejatinyakonsensus ini diperlukan pada hampir seluruh negara, dimana Malaysia dan Indonesia juga termasuk, namun rancangan konsensus global ini menjadi tantangan yang sangat besar jika dilakukan dalam waktu dekat terutama apabila setiap negara belum memiliki kesiapan yang cukup. Salah satu bentuk tantangan dapat dilihat dari aspek.

Hukum salah satunya perlu adanya regulasi teknik tata cara dan panduan dalam menerapkan pilar ini, di lain sisi Direktorat Jenderal Pajak kedua negara juga harus memahami organisasi digital dalam menjalankan aktivitas bisnisnya (Tambunan, 2020). Selain tantangan diatas, dalam penerapan Pilar II sistem pencatatan pajak dan akuntansi Indonesia harus dapat
mengkategorisasi penghasilan dari aktivitas rutin dan non rutin, penghasilan dari profit residual dan profit rutin untuk dapat dijadikan basis dalam pengenaan pajak (Tambunan, 2020). Hal ini menjadi tantangan karena adanya perlakuan yang berbeda-beda dalam basis akuntansi. Selain itu yang menjadi kunci utama adalah kekuatan data dan informasi, apabila pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak tidak memiliki sumber daya manusia serta penerapan teknologi maka akan sulit untuk menerapkan kedua pilar ini di masa mendatang. Sisi peluang dan tantangan yang akan dihadapi dapat menjadi dilema bagi pemerintah dalam penerapan konsensus global ini. Melihat dari permasalahan tersebut diatas, penelitianini
ingin melihat dan mengetahui perspektif, kesiapan, hambatan, dan strategi dalam proses implementasi kedua pilar ini dari sudut pandang pemerintah (otoritas pajak),

Solusi Dua Pilar menurut Partner, DDTC Fiscal Research & Advisory Bawono Kristiaji atau kerap disapa Aji merupakan kebijakan yang revolusioner karena sudah lebih berani mereformasi banyak aspek perpajakan internasional. Tidak hanya berupaya mencegah kompetisi pajak yang merugikan negara lain dan mengantisipasi perencanaan pajak yang agresif, tetapi juga membenahi keseluruhan lanskap pajak internasional untuk menjamin alokasi laba dan pajak yang lebih adil. Namun, Aji mengingatkan tantangan-tantangan yang muncul dari aspek teknis yang perlu diperhatikan. Di Pilar 1 misalnya detail teknik cara penentuan suatu penghasilan yang berasal dari market yurisdiksi (revenue sourcingrules) masih belum jelas, apakah berdasarkan jumlah pengguna, jumlah transaksi di suatunegara, dan sebagainya.

“Karena ini yang akan menentukan seberapa banyak setiap negara itu akan mendapat kuenya. Jadi di sini juga tentunya alot dari sisi formula apa yang dipergunakan, tapi juga nanti ada tantangan mengenai bagaimana memastikan bahwa datanya semua transparan,” tutur Aji. Masalah kelembagaan juga menurut Aji kemungkinan muncul setelah pilar 1 ditandatangani, dalam hal mekanisme pengawasan implementasi Pilar 1 secara global.

Selanjutnya, perubahan konsep pemajakan yang turut mengubah prinsip bentuk usaha tetap tidak lagi berbasis kehadiran fisik, akan berimplikasi pada lebih dari 3000 P3B (perjanjian penghindaran pajak berganda) yang harus diubah di seluruh dunia. Sebab itu, dibutuhkan skema konvensi multilateral. Di samping itu, tantangan menurut Aji juga datang dari aspektax certainty yaitu kepastian hukum apabila terjadi sengketa, mengingat penerapan Pilar Idapat berimplikasi pada adanya kemungkinan perusahaan multinasional dikenakan pajak berganda. Sehingga perlu diperjelas mekanisme penyelesaian sengketanya. Karena sepengamatan Aji, dari pengalaman-pengalaman arbitrase internasional cenderung lebih berpihak pada negara capital exporting countries, bukan negara-negara berkembang.

Manfaat Keuntungan Dalam Kedua Pilar Tersebut
Skema Pilar 1 maupun Pilar II akan berimplikasi pada penerimaan pajak. Yon menerangkan melalui pengaturan mengenai alokasi hak pemajakan baru dalam komponen Pilar 1, makaIndonesia akan turut memperoleh alokasi hak pemajakan baru dari perusahaan-perusahaan digital yang selama ini telah beroperasi di Indonesia namun tidak dapat dipajaki dikarenakan tidak adanya kehadiran fisik dari perusahaan tersebut. Yon melanjutkan, implementasi Pilar II memungkinkan Indonesia memperoleh potensi tambahan penerimaan pajak apabila terdapat subsidiary atau entitas anak grup perusahaan multinasional yang memiliki Entitas Induk Tertinggi (Ultimate Parent Entity) di Indonesia, melakukan kegiatan operasional di negara yang tidak mengenakan pajak atau menerapkan tarif pajak rendah.

“Potensi tambahan penerimaan pajak kedua Pilar masih dalam tahap penghitungan dan proses analisis lebih lanjut karena pembahasan detil implementasi kedua Pilar masih berlangsungdi tingkat teknis di forum internasional (OECD),” ungkap Yon. Sementara, berdasarkan kajian ekonomi yang dilakukan OECD, melalui implementasi Pilar 1 yang menjanjikan sistem pajak internasional yang lebih adil terdapat tambahan sebesar USD125 miliar setiap tahunnya yang dapat dialokasikan ke negara pasar.

Menilik kajian tersebut, Aji menerangkan yang perlu dicermati bahwa Pilar 1 hanya untuk perusahaan multinasional dengan threshold di atas EUR20 miliar -yang kemungkinan jumlahnya tidak lebih dari 150 perusahaan di seluruh dunia-. Dengan demikian, hanya sedikit perusahaan multinasional yang nantinya akan harus tunduk pada ketentuan Pilar 1 tersebut. Lebih dari itu, perlu diperhatikan pula formula penghitungan alokasi yang dipakai. Dari residual profit perusahaan multinasional di atas 10 persen laba global yang diperuntukanalokasi ke negara pasar, ternyata juga masih dialokasikan lagi dan hanya sekitar 25persensaja yang akan diterima oleh negara berkembang.

Penilaian Kesiapan Kebijakan Pajak Indonesia dan Kelemahan Implementasi Kedua Pilar

Indonesia merupakan negara pengguna smartphone terbesar keempat setelah China, Amerika, dan India. Dengan kondisi ini memungkinkan Indonesia mendapatkan penghasilan dari aspek penggunaan layanan digital yang besar. Apalagi saat ini dengan adanya pandemi COVID-19pengguna layanan digital Indonesia naik sebesar 37% (e-Conomy SEA report, 2020). Padatahun 2021 Alphabet perusahaan yang menaungi Google melaporkan bahwa pada kuartal I/2021 pendapatan iklan meningkat US$50,44 miliar, atau naik 69 persen dari kuartal tahun lalu. Sedangkan pendapatan YouTube mencapai lebih dari US$7 miliar, naik 83 persendari tahun lalu, mendekati pendapatan kuartalan Netflix, yaitu US$7,34 miliar. Peningkatan pendapatan ini memungkinkan karena adanya peningkatan pengguna layanan masa pada pandemi ini. Peningkatan pendapatan disertai dengan peningkatan basis pajak pula.

A. Penerapan Pilar I

Ini maka Indonesia pun dapat mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan dari perusahaan raksasa dunia seperti Google, Facebook, Youtube, dan Netflix. Dengan adanya penerapan Pilar I, yang sebelumnya Indonesia sudah mengenakan atas PPN maka dengan adanya Pilar I maka dapat merambah ke pajak penghasilan juga. Untuk itu ini merupakan keuntungan bagi Indonesia. Pilar I ini akhirnya menggeser sistem pemajakan yang tidak hanya berbasis kehadiran fisik atau physical present saja, tetapi pemajakan dapat dilakukan saat ada economic present. Dengan adanya hak pemajakan atas residual profit (Amount A) tersebut maka Indonesia dapat menambah hasil penerimaan pajak yang nantinya dapat digunakan untuk pembangunan dan pemberian fasilitas, khususnya dalam penanganan pandemic COVID. Dengan adanya Pilar I maka menjamin kepastian pemajakan perusahaan-perusahaan khususnya digital. Dengan adanya Pilar I konteks “yurisdiksi pasar” ini maka akan menciptakan lingkungan yang baik untuk pemajakan barang danjasatidak berwujud.

Negara-negara berkembang khususnya Indonesia mendapatkan alokasi profit dari residual profit (Tambunan, 2020) Dengan diberlakukannya Pilar I ini maka setiap negara termasuk Indonesia perlu memiliki akses terkait report atas laporan keuangan MNE asing yang memiliki penghasilan di negara Indonesia. Threshold itulah yang dijadikan dasar perhitungan pajak sehingga, jumlah penghasilan global yang dilaporkan juga harus mencerminkan penghasilan sebenarnya serta sesuai dengan penghasilan penghasilan yang termasuk dalam kriteria Pilar I. Setiap negara induk contohnya Amerika dimana merupakan negara induk dari Google harus memiliki data penghasilan Google di setiap negara termasuk Indonesia. Untuk mengetahui berapa besarnya penghasilan ini diperlukan lembaga arbitrase (Task Force of Digital Economy).

B. Upaya penerapan dalam pilar II
Terdiri dari dua kebijakan yang berupaya untuk mengurangi adanya kompetisi pajak yang dilakukan melalui penerapan tarif pajak efektif PPh badan minimum secara global. Rencana kebijakan pertama yaitu pengenaan Pajak Penghasilan Badan minimum sebesar15% yang ditujukan kepada perusahaan multinasional di beberapa negara, dengan artian pihak perusahaan multinasional ini diharuskan membayar pajak lebih banyak di negara mereka menjualkan produk ataupun layanannya.

Peran Indonesia pada Presidensi G20 2022, diharapkan untuk dijadikan momentum pencapaikan kesepakatan global dan melanjutkan reformasi sistem perpajakan internasional yang dapat mengoptimalkan penerimaan pajak di era digital. Kesepakatan global terkait PilarSatu dan Pilar Dua harus dapat diimplementasikan secara adil, sederhana dan inklusif untuk negara maju dan negara berkembang. Presidensi Indonesia harus dapat mendorong keikutsertaan negara-negara G20 dalam penandatangan konvensi multilateral Pilar Satu dan Pilar Dua yang rencananya akan dilakukan pada pertengahan 2022. Hal tersebut sangat penting dilakukan agar semakin banyak negara mendukung suatu solusi yang bersifat multilateral. Presidensi G20 Indonesia juga akan memastikan kelancaran implementasi kesepakatan tersebut melalui konvensi multilateral dan ketentuan domestik yang dibutuhkan untuk dapat mengimplementasikan Pilar Satu dan Pilar Dua.

Strategi dalam Implementasi penerapan pilar I dan pilar II

Indonesia perlu menyiapkan diri dalam negosiasi global guna mengadopsi dua pilar dari BEPS yaitu pilar I dan pilar II hal tersebut tersebut, karena saat ini sifatnya masih dalam diskusi dan belum diberlakukan secara efektif. Karena Indonesia memiliki kepentingan dalam hak pemajakan atas aktivitas MNE dalam wilayah yurisdiksi Indonesia, baik dalam pilar Idan utamanya pilar II. Belajar dari penggerusan pajak yang selama ini terjadi akibat adanya Base Erosion and Profit Shifting akibat adanya perbedaan dan celah dalam pengenaan pajak. Selain itu fenomena mengenai adopsi dan implementasi dari Konsensus Global sudah semakin dekat dan bukan lagi menjadi pilihan. Maka Indonesia perlu ( Steven, 2013):

  1. Memahami kondisi saat ini dari aktivitas ekonomi digital saat ini, karena hal ini menjadi
    kekuatan Indonesia ketika berhadapan dengan negara lainnya. Pemahamandapat
    diperkuat dengan penyederhanaan administrasi pajak, memiliki sistem pengumpul dananalisis data ekonomi digital dan basis data yang mumpuni;
  2. Meyakinkan individu yang terlibat dalam adopsi dan gagasan dari Konsensus Global
    dapat dilakukan dengan skema optimis sehingga perlu ada paket informasi yang mumpuni mengenai know how dari rencana implementasi tersebut dan memastikan bahwa transfer knowledge berjalan dengan baik sehingga dapat meminimalisir terjadinya asymetri information di lapangan pada saat implementasi;
  3. Meyakinkan tim secara kolektif yang terlibat dalam adopsi dan gagasan dari Konsensus Global dapat dilakukan dengan skema optimis sehingga diperlukan mekanisme yang jelas dan peraturan pendukung yang tidak tumpang tindih dalam pelaksanannya. Termasuk juga sudah ada peta alur komunikasi dan koordinasi dalam pelaksanaan;
  4. Menguatkan institusi dalam hal ini adalah otoritas pajak dan juga kapasitas individu dan tim dalam menyambut pelaksanaan peraturan penjelas akibat adanya kesepakatan konsensus global. Strategi ini perlu untuk disiapkan dan dimatangkan sehingga bisa menambah kepercayaan diri pada Indonesia dan meyakinkan baik Indonesia maupun negara lain bahwa Indonesia sebagai negara yang besar mampu dalam melaksanakan konsensus global tersebut serta menambah keyakinan bahwa Indonesia akan sepakat dalam konsensus tersebut. Selain itu, manfaat ini tidak hanya untuk Indonesia tetapi juga negara lain. Karena pada dasarnya dalam menurunkan kasus penghindaran pajak karena pergeseran pendapatan diperlukan adanya komitmen Bersama dan menyeluruh antar negara sehingga dapat Bersama-sama memerangi kasus tersebut dan masing-masing negara dapat mengembalikan pendapatan yang selama ini “selalu”hilang. Serta rencana dalam mewujudkan Sustainability Development Goals dapat tercapai pada masing-masing negara.

DAFTAR PUSTAKA
Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia, (2023), Apa Itu Pilar 1dan Pilar 2 Proposal Pajak OECD, https://pertapsi.or.id/apa-itu-pilar-1-dan-pilar-2-proposal-pajak-oecd, diakses pada 05 Mei 2023
Herry Setyawan, (2022), Inclusive Framework Pilar Satu dan Pilar Dua, https://komwasjak.kemenkeu.go.id/in/post/inclusive-framework-pilar-satu-dan-pilar-duadi
akses pad 05 Mei 2023
Saparilla Worokinasih, Kartika Putri Kumalasari, Nurlita Sukma Alfandia, (2022), BasicResearch OECD Framework Untuk Menanggulangi Base Erosion Profit Shifting (Studi
Komparasi Indonesia Malaysia, Fair Value : Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Keuangan. Vol. 5No. 2 Februari 2022
Amaranggana, (2022), Kenali Dua Pilar Reformasi Sistem Perpajakan Internasional laman:
https://www.pajakku.com/read/618898374c0e791c3760bdbf/Kenali-Dua-Pilar-Reformasi- Sistem-Perpajakan-Internasional-, di akses pada 09 Mei 2023

PENTINGNYA AKUNTANSI PERILAKU (ACCOUNTING BEHAVIORAL) TERHADAP PROFESI AKUNTANSI

Sobat Gogo.. pernah dengar istilah akuntansi perilaku belum??

Akuntansi keperilakuan adalah cabang akuntansi yang mempelajari hubungan antara perilaku manusia dan sistem akuntansi. Istilah sistem akuntansi dimaksudkan dalam arti luas ini, yang mencakup rancangan semua alat pengendalian manajemen, termasuk sistem pengendalian, sistem anggaran, rencana akuntansi yang bertanggung jawab, rencana organisasi seperti desentralisasi atau sentralisasi, rencana pengumpulan biaya, rencana evaluasi kinerja dan rencana keuangan.

Akuntansi perilaku memiliki tiga ruang lingkup yang meliputi:

  1. Mempelajari akibat perilaku manusia terhadap desain, konstruksi dan penggunaan sistem akuntansi yang diterapkan di perusahaan, mengamati bagaimana sikap manajemen dan gaya kepemimpinan mempengaruhi sifat pengendalian akuntansi dan perencanaan organisasi;
  2. Mempelajari efek akuntansi terhadap perilaku manusia, yaitu bagaimana akuntansi memengaruhi motivasi, produktivitas, pengambilan keputusan, kepuasan kerja, dan kerja sama;
  3. Cara untuk memprediksi perilaku manusia dan strategi untuk mengubahnya, yaitu bagaimana sistem akuntansi dapat digunakan untuk mempengaruhi perilaku.

Pada masa lampau, akuntansi hanya berfokus pada perhitungan laba dan mengamati kinerja keuangan perusahaan dari tahun ke tahun untuk meprediksi masa depan. Praktisi akuntansi menolak fakta bahwa kinerja masa lalu merupakan akibat dari perilaku manusia di masa lalu yang pula dapat berdampak pada kinerja keuangan masa depan. Pada faktanya, pengendalian pada perusahaan harus disertai dengan pengendalian dan memotivasi perilaku dan masing-masing individu yang terlibat dalam fungsi sebuah organisasi.

Sejarah dan Perkembangan Akuntansi Perilaku

Ilmu akuntansi telah mengalami perubahan signifikan, terutama dalam pengembangan riset akuntansi. Untuk menjawab berbagai persoalan ini, ilmu akuntansi banyak mengembangkan ilmu akuntansi keperilakuan, yang mencakup keperilakuan individu, kelompok, organisasi bisnis, organisasi non bisnis, dan teknologi informasi dalam desain sistem akuntansi. Metodologi dalam pandangan untuk memperoleh kebenaran dan pengembangan ilmu pengetahuan juga memberikan kontribusi besar pada pergeseran paradigma akuntansi ke arah eksistensi akuntansi keperilakuan. Menurut Mathews dan Parera seperti yang dikutip oleh Ghozali (2007), akuntansi tidak h nya dibentuk oleh lingkungan, tetapi juga mampu mempengaruhi lingkungan.

Akuntansi Perilaku adalah salah satu bidang ilmu dalam disiplin akuntansi yang relatif baru dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu akuntansi yang lain seperti akuntansi keuangan, akuntansi manajemen, atau auditing. Dalam bidang akuntansi, perilaku semua pihak yang terlibat dapat dipelajari dan diteliti, mulai dari akuntan, manajer, investor, hingga konsumen yang menggunakan laporan keuangan.

Pada awalnya, riset akuntansi keperilakuan lebih menekankan pada aspek manajemen akuntansi, terutama dalam penganggaran. Namun, riset tersebut terus berkembang dan meluas ke arah akuntansi keuangan, sistem informasi akuntansi, dan audit. Riset akuntansi keperilakuan telah menjadi bidang baru dalam perkembangan akuntansi selama 25 tahun terakhir, dan melibatkan sejumlah jurnal dan artikel seperti Behaviour Research in Accounting. Pada dekade awal 1950-an, Controllership Foundation of America memberi sponsor untuk riset yang bertujuan untuk meneliti dampak anggaran terhadap perilaku manusia.

Arnold dan Sutton (1997) mengidentifikasi dua kerangka konseptual yang memiliki kontribusi dalam pengembangan akuntansi keperilakuan, yaitu riset akuntansi keperilakuan di dalam organisasi dan agency theory. Riset akuntansi keperilakuan mengadopsi kerangka konseptual dari perilaku organisasi, yang berasal dari wilayah psikologi, seperti theory expectancy yang mempelajari motivasi dalam pengukuran kinerja. Kajian ini dipublikasikan dengan judul “The Impact Of Budgets On People” yang membahas pandangan individu terhadap prosedur anggaran. Pada tahun 1953, kajian tersebut dilanjutkan dengan judul “Human Problem With Budget” dan dipublikasikan di jurnal Harvard Business Review.

Dalam artikel penelitiannya, Caplan membandingkan hipotesis-hipotesis mengenai hubungan keperilakuan antara teori akuntansi manajemen tradisional dan teori akuntansi manajemen modern dengan praktik akuntansi manajemen. Pada tahun 1989, popularitas akuntansi keperilakuan meningkat seiring dengan munculnya jurnal “Behavioral Research in Accounting” yang memuat riset- riset terkait akuntansi keperilakuan. Dari tahun 1960 hingga tahun 1980-an, jumlah artikel yang membahas tentang akuntansi keperilakuan semakin meningkat. Pertumbuhan studi akuntansi keperilakuan mulai terlihat dan berkembang, terutama didorong oleh para akademisi dan praktisi akuntansi.

Lalu apa Saja Aspek Penting dalam Akuntansi Perilaku?

Menurut Schiff dan Lewin (1974) ada lima aspek penting dalam akuntansi keperilakuan, yaitu: Teori Organisasi dan Keperilakuan Manajerial, Penganggaran dan Perencanaan, Pengambilan Keputusan, Pengendalian, dan Pelaporan Keuangan.

1. Teori Organisasi dan Keperilakuan Manajerial

Perkembangan teori organisasi dimulai dari teori manajemen ilmiah, teori hubungan antar manusia, teori aliran kuantitatif dimana hubungan tiap elemen akan berdampak pada target dan tujuan organisasi, begitu juga dengan perilaku setiap elemen organisasi, motivasi akan memupuk tujuan organisasi melalui karakteristik tiap elemen dalam memcahkan masalah.

2. Penganggaran dan Perencanaan

Penganggaran membutuhkan interaksi antar manusia, oleh karena itu, aspek perilaku penganggaran harus dipahami dengan benar agar tidak terjadi masalah dalam penganggaran. Konsep perilaku yang dapat mempengaruhi tingkat ini adalah stres, motivasi, ambisi, dan kecemasan.

3. Pengambilan Keputusan

Individu atau kelompok orang yang berperan penting dalam pengambilan keputusan dari berbagai pilihan yang tersedia bisa disebut pengambil keputusan. Menurut Kreitner dan Kenicki (2004), masalah dan kendala yang membatasi pengambilan keputusan rasional adalah terikat rasionalitas, yaitu gagasan para pengambil keputusan yang terbatasi dengan berbagai kendala ketika mengambil keputusan.

4. Pengendalian

Pada tahun 1958 Institut Akuntan Publik America (AICPA) mengelompokkan arti pengendalian internal menjadi dua, yaitu pengendalian akuntansi dan pengendalian administratif dimana pengendalian ini membutuhkan motivasi antara individu dan organisasi, pembagian tugas antar karyawan dan atasan yang jelas, dan pengetahuan terhadap tugas yang diemban agar pengendalian internal berjalan baik sehingga meminimalisir terjadinya masalah.

5. Pelaporan Keuangan

Manajer dan badan regulasi memerlukan syarat pelaporan untuk menuntut orang lain guna membuatnya bertindak sesuai prosedur penyajian informasi untuk mengevaluasi kinerja maupun perilaku. Syarat pelaporan mempengaruhi tindakan pelapor dengan berbagai metode pengukuran yang diterapkan oleh organisasi juga mempunyai dampak terhadap persyaratan pelaporan.

Pentingnya Akuntansi perilaku terhadap profesi akuntansi

Sebagai seorang Akuntan harus mulai melakukan peningkatan dalam berbagai kompentensi bidang akuntansi dan informasi teknologi agar dapat bersaing di era revolusi industri 4.0 dan Society

5.0. Adapun keahlian lain yang harus dimiliki akuntan dalam menyongsong revolusi industri 4.0 adalah kemampuan berpikir secara kritis dan analitis. Selain skill dan kompetensi, hal terpenting lainnya yang harus dimiliki seorang akuntan baik dari tahun sebelumnya hingga sekarang adalah perilaku etis. Terdapat 8 prinsip etika akuntan yang tercantum dalam kode etik akuntan Indonesia, yaitu tanggungjawab profesi, kepentingan publik, integritas, objektivitas, kompetensi dan kehati- hatian professional, kerahasiaan, perilaku professional, dan standar teknis.

Aspek perilaku (personality trait) tumbuh dan berkembang pada diri individu seiring dengan pergerakan individu dalam berbagai ruang lingkup, khususnya akuntansi. faktor perilaku manusia juga memegang peranan penting dalam mekanisme sistem akuntansi. Seperti halnya pada perilaku akuntan yang mempengaruhi keputusan yang terkait dengan sistem pendesainan, operasi dan pelaporan akuntansi. Sehingga dapat dijelaskan bahwasanya ruang lingkup pekerjaan bidang akuntansi akan mempengaruhi sifat dan karakter individu yang terkait didalamnya dan ini tentunya akan mempengaruhi perilaku dan tindakan individu dalam kesehariannya. Pemahaman terhadap aspek perilaku manusia akan menjembatani etis atau tidaknya tindakan akuntan dalam proses pengambilan keputusan. aspekaspek psikologis yang patut dimiliki oleh akuntan professional sehingga mampu menghasilkan keputusan yang etis. Akuntan professional meliputi akuntan manajemen, auditor eksternal maupun internal auditor. Mampu mengeneralisasikan semua profesi yang terkait dengan bidang akuntansi.

Profesi akuntan merupakan suatu profesi yang unik, dimana profesi ini memiliki peran dan tanggungjawab yang vital, beberapa diantaranya adalah berperan dalam proses penyusunan laporan keuangan perusahaan sehingga mampu menarik investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan tersebut dan memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan tersebut. Dalam tugas tersebut, akuntan dihadapi oleh berbagai macam dilema khususnya deadline waktu. Pada kondisi tersebut, auditor memerlukan konsentrasi yang tinggi dalam menjalankan tugas keseharian dan ketelitian, sehingga disaat itulah dibutuhkan faktor personal, lingkungan dan guidance tertentu sehingga tercipta kenyamanan kondisi psikologis auditor dalam mengambil keputusan sesuai prosedur dan etika tertentu. Etika yang dimaksud disini adalah nilai-nilai kejujuran, keadilan, kewajiban, moralitas, mematuhi janji dan integritas.

Referensi :

Arfa, R. N. (2021). Akuntansi Keperilakuan Dalam Perspektif Islam. Penerbit: Alim’s Publishing.

Jakarta

Dewi, L.G.K. and Dewi, N.A.W.T., 2020. Profesi Akuntansi Di Era New Normal: Apa Yang Harus Dipersiapkan?. Jurnal Akuntansi Profesi, 11(2), pp.263-272.

Gramedia.com. 2021. Apa Itu Teori Orgaanisasi?. Diakses pada 29 April 2023, dari https://www.gramedia.com/literasi/teori-organisasi/

Hadi, N. &. (2017). Perkembangan Behavioral Accounting Wujud Open Ended Ilmu Akuntansi Sebagai Sosok Social Science Dan Perannya Dalam Perkembangan Riset Akuntansi. 152-153.

Hermawan, S. &. (2019). Buku Ajar Akuntansi Perilaku. Sidoarjo, Jawa Timur: UMSIDA Press.

Hudayati, Ataina, 2002. Perkembangan Penelitian Akuntansi Keperilakuan: Berbagai Teori dan Pendekatan yang Melandasi. JAAI Volume 6 No. 2.

Rahayuningsih, D.A., 2013. Kajian Aspek Perilaku pada Keputusan Etis Akuntan Profesional. Media Bisnis, 5(1), pp.73-80.

Suhendro, S. 2021. Hubungan Partisipasi Penyusunan Anggaran dan Budgetary Slack pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan Tekanan Sosial sebagai Pemoderasi. Penerbit NEM.

Supriyono, R.A. 2018. Akuntansi Keperilakuan. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Yuesti, A., 2017. Akuntansi Keperilakuan.

INFORMASI PUBLIKASI WEBSITE – ARTIKEL

Nomor                             :     01/CHSUMUT/V/023

Chapter:Sumatera Utara
Judul Publikasi:Pentingnya Akuntansi Perilaku (Accounting Behavioral) Terhadap Profesi Akuntansi
Tim Penyusun:Aulia Angelfith (Chapter Sumatera Utara)Susi Pianti (Chapter Kepulauan Riau)Tiara Natasya Budiman (Chapter Kepulauan Riau)Yuri Anisa (Chapter Sumatera Utara)
Editor:
Tanggal Pengajuan:11 Mei 2023

Akuntansi EMKM + CSMEA

Certified Small-Medium Enterprises Advisor (CSMEA)

Certified Small-Medium Enterprises Advisor (CSMEA) adalah sebutan profesional non-akademik untuk kompetensi pengelolaan akuntansi, keuangan dan perpajakan di Entitas Mikro, Kecil dan Menengah (EMKM). Sertifikasi ini dikeluarkan oleh Jago Akuntansi : lembaga pendidikan, pelatihan dan konsultasi berbasis komunitas akuntan muda dan mahasiswa akuntansi yang berdiri sejak tahun 2012 dengan alumni dan anggota lebih dari 1.300  orang yang tersebar di 25 Provinsi se-Indonesia.

Materi

  1. Memulai Bisnis EMKM dari Nol
  2. Riset Pasar untuk EMKM
  3. Dasar-Dasar Akuntansi
  4. Penyusunan Anggaran Bisnis EMKM
  5. Penyusunan Laporan Keuangan dengan VBA Macro Excel
  6. Implementasi Standar Akuntansi Keuangan EMKM
  7. Analisis Kredit EMKM
  8. Perpajakan untuk EMKM
  9. Pemasaran Digital untuk EMKM

Fasilitas dan Keunggulan

  1. Metode pelatihan berbasis online via zoom meeting
  2. E-certificate dengan transkip materi pelatihan
  3. Sertifikat Certified Small-Medium Enterprises Advisor (CSMEA) bagi yang lulus Assesment
  4. Softcopy materi dan rekaman pembelajaran
  5. Grup diskusi pendampingan pelaku usaha EMKM
  6. Diskon kursus selanjutnya di Jago Akuntansi

Link Pendaftaran bit.ly/AkuntansiEMKM

PENTINGNYA SUSTAINABILITY REPORTING TERHADAP PERUSAHAAN

Apa itu Sustainability Reporting?

Sustainability Reporting merupakan konsep pelaporan tentang kinerja pembangunan berkelanjutan yang diterapkan oleh perusahaan dan menekankan pada Triple Bottom Line (TBL) yang terdiri dari tiga elemen yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan atau lebih dikenal dengan 3P (Profit, People and Planet). Di banyak negara, termasuk Indonesia, pelaporan keberlanjutan masih bersifat sukarela (Voluntary).

Pada awal kemunculannya, Sustainability reporting hanya membahas isu kerusakan lingkungan yang terjadi dikarenakan adanya aktivitas ekonomi dan sosial manusia. Pada tahun 1980-an, perusahaan kimia menyajikan laporan sustainability report dengan maksud mengembalikan citra perusahaan yang saat itu sedang terkena masalah. Kemudian perusahaan industri lainnya turut andil bertujuan menarik perhatian investor, dengan menekankan bahwa perusahaan tidak hanya berorientasi pada uang, namun juga peduli terhadap masyarakat sekitar. Seiring dengan perkembangan waktu, sustainability report akhirnya tidak hanya berfokus pada permasalahan lingkungan saja, namun juga mencakup sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh aktivitas operasional perusahaan.

Sustainable Development Goals (SDGs)

Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan agenda pembangunan dunia yang bertujuan mendorong peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan, pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat, pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup serta pembangunan yang menjamin keadilan dan terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya.

SDGs merupakan hasil dari kesepakatan pertemuan United Nations General Assembly (UNGA) pada tanggal 25 September 2015 yang membahas agenda pembangunan berkelanjutan yang diikuti 159 negara di Kantor PBB. SDGs terdiri dari 17 tujuan dan 169 sub-tujuan, yang kemudian dikelompokkan menjadi empat pilar, yaitu sosial, ekonomi, lingkungan, hukum, dan tata kelola, agar mudah diimplementasikan dan dipantau. Indonesia sebagai salah satu anggota PBB sepakat mengadopsi SDGs untuk dilaksanakan di Indonesia dengan menerbitkan Keputusan Presiden No. 59 tentang Pelaksanaan dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Tahun 2017 (Badan Pemeriksa RI, 2021). Setiap negara wajib mengimplementasikan 17 tujuan pembangunan hingga tahun 2030. Tujuan tersebut tidak hanya dapat dicapai oleh pemerintah, tetapi juga bergantung ada partisipasi masyarakatnya. Tentu saja, partisipasi seluruh sektor ekonomi Indonesia juga diperlukan. Setiap sektor ekonomi diharapkan dapat membantu pemerintah dengan membuat kebijakan.

Untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs), negara dan perusahaan harus dapat mengukur kemajuan, memantau dampak dari perkembangan yang terjadi, serta melaporkan pencapaian di bidang-bidang yang terkait dengan pengentasan kemiskinan, perlindungan bumi dari risiko kehilangan sumber daya, dan memastikan kemakmuran bagi semua penduduknya. Hal ini dapat dicapai dengan mengkapitalisasi elemen-elemen dasar akuntansi dan pelaporan keuangan, dengan memasukkan elemen yang komprehensif seperti pelaporan keberlanjutan atau sustainability reporting, yang mencakup aktivitas penting dalam perusahaan seperti aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. CSR (Corporate Social Responsibility) serta Sustainable Disclosure reporting merupakan implementasi dari bentuk Sustainable Development Goals (SDGs) yang diterapkan di Indonesia.

Komponen Sustainability Reporting (Laporan Keberlanjutan)

Pelaporan keberlanjutan di bagi menjadi tiga komponen (Wibisono, 2007), yaitu:

  1. Penjelasan Strategi Keberlanjutan: Bagian ini berisi penjelasan mengenai strategi keberlanjutan LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik.
  2. Ikhtisar Kinerja Aspek Keberlanjutan: Diisi dengan perbandingan kinerja 3 (tiga) tahun terakhir (bagi LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik yang telah beroperasi lebih dari 3 (tiga) tahun) dalam aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan hidup.
  3. Profil singkat perusahaan: Menyajikan gambaran keseluruhan mengenai karakteristik LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik.
  4. Penjelasan Direksi memuat : a. Kebijakan untuk merespon tantangan dalam pemenuhan strategi keberlanjutan; b. Penerapan Keuangan Berkelanjutan; c. Strategi pencapaian target
  5. Tata kelola keberlanjutan memuat: a. Uraian mengenai tugas bagi Direksi dan Dewan Komisaris, pegawai, pejabat dan/atau unit kerja yang menjadi penanggung jawab penerapan Keuangan Berkelanjutan; b. Penjelasan mengenai pengembangan kompetensi yang dilaksanakan terhadap anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, pegawai, pejabat dan/atau unit kerja yang menjadi penanggung jawab penerapan Keuangan Berkelanjutan; c. Penjelasan mengenai prosedur LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik dalam mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko atas penerapan Keuangan Berkelanjutan terkait aspek ekonomi, sosial, dan Lingkungan Hidup, termasuk peran Direksi dan Dewan Komisaris dalam mengelola, melakukan telaah berkala, dan meninjau efektivitas proses manajemen risiko LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik; d. Penjelasan mengenai pemangku kepentingan
  6. Kinerja keberlanjutan paling sedikit memuat: a. Penjelasan mengenai kegiatan membangun budaya keberlanjutan di internal LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik; b. Uraian mengenai kinerja ekonomi dalam 3 (tiga) tahun terakhir; c. Kinerja sosial dalam 3 (tiga) tahun terakhir; d. Kinerja Lingkungan Hidup bagi LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik; e. Kinerja Lingkungan Hidup bagi LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik yang proses bisnisnya berkaitan langsung dengan Lingkungan Hidup; f. Tanggung jawab pengembangan Produk dan/atau Jasa Keuangan Berkelanjutan.
  7. Verifikasi tertulis dari pihak independen, jika ada.
  8. Lembar umpan balik (feedback) untuk pembaca, jika ada; dan
  9. Tanggapan LJK, Emiten, atau Perusahaan Publik terhadap umpan balik laporan tahun sebelumnya.

Pengaruh Sustainability Report Terhadap Perusahaan

  1. Meningkatkan reputasi perusahaan, yaitu Pengungkapan kinerja lingkungan menjadi hal yang sangat vital untuk menunjukkan eksistensi dan keikutsertaan perusahaan dalam menangani masalah lingkungan.
  2. Memenuhi harapan karyawan, yaitu dengan melaksanakan dan melaporkan tanggung jawab sosial terhadap para pemangku kepentingan tidak hanya dapat meningkatkan harga saham rata-rata perusahaan, tetapi juga dapat meningkatkan kesejahteraan dan loyalitas karyawan, menurunkan tingkat perputaran karyawan sehingga dapat berujung pada meningkatnya produktivitas perusahaan.
  3. Meningkatkan Keterbukaan dan Akuntabilitas yaitu Laporan ini memungkinkan pemangku kepentingan untuk mengevaluasi kinerja perusahaan dan mengukur kepatuhan terhadap standar etis dan lingkungan.
  4. Peningkatan akses ke modal yaitu Pengaruh sustainability report terhadap Biaya Modal dapat dibagi menjadi 2, diantaranya : a) Sustainability Report terhadap Biaya Modal dipengaruhi oleh Sustainability Assurance Pentingnya peranan assurance dalam pelaporan karena akan lebih menyakinkan para investor dan kreditor yang pada akhirnya mempengaruhi penurunan yang lebih rendah biaya modal; b) Sustainability Report terhadap Biaya Modal dipengaruhi oleh Penyedia Assurance Sebagian besar literatur sebelumnya telah melaporkan bahwa penyedia assurance dengan kualitas tinggi yaitu KAP Big Four. Peranan adanya assurance dari KAP Big Four diyakini oleh para pemangku kepentingan karna memiliki independensi dan kompetensi yang tinggi sehingga perusahaan akan mendapatkan dukungan dari para pemangku kepentingan.
  5. Peningkatan efisiensi dan pengurangan limbah: Pelaporan keberlanjutan membantu membuat proses pengambilan keputusan organisasi menjadi lebih efisien dan pada gilirannya, memungkinkan mereka mengurangi risiko di seluruh rantai pasokan mereka. Proses ini mengurangi limbah, menghasilkan penghematan biaya yang signifikan.

Daftar Pustaka :

51/POJK.03/2017, P. O. (2017). Tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga.

Aldi, Bob, dan Chaerul D. Djakman. Persepsi Manajemen dan Stakeholders pada Pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dalam Sustainability Reporting. Jurnal Riset Akuntansi dan Keuangan 8(2), pp. 405-430

Ambadar, J. (2008). Corporate social responsibility dalam Praktik di Indonesia. Edisi 1. Jakarta: Penerbit Elex Media Computindo.

Andreas, H., Sucahyo, U. S., & Elisabeth, D. (2015). Corporate social responsibility dan Profitabilitas. Jurnal Manajemen, 15(1), 119–136.

Anna, Y.D. and RT, D.R.D., 2019. Sustainability reporting: Analisis kinerja keuangan dan nilai perusahaan. Jurnal ASET (Akuntansi Riset), 11(2), pp.238-255.

Arifianti, Nadhila Putri dan Luky Patricia Widianingsih. 2022. Kualitas Pengungkapan Sustainable Development Goals (SDGs) dan Kinerja Keuangan: Bukti Empiris atas Perusahaan Pertambangan di Indonesia. Jurnal Akuntansi Dewantara Vol. 6(3).

Eko Nofianto & Linda Agustina (2014). Analisis Pengaruh Sustainability Report Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan. Accounting Analysis Journal, 3(3).

Febriyanti, G.A., 2021. Pengaruh sustainability reporting terhadap nilai perusahaan dengan leverage sebagai variabel moderating. Jurnal Akuntansi dan Pajak, 22(1).

https://indonesiasustainability.com/sustainability-report-perusahaan-indonesia/

https://sdgs.bappenas.go.id/sekilas-sdgs/

Munika Murthin dan Aditya Septiani, 2022. Pengaruh Pengungkapan Sustainability Report terhadap Biaya Modal dengan Sustainability Assurance dan Penyedia Assurance Sebagai Variabel Moderasi. Diponegoro Journal Of Accounting, Volume 11 Nomor 4, hal 1-12

Pratama, M. F. G. P., Purnamawati, I., & Sayekti, Y. (2019). Analisis Pengaruh Kinerja Lingkungan Dan Pengungkapan Sustainability Reporting Terhadap Nilai Perusahaan. Jurnal Akuntansi Universitas Jember, 17(2), 110–122.

Brevet C + CPTT

Hai Sobat Gogo!

Jago Akuntansi bekerjasama dengan Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I) dan Asosiasi Teknisi Perpajakan Indonesia (ATPI) menyelenggarakan program lanjutan perpajakan terapan yaitu “Brevet Pajak C plus Certified Professional Tax Technicians (CTT).” Jadi, Sobat Gogo yang telah mengikuti Brevet Pajak A & B, Sobat Gogo bisa melanjutkan program pelatihan perpajakan Brevet Pajak C nih. Apabila dinyatakan “LULUS UJIAN SERTIFIKASI” tentunya akan mendapatkan gelar Certified Professiona Tax Technicians atau dikenal dengan sebutan CPTT yang bisa ditulis dibelakang namamu. Metode pembelajaran yang disampaikan yaitu berbasis online melalui zoom meeting.

Materi

  1. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP C)
  2. PPh Pemotongan dan Pemungutan (Pot/Put)
  3. PPh Wajib Pajak Orang Pribadi
  4. PPh Wajib Pajak Badan
  5. Akuntansi Perpajakan
  6. Perpajakan Internasional
  7. Perencanaan Perpajakan

Fasilitas dan Keunggulan

  1. Metode pelatihan berbasis online
  2. Modul cetak Brevet Pajak C
  3. Softcopy materi pendukung
  4. Sertifikat Brevet Pajak C dari AKP2i
  5. Certified Professional Tax Technicians (CTT) dari ATPI
  6. Keanggotaan AKP2I gratis selama 1 tahun
  7. Diskon kursus selanjutnya di Jago Akuntansi

Link Pendaftaran bit.ly/BrevetPajakCPTT

Brevet A & B + CTT

Hai Sobat Gogo!

Jago Akuntansi bekerjasama dengan Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I) dan Asosiasi Teknisi Perpajakan Indonesia (ATPI) menyelenggarakan program baru “Brevet Pajak A & B plus Certified Tax Technicians (CTT).” Apabila Sobat Gogo dinyatakan “LULUS UJIAN SERTIFIKASI” tentunya akan mendapatkan gelar Certified Tax Technician atau dikenal dengan sebutan CTT yang bisa ditulis dibelakang namamu. Metode pembelajaran yang disampaikan yaitu berbasis online melalui zoom meeting.

Materi

  1. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  2. PPh WP Orang Pribadi
  3. PPN dan PPnBM
  4. PBB, BPHTB dan Bea Materai
  5. Pajak Penghasilan (Potput)
  6. PPh WP Badan
  7. Akuntansi Pajak
  8. Kode Etik Profesi Perpajakan
  9. Pemeriksaan, PPSP dan Pengadilan Pajak
  10. E-SPT dan E-Faktur

Fasilitas dan Keunggulan

  1. Metode pelatihan berbasis online
  2. Modul cetak Brevet Pajak A & B
  3. Softcopy materi pendukung
  4. Sertifikat Brevet Pajak A & B dari AKP2i
  5. Certified Tax Technicians (CTT) dari ATPI
  6. Keanggotaan AKP2i gratis selama 1 tahun
  7. Diskon kursus selanjutnya di Jago Akuntansi

Link Pendaftaran bit.ly/BrevetPajakCTT