DUA PILAR PERPAJAKAN INTERNASIONAL MULAI DILAKSANAKAN TAHUN 2023?

Pembahasan mengenai perpajakan internasional dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara G20 mengalami banyak kemajuan. Negara-negara anggota G20 bersepakat untuk terus mendukung upaya implementasi Solusi Dua Pilar perpajakan internasional yang dinilai bersejarah dalam merombak arsitektur perpajakan internasional. Komitmen tersebut dinyatakan dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral/Finance Minister and Central Bank Governor (FMCBG) ke-3G20 Presidensi Indonesia yang dilangsungkan pada 15-16 Juli 2022 di Nusa Dua, Bali.

Reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil menjadi salah satu fokus agenda lanjutan G20 yang dikedepankan oleh Presidensi G20 Indonesia. Reformasi sistem perpajakan internasional tersebut dilakukan melalui pengalokasian hak pemajakan ke negara yang menjadi pasar produk barang dan jasa digital (negara pasar) yang dikenal sebagai Pilar 1. Serta memastikan bahwa semua perusahaan multinasional (multinational enterprise /MNE) membayar pajak minimum di semua tempat perusahaan tersebut beroperasi atau yang disebut dengan Pilar 2. Reformasi sistem perpajakan internasional ini terdiri dari dua pilar utama ang bertujuan untuk tata kelola ekonomi global yang berkelanjutan dan inklusif dengan menekankan aspek perpajakan produk dan jasa digital serta upaya antisipasi penghindaranp ajak lintas negara.

Pada Oktober 2021, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 mensahkan Solusi Dua Pilar dan detail rencana implementasinya yang dinilai cukup ambisius yaitu untuk menerapkan peraturan baru mengenai pemajakan pada tahun 2023. Sementara sejak November 2021, tercatat 137 negara anggota OECD/G20 Inclusive Framework (IF), yang mewakili lebih dari 90 persen produk domestik bruto (PDB) global, termasuk Indonesia, telah menyetujui Solusi Dua Pilar. Meski demikian, untuk mewujudkan kedua pilar ini menjadi landasan hukum yang konkret, perlu disusun suatu Konvensi Multilateral (Multilateral Convention/MLC). Karena itu, kepemimpinan Indonesia pada forumG20 2022 menjadi krusial dalam mengawal kemajuan rencana implementasi Solusi Dua Pilar tersebut.

Pilar Pertama Reformasi Sistem Perpajakan Internasional

Pilar II bersifat wajib atau harus diterapkan (minimum standar) oleh anggota OECD/G20IFyang sudah menyepakati Solusi Dua Pilar. S. Adapun Pilar I mensyaratkan tiap negara untuk membatalkan kebijakan pajak digital yang bersifat unilateral, seperti halnya digital servicestax yang contohnya diterapkan oleh India, UK, Perancis, ketika skema Pilar I telah diimplementasikan.

Pilar I yakni Unified Approach, merupakan solusi yang berupaya menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil melalui perombakan sistem pajak internasional yang tidaklagi berbasis kehadiran fisik, tetapi lebih kepada kehadiran ekonomi signifikan. Pendekatanini berlaku bagi perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto global di atasEUR20 miliar dan profitability (laba sebelum pajak terhadap penghasilan bruto) di atas10persen dengan pengecualian untuk bisnis ekstraktif dan jasa finansial yang teregulasi.

Pilar ini bertujuan untuk menciptakan hak perpajakan yang adil ke negara-negara yang merupakan pasar produk barang dan jasa digital. Pilar pertama mencakup perusahaan multinasional dengan peredaran bruto 20 miliar euro beserta tingkat profit diatas 10%. Apabila perusahaan multinasional memiliki minimal 1 juta euro dari negara pasar, maka profit yang didapatkan akan dibagikan kepada negara pasar pula.

Berdasarkan kesepakatan G20/BEPS Juli 2021, tarif alokasi yang dibebankan oleh perusahaan multinasional sendiri akan berkisar 25% yang nanti akan dibagikan sesuai porsi penjualan ke setiap negara pasar. Pilar ini menjadi tonggak reformasi peraturan pajaki nternasional yang baik mengingat saat ini tidak ada alokasi pajak untuk negara pasar apabila perusahaan bukan termasuk Bentuk Usaha Tetap (BUT). Realita ini sungguh merugikanIndonesia, mengingat sebagian perusahaan multinasional bukan merupakan BUT, hanyakantor perwakilan sehingga tidak bisa dikenakan pajak

Scope dalam konteks Pilar I adalah cakupan perusahaan-perusahaan khususnya MNE yang dapat dikenakan pajak. OECD membedakan perusahan menjadi dua yaitu Automated Digital Services (ADS) dan Consumer Facing Business (CFB). Terdapat dua komponen utama dalam kategori ADS yaitu otomatis (automated), yaitu setelah sistem diatur, penyediaan layanan untuk pengguna tertentu memerlukan keterlibatan manusia minimal di pihak penyedia layanan; dan digital, yaitu disediakan melalui internet atau jaringan elektronik (OECD, 2021). Yang termasuk dalam list positive ADS seperti layanan periklanan online; penjualan atau pemindahtanganan data pengguna lainnya; mesin pencari online, platform media sosial;
platform perantara online; layanan konten digital; game online; layanan pengajaran online; dan layanan cloud computing. Untuk itu perusahaan-perusahaan online besar yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia seperti Google, Facebook, Spotify, dll masuk dalam kategori ADS. Selain kategori ADS terdapat kategori CFB, CFB akan mencakup bisnis yang menghasilkan pendapatan dari penjualan barang dan jasa jenis yang biasa dijual kepadakonsumen, yaitu individu yang membeli barang untuk penggunaan pribadi dan bukan untuk tujuan komersial atau professional, termasuk lisensi dan franchise (OECD, 2021).

Threshold
Selain cakupan perusahaan diperlukan batasan yang mengatur pengenaan pajak atas Pilar I. Kewajiban perusahaan dalam pembayaran pajak tidak terlepas dari aspek administratif, untukitu OECD menetapkan syarat peredaran bruto global diatas EUR 20 miliar dan profitability (laba sebelum pajak terhadap penghasilan bruto) di atas 10%. Selain itu apabila perusahan total peredaran bruto di suatu negara melebihi EUR 1 juta maka negara yurisdiksi tersebut (yuridiksi pasar) dapat mengenakan pajak atas penghasilan perusahaan tersebut. Menurut penelitian terdapat sekitar 100 perusahaan global yang masuk dalam kelompok ini.

Alokasi profit
Pilar I, khususnya dalam konteks Amount A, MNE tentunya dapat menerima penghasilan dari berbagai negara. Apabila penghasilan bruto secara global MNE tersebut sudahmemenuhi threshold yaitu EUR 20 Miliar, serta laba sebelum pajak diatas 10%dari total penghasilan tersebut, maka negara yurisdiksi pasar dapat mempunyai hak pemajakan atas MNE tersebut asalkan penghasilan bruto atau penjualan di negara tersebut sudah lebihdari EUR 1 juta maka alokasi profit negara sumber adalah sebagai berikut: Contoh perhitungan:



Pilar Kedua Reformasi Sistem Perpajakan Internasional

Sementara Pilar II merupakan solusi yang berupaya mengurangi kompetisi pajak sekaligus melindungi basis pajak. Pilar 2 terdiri atas dua rencana kebijakan, yaitu Global Anti-Base Erosion Rules (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR).
GloBE dilakukan melalui penetapan tarif pajak efektif PPh badan minimumsecara global sebesar 15 persen ditinjau dari negara domisili. Sedangkan STTR memberi kewenangan kepada negara sumber memberlakukan tarif withholding tax secara penuh tanpa reducedrate dalam perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) apabila penerima penghasilan yang berada di negara lain ternyata tidak membayar pajak di negara domisili.
Pilar II ditujukan bagi seluruh perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto di atas EUR750 juta seperti halnya batasan yang ditetapkan dalam kewajiban laporan per negara (country-by-country reporting/CbCR) dokumentasi transfer pricing. Melalui reformasi peraturan perpajakan internasional ini, diharapkan mampu mengurangi praktik penghindaran. pajak serta mereformasi kebijakan pajak nasional untuk perusahaan multinasional. Tujuan akhirnya adalah tentunya peningkatan penerimaan pajak Indonesia.

Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memprediksikan setidaknya akan terdapat penambahan pajak penghasilan hingga 4% atau sekitar $150 miliar per tahun. Tidak hanya itu, tambahan sebesar $125 miliar akan dialokasikan ke negara pasar pula melalui pilar pertama. Kedua pilar yang merupakan manifestasi reformasi peraturan perpajakan internasional ini ditargetkan untuk ditandatangani pada pertengahan 2022danbaru efektif berjalan pada tahun 2023.

Tantangan Penerapan 2 Pilar

Kedua pilar diatas secara singkat dapat disebut sebagai “yurisdiksi pasar” sebagai elemen hak pemajakan (Tambunan, 2020). Pengenaan hak pemajakan atas dasar “yurisdiksi pasar” atas adanya penjualan jasa dan barang tidak berwujud dapat sangat menguntungkan bagi sebuahnegara khususnya bagi negara berkembang khususnya Indonesia dan Malaysia yang memiliki
basis pajak yang besar di wilayah Asia Tenggara. Dengan diterapkan Pilar I memungkinkan pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk memajaki perusahaan digital raksasa yang mendapatkan penghasilan yang berasal dari Indonesia dan Malaysia akibat penjualanbarang dan jasa tersebut.

Pertanyaan mendasar dari konsensus global tersebut adalah apakah semua negara mampumenerjemahkan dan mengaplikasikan konsensus tersebut? Karena setiap negara memiliki sistem hukum dan administrasi pajak yang tidak seragam antara satu dan lainnya, terutama karena adanya azas perbedaan yurisdiksi. Menjadi pembahasan menarik karena sejatinyakonsensus ini diperlukan pada hampir seluruh negara, dimana Malaysia dan Indonesia juga termasuk, namun rancangan konsensus global ini menjadi tantangan yang sangat besar jika dilakukan dalam waktu dekat terutama apabila setiap negara belum memiliki kesiapan yang cukup. Salah satu bentuk tantangan dapat dilihat dari aspek.

Hukum salah satunya perlu adanya regulasi teknik tata cara dan panduan dalam menerapkan pilar ini, di lain sisi Direktorat Jenderal Pajak kedua negara juga harus memahami organisasi digital dalam menjalankan aktivitas bisnisnya (Tambunan, 2020). Selain tantangan diatas, dalam penerapan Pilar II sistem pencatatan pajak dan akuntansi Indonesia harus dapat
mengkategorisasi penghasilan dari aktivitas rutin dan non rutin, penghasilan dari profit residual dan profit rutin untuk dapat dijadikan basis dalam pengenaan pajak (Tambunan, 2020). Hal ini menjadi tantangan karena adanya perlakuan yang berbeda-beda dalam basis akuntansi. Selain itu yang menjadi kunci utama adalah kekuatan data dan informasi, apabila pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak tidak memiliki sumber daya manusia serta penerapan teknologi maka akan sulit untuk menerapkan kedua pilar ini di masa mendatang. Sisi peluang dan tantangan yang akan dihadapi dapat menjadi dilema bagi pemerintah dalam penerapan konsensus global ini. Melihat dari permasalahan tersebut diatas, penelitianini
ingin melihat dan mengetahui perspektif, kesiapan, hambatan, dan strategi dalam proses implementasi kedua pilar ini dari sudut pandang pemerintah (otoritas pajak),

Solusi Dua Pilar menurut Partner, DDTC Fiscal Research & Advisory Bawono Kristiaji atau kerap disapa Aji merupakan kebijakan yang revolusioner karena sudah lebih berani mereformasi banyak aspek perpajakan internasional. Tidak hanya berupaya mencegah kompetisi pajak yang merugikan negara lain dan mengantisipasi perencanaan pajak yang agresif, tetapi juga membenahi keseluruhan lanskap pajak internasional untuk menjamin alokasi laba dan pajak yang lebih adil. Namun, Aji mengingatkan tantangan-tantangan yang muncul dari aspek teknis yang perlu diperhatikan. Di Pilar 1 misalnya detail teknik cara penentuan suatu penghasilan yang berasal dari market yurisdiksi (revenue sourcingrules) masih belum jelas, apakah berdasarkan jumlah pengguna, jumlah transaksi di suatunegara, dan sebagainya.

“Karena ini yang akan menentukan seberapa banyak setiap negara itu akan mendapat kuenya. Jadi di sini juga tentunya alot dari sisi formula apa yang dipergunakan, tapi juga nanti ada tantangan mengenai bagaimana memastikan bahwa datanya semua transparan,” tutur Aji. Masalah kelembagaan juga menurut Aji kemungkinan muncul setelah pilar 1 ditandatangani, dalam hal mekanisme pengawasan implementasi Pilar 1 secara global.

Selanjutnya, perubahan konsep pemajakan yang turut mengubah prinsip bentuk usaha tetap tidak lagi berbasis kehadiran fisik, akan berimplikasi pada lebih dari 3000 P3B (perjanjian penghindaran pajak berganda) yang harus diubah di seluruh dunia. Sebab itu, dibutuhkan skema konvensi multilateral. Di samping itu, tantangan menurut Aji juga datang dari aspektax certainty yaitu kepastian hukum apabila terjadi sengketa, mengingat penerapan Pilar Idapat berimplikasi pada adanya kemungkinan perusahaan multinasional dikenakan pajak berganda. Sehingga perlu diperjelas mekanisme penyelesaian sengketanya. Karena sepengamatan Aji, dari pengalaman-pengalaman arbitrase internasional cenderung lebih berpihak pada negara capital exporting countries, bukan negara-negara berkembang.

Manfaat Keuntungan Dalam Kedua Pilar Tersebut
Skema Pilar 1 maupun Pilar II akan berimplikasi pada penerimaan pajak. Yon menerangkan melalui pengaturan mengenai alokasi hak pemajakan baru dalam komponen Pilar 1, makaIndonesia akan turut memperoleh alokasi hak pemajakan baru dari perusahaan-perusahaan digital yang selama ini telah beroperasi di Indonesia namun tidak dapat dipajaki dikarenakan tidak adanya kehadiran fisik dari perusahaan tersebut. Yon melanjutkan, implementasi Pilar II memungkinkan Indonesia memperoleh potensi tambahan penerimaan pajak apabila terdapat subsidiary atau entitas anak grup perusahaan multinasional yang memiliki Entitas Induk Tertinggi (Ultimate Parent Entity) di Indonesia, melakukan kegiatan operasional di negara yang tidak mengenakan pajak atau menerapkan tarif pajak rendah.

“Potensi tambahan penerimaan pajak kedua Pilar masih dalam tahap penghitungan dan proses analisis lebih lanjut karena pembahasan detil implementasi kedua Pilar masih berlangsungdi tingkat teknis di forum internasional (OECD),” ungkap Yon. Sementara, berdasarkan kajian ekonomi yang dilakukan OECD, melalui implementasi Pilar 1 yang menjanjikan sistem pajak internasional yang lebih adil terdapat tambahan sebesar USD125 miliar setiap tahunnya yang dapat dialokasikan ke negara pasar.

Menilik kajian tersebut, Aji menerangkan yang perlu dicermati bahwa Pilar 1 hanya untuk perusahaan multinasional dengan threshold di atas EUR20 miliar -yang kemungkinan jumlahnya tidak lebih dari 150 perusahaan di seluruh dunia-. Dengan demikian, hanya sedikit perusahaan multinasional yang nantinya akan harus tunduk pada ketentuan Pilar 1 tersebut. Lebih dari itu, perlu diperhatikan pula formula penghitungan alokasi yang dipakai. Dari residual profit perusahaan multinasional di atas 10 persen laba global yang diperuntukanalokasi ke negara pasar, ternyata juga masih dialokasikan lagi dan hanya sekitar 25persensaja yang akan diterima oleh negara berkembang.

Penilaian Kesiapan Kebijakan Pajak Indonesia dan Kelemahan Implementasi Kedua Pilar

Indonesia merupakan negara pengguna smartphone terbesar keempat setelah China, Amerika, dan India. Dengan kondisi ini memungkinkan Indonesia mendapatkan penghasilan dari aspek penggunaan layanan digital yang besar. Apalagi saat ini dengan adanya pandemi COVID-19pengguna layanan digital Indonesia naik sebesar 37% (e-Conomy SEA report, 2020). Padatahun 2021 Alphabet perusahaan yang menaungi Google melaporkan bahwa pada kuartal I/2021 pendapatan iklan meningkat US$50,44 miliar, atau naik 69 persen dari kuartal tahun lalu. Sedangkan pendapatan YouTube mencapai lebih dari US$7 miliar, naik 83 persendari tahun lalu, mendekati pendapatan kuartalan Netflix, yaitu US$7,34 miliar. Peningkatan pendapatan ini memungkinkan karena adanya peningkatan pengguna layanan masa pada pandemi ini. Peningkatan pendapatan disertai dengan peningkatan basis pajak pula.

A. Penerapan Pilar I

Ini maka Indonesia pun dapat mendapatkan hak pemajakan atas penghasilan dari perusahaan raksasa dunia seperti Google, Facebook, Youtube, dan Netflix. Dengan adanya penerapan Pilar I, yang sebelumnya Indonesia sudah mengenakan atas PPN maka dengan adanya Pilar I maka dapat merambah ke pajak penghasilan juga. Untuk itu ini merupakan keuntungan bagi Indonesia. Pilar I ini akhirnya menggeser sistem pemajakan yang tidak hanya berbasis kehadiran fisik atau physical present saja, tetapi pemajakan dapat dilakukan saat ada economic present. Dengan adanya hak pemajakan atas residual profit (Amount A) tersebut maka Indonesia dapat menambah hasil penerimaan pajak yang nantinya dapat digunakan untuk pembangunan dan pemberian fasilitas, khususnya dalam penanganan pandemic COVID. Dengan adanya Pilar I maka menjamin kepastian pemajakan perusahaan-perusahaan khususnya digital. Dengan adanya Pilar I konteks “yurisdiksi pasar” ini maka akan menciptakan lingkungan yang baik untuk pemajakan barang danjasatidak berwujud.

Negara-negara berkembang khususnya Indonesia mendapatkan alokasi profit dari residual profit (Tambunan, 2020) Dengan diberlakukannya Pilar I ini maka setiap negara termasuk Indonesia perlu memiliki akses terkait report atas laporan keuangan MNE asing yang memiliki penghasilan di negara Indonesia. Threshold itulah yang dijadikan dasar perhitungan pajak sehingga, jumlah penghasilan global yang dilaporkan juga harus mencerminkan penghasilan sebenarnya serta sesuai dengan penghasilan penghasilan yang termasuk dalam kriteria Pilar I. Setiap negara induk contohnya Amerika dimana merupakan negara induk dari Google harus memiliki data penghasilan Google di setiap negara termasuk Indonesia. Untuk mengetahui berapa besarnya penghasilan ini diperlukan lembaga arbitrase (Task Force of Digital Economy).

B. Upaya penerapan dalam pilar II
Terdiri dari dua kebijakan yang berupaya untuk mengurangi adanya kompetisi pajak yang dilakukan melalui penerapan tarif pajak efektif PPh badan minimum secara global. Rencana kebijakan pertama yaitu pengenaan Pajak Penghasilan Badan minimum sebesar15% yang ditujukan kepada perusahaan multinasional di beberapa negara, dengan artian pihak perusahaan multinasional ini diharuskan membayar pajak lebih banyak di negara mereka menjualkan produk ataupun layanannya.

Peran Indonesia pada Presidensi G20 2022, diharapkan untuk dijadikan momentum pencapaikan kesepakatan global dan melanjutkan reformasi sistem perpajakan internasional yang dapat mengoptimalkan penerimaan pajak di era digital. Kesepakatan global terkait PilarSatu dan Pilar Dua harus dapat diimplementasikan secara adil, sederhana dan inklusif untuk negara maju dan negara berkembang. Presidensi Indonesia harus dapat mendorong keikutsertaan negara-negara G20 dalam penandatangan konvensi multilateral Pilar Satu dan Pilar Dua yang rencananya akan dilakukan pada pertengahan 2022. Hal tersebut sangat penting dilakukan agar semakin banyak negara mendukung suatu solusi yang bersifat multilateral. Presidensi G20 Indonesia juga akan memastikan kelancaran implementasi kesepakatan tersebut melalui konvensi multilateral dan ketentuan domestik yang dibutuhkan untuk dapat mengimplementasikan Pilar Satu dan Pilar Dua.

Strategi dalam Implementasi penerapan pilar I dan pilar II

Indonesia perlu menyiapkan diri dalam negosiasi global guna mengadopsi dua pilar dari BEPS yaitu pilar I dan pilar II hal tersebut tersebut, karena saat ini sifatnya masih dalam diskusi dan belum diberlakukan secara efektif. Karena Indonesia memiliki kepentingan dalam hak pemajakan atas aktivitas MNE dalam wilayah yurisdiksi Indonesia, baik dalam pilar Idan utamanya pilar II. Belajar dari penggerusan pajak yang selama ini terjadi akibat adanya Base Erosion and Profit Shifting akibat adanya perbedaan dan celah dalam pengenaan pajak. Selain itu fenomena mengenai adopsi dan implementasi dari Konsensus Global sudah semakin dekat dan bukan lagi menjadi pilihan. Maka Indonesia perlu ( Steven, 2013):

  1. Memahami kondisi saat ini dari aktivitas ekonomi digital saat ini, karena hal ini menjadi
    kekuatan Indonesia ketika berhadapan dengan negara lainnya. Pemahamandapat
    diperkuat dengan penyederhanaan administrasi pajak, memiliki sistem pengumpul dananalisis data ekonomi digital dan basis data yang mumpuni;
  2. Meyakinkan individu yang terlibat dalam adopsi dan gagasan dari Konsensus Global
    dapat dilakukan dengan skema optimis sehingga perlu ada paket informasi yang mumpuni mengenai know how dari rencana implementasi tersebut dan memastikan bahwa transfer knowledge berjalan dengan baik sehingga dapat meminimalisir terjadinya asymetri information di lapangan pada saat implementasi;
  3. Meyakinkan tim secara kolektif yang terlibat dalam adopsi dan gagasan dari Konsensus Global dapat dilakukan dengan skema optimis sehingga diperlukan mekanisme yang jelas dan peraturan pendukung yang tidak tumpang tindih dalam pelaksanannya. Termasuk juga sudah ada peta alur komunikasi dan koordinasi dalam pelaksanaan;
  4. Menguatkan institusi dalam hal ini adalah otoritas pajak dan juga kapasitas individu dan tim dalam menyambut pelaksanaan peraturan penjelas akibat adanya kesepakatan konsensus global. Strategi ini perlu untuk disiapkan dan dimatangkan sehingga bisa menambah kepercayaan diri pada Indonesia dan meyakinkan baik Indonesia maupun negara lain bahwa Indonesia sebagai negara yang besar mampu dalam melaksanakan konsensus global tersebut serta menambah keyakinan bahwa Indonesia akan sepakat dalam konsensus tersebut. Selain itu, manfaat ini tidak hanya untuk Indonesia tetapi juga negara lain. Karena pada dasarnya dalam menurunkan kasus penghindaran pajak karena pergeseran pendapatan diperlukan adanya komitmen Bersama dan menyeluruh antar negara sehingga dapat Bersama-sama memerangi kasus tersebut dan masing-masing negara dapat mengembalikan pendapatan yang selama ini “selalu”hilang. Serta rencana dalam mewujudkan Sustainability Development Goals dapat tercapai pada masing-masing negara.

DAFTAR PUSTAKA
Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia, (2023), Apa Itu Pilar 1dan Pilar 2 Proposal Pajak OECD, https://pertapsi.or.id/apa-itu-pilar-1-dan-pilar-2-proposal-pajak-oecd, diakses pada 05 Mei 2023
Herry Setyawan, (2022), Inclusive Framework Pilar Satu dan Pilar Dua, https://komwasjak.kemenkeu.go.id/in/post/inclusive-framework-pilar-satu-dan-pilar-duadi
akses pad 05 Mei 2023
Saparilla Worokinasih, Kartika Putri Kumalasari, Nurlita Sukma Alfandia, (2022), BasicResearch OECD Framework Untuk Menanggulangi Base Erosion Profit Shifting (Studi
Komparasi Indonesia Malaysia, Fair Value : Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Keuangan. Vol. 5No. 2 Februari 2022
Amaranggana, (2022), Kenali Dua Pilar Reformasi Sistem Perpajakan Internasional laman:
https://www.pajakku.com/read/618898374c0e791c3760bdbf/Kenali-Dua-Pilar-Reformasi- Sistem-Perpajakan-Internasional-, di akses pada 09 Mei 2023

PSAP 12 Laporan Operasional

Manfaat Informasi LO
Laporan Operasional menyediakan informasi mengenai seluruh kegiatan operasional
keuangan entitas pelaporan yang tercerminkan dalam
 pendapatan-LO,
 beban, dan
 surplus/defisit operasional
dari suatu entitas pelaporan yang penyajiannya disandingkan dengan periode
sebelumnya.
Periode Pelaporan
 Laporan Operasional disajikan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.
 Dalam situasi tertentu, apabila tanggal laporan suatu entitas berubah dan Laporan
Operasional tahunan disajikan dengan suatu periode yang lebih pendek dari satu
tahun, entitas harus mengungkapkan informasi sebagai berikut:
(a) alasan penggunaan periode pelaporan tidak satu tahun;
(b) fakta bahwa jumlah-jumlah komparatif dalam Laporan Operasional dancatatan-
catatan terkait tidak dapat diperbandingkan.
Struktur dan Isi Laporan Operasional
Laporan Operasional menyajikan berbagai unsur:
1. pendapatan-LO,
2. beban,
3. surplus/defisit dari operasi,
4. surplus/defisit dari kegiatan non operasional,
5. surplus/defisit sebelum pos luar biasa,
6. pos luar biasa, dan
7. surplus/defisit-LO,
yang diperlukan untuk penyajian yang wajar secara komparatif.
STRUKTUR LAPORAN OPERASIONAL
A. Pendapatan-LO (dari kegiatan operasional)
1. Hak pemerintah
2. Diakui sebagai penambah ekuitas
3. Dalam periode tahun anggaran yg bersangkutan
4. Tidak perlu dibayar kembali
B. Beban (dari kegiatan operasional)
1. Penurunan manfaat ekonomi/potensi jasa dalam periode pelaporan
2. menurunkan ekuitas
3. berupa pengeluaran/ konsumsi aset atau
timbulnya kewajiban
C. Kegiatan Non Operasional

1. Sifatnya tidak rutin, termasuk surplus/defisit dari penjualan aset non lancar dan
penyelesaian kewajiban jangka panjang
D. Pos Luar Biasa
1) Pendapatan/Beban yg bukan merupakan operasi biasa
2) Tidak diharapkan sering/rutin terjadi
3) Di luar kendali/ pengaruh entitas ybs
4) Sifat & jumlah diungkap dalam CalK
Akuntansi Pendapatan – LO
• Pendapatan-LO diakui pada saat:
(a) Timbulnya hak atas pendapatan;
(b) Pendapatan direalisasi, yaitu adanya aliran masuk sumber daya ekonomi.
• Pendapatan-LO diklasifikasikan menurut sumber pendapatan.
• Akuntansi pendapatan-LO dilaksanakan berdasarkan azas bruto, yaitu dengan
membukukan pendapatan bruto, dan tidak mencatat jumlah netonya (setelah
dikompensasikan dengan pengeluaran).
• Dalam hal besaran pengurang terhadap pendapatan-LO bruto(biaya) bersifat variabel
terhadap pendapatan dimaksud dan tidak dapat diestimasi terlebih dahulu dikarenakan
proses belum selesai, maka asas bruto dapat dikecualikan.
• Dalam hal badan layanan umum, pendapatan diakui dengan mengacu pada peraturan
perundangan yang mengatur mengenai badan layanan umum.
AKUNTANSI PENDAPATAN PADA LAPORAN OPERASIONAL
A. Pengakuan
a) Pada saat timbul hak atas pendapatan (hak untuk menagih) atau
b) Pada saat pendapatan direalisasi
B. Pencatatan
Berdasarkan azas bruto
C. Pengungkapan
Rincian lebih lanjut sumber pendapatan disajikan dalam CaLK
D. Klasifikasi
Menurut sumber pendapatan

Akuntansi Beban
• Beban diakui pada saat:
a. timbulnya kewajiban;
b. terjadinya konsumsi aset;
c. terjadinya penurunan manfaat ekonomi atau potensi jasa.
• Dalam hal badan layanan umum, beban diakui dengan mengacu pada peraturan
perundangan yang mengatur mengenai badan layanan umum.
• Beban diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi.
• Beban Transfer adalah beban berupa pengeluaran uang atau kewajiban untuk
mengeluarkan uang dari entitas pelaporan kepada suatu entitas pelaporan lain yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.

• Koreksi atas beban, termasuk penerimaan kembali beban, yang terjadi pada periode
beban, dibukukan sebagai pengurang beban pada periode yang sama. Apabila diterima
pada periode berikutnya, koreksi atas beban dibukukan dalam pendapatan lain-lain.
Dalam hal mengakibatkan penambahan beban dilakukan dengan pembetulan pada
akun ekuitas.
Surplus/ Defisit dari Kegiatan Operasional
• Surplus dari kegiatan operasional adalah selisih lebih antara pendapatan dan beban
selama satu periode pelaporan.
• Defisit dari kegiatan operasional adalah selisih kurang antara pendapatan dan beban
selama satu periode pelaporan.
• Selisih lebih/kurang antara pendapatan dan beban selama satu periode pelaporan
dicatat dalam pos Surplus/Defisit dari Kegiatan Operasional.
• Pendapatan dan beban yang sifatnya tidak rutin perlu dikelompokkan tersendiri dalam
kegiatan non operasional.
• Selisih lebih/kurang antara surplus/defisit dari kegiatan operasional dan surplus/defisit
dari kegiatan non operasional merupakan surplus/defisit sebelum pos luar biasa.
Surplus/Defisit – LO
• Surplus/Defisit-LO adalah penjumlahan selisih lebih/kurang antara surplus/defisit
kegiatan operasional, kegiatan non operasional, dan kejadian luar biasa.
• Saldo Surplus/Defisit – LO pada akhir periode pelaporan dipindahkan ke Laporan
Perubahan Ekuitas.
Transaksi dalam Mata Uang Asing
Dalam hal tidak tersedia dana dalam mata uang asing yang digunakan untuk bertransaksi dan
mata uang asing tersebut dibeli dengan mata uang asing lainnya, maka:
(a) Transaksi mata uang asing ke mata uang asing lainnya dijabarkan dengan
menggunakan kurs transaksi
(b) Transaksi dalam mata uang asing lainnya tersebut dicatat dalam rupiah berdasarkan
kurs tengah bank sentral pada tanggal transaksi.
(c) Transaksi pendapatan-LO dan beban dalam bentuk barang/jasa harus dilaporkan
dalam Laporan Operasional dengan cara menaksir nilai wajar barang/jasa tersebut
pada tanggal transaksi.
(d) Di samping itu, transaksi semacam ini juga harus diungkapkan sedemikian rupa pada
Catatan atas Laporan Keuangan sehingga dapat memberikan semua informasi yang
relevan mengenai bentuk dari pendapatan dan beban

Sumber: staff.blog.ui.ac.id

Fraud, Suatu Candu !

Perusahaan raksasa penyedia mesin jet terbesar di Inggris, Rolls-Royce dedenda sebesar £671
juta (sekitar Rp 11 Triliun) atas kasus pemberian suap kepada pejabat eksekutif pemebli produk
Rolls Royce yang berafiliasi di Amerika, Cina, India, Rusia, termasuk Indonesia (Garuda
Indonesia). Denda itu merupakan denda terbesar sepanjang sejarah Serious Fraud Office (SFO)
di Inggris. Kasus Rolls Royce juga berdampak kepada investigasi terhadap KPMG, sebagai
Auditor Rolls Royce!
Timbul pertanyaan public, kenapa telah ada auditor, namun masih terjadi fraud?
Tahukah kamu Sobat, sejak tahun 2001 hingga 2015, Indonesia telah mengalami kerugian
sebesar Rp 207 Trilliun rupiah karena fraud! Jumlah itu kira-kira setara dengan 1/9 dari APBN
Indonesia tahun 2015. Mari kita bayangkan sobat, berapa banyak infrastruktur seperti sekolah,
transportasi, dan rumah sakit yang dapat dibangun dengan nominal sebesar itu?
Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) mendefinisikan fraud kedalam 3
kategori, yaitu Corruption, Asset Misappropriation, dan Financial Statement Fraud.
1. Korupsi adalah tindakan penyelewengan yang melawan aturan yang berlaku demi
keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
2. Penyalahgunaan Aset adalah tindakan berupa pencurian asset ketidaktepatan dalam
melaporkan aset dengan sengaja mesalahsajikan dokumen transaksi.
3. Kecurangan dalam laporan keuangan adalah tindakan yang dengan sengaja
mensalahsajikan atau menghilangkan sejumlah nilai atau pengungkapan yang
bertujuan menyesatkan pengguna dan tidak menyajikan laporan keuangan
berdasarkan standar akuntansi yang berlaku.

Di Indonesia, kita sering menyapa Fraud dengan sebutan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme. Ada 5 pemicu terjadinya Fraud ini. Menurut Crowe Howarth, yaitu:
1. Arrogance
Fraudster melakukan tindakan fraud atas dasar ingin memenuhi kesearakahannya.
2. Competence
Kondisi ini terjadi ketika fraudster memiliki power atau wewenang dalam suatu
organisasi dan menyelewengkan wewenang tersebut untuk melakukan fraud.
3. Opportunity
Fraudster melihat adanya kelemahan dalam sistem pengendalian internal suatu organisasi,
dan mengekspolitasinya dengan cara yang salah.
4. Rationalization
Ketika fraudster berkomitmen untuk melakukan fraud dengan membenarkan tindakan
fraud tersebut.
5. Pressure
Kondisi ketika fraudster mengalami tekanan untuk mencapai target tertentu yang
membuat frauster berpikir harus melakukan fraud.

AICPA kemudian merumuskan SAS No. 99 Consideration of Fraud in a Financial
Statement Audit yang bertujuan untuk mendeteksi dini sebelum fraud terjadi melalui langkah-
langkah berikut.
1. Deskprisikan karakteristik dari Fraud.
2. Profesional Skeptisme pada bukti-bukti audit.

3. Diskusikan diantara tim audit tentang kecurigaan salah saji material yang terindikasi
fraud.
4. Pengumpulan dan pengelaborasian informasi.
5. Identifikasi, dan penilaian terhadap resiko
6. Respon terhadap risk assessment dan evaluasi terhadap bukti
7. Komunikasi dan dokumentasi atas konsiderasi Auditor atas Fraud

Source:
AICPA, 2002. AU Section 316 Consideration of Fraud in a Financial. October, (99, 113),
pp.167–218.
Crowe, H., 2011. Why the Fraud Triangle is No Longer Enough. , p.55. Available at:
www.crowehorwath.com.
Lu, S., 2005. SAS 99 & Fraud Detection.
Tashandra, Nabilla. 2017. Memberantas Korupsi, Racun Terbesar Indonesia.
http://nasional.kompas.com/read/2017/03/25/06571531/memberantas.korupsi.racun.terbesar.indo
nesia. Diakses tanggal 29 Oktober 2017.

Bahas Masa Depan Profesi Akuntan, HMJA STIE IBBI Gelar Seminar

Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi (HMJA) STIE IBBI menggelar seminar akuntansi
bertajuk “Accountant vs Artificial Intelligence” pada Sabtu, 28 Oktober 2017. Bertepat di
Aula Kampus Diamond STIE-STMIK IBBI di Jalan Sei Deli No. 18 Medan, seminar ini
membahas masa depan profesi akuntan di tengah maraknya pemanfaatan teknologi.

Seminar yang berkolaborasi dengan Komunitas @JagoAkuntansi Indonesia Chapter
Sumatera Utara ini, menghadirkan Chartered Accountant, Akuntan Pendidik, sekaligus
Konsultan Bisnis Dr Rini Indahwati, SE, Ak, MSi, CA yang mengupas lebih lanjut mengenai
bagaimana akuntan mempertahankan eksistensi di era kecerdasan buatan.
Rini memaparkan keberadaan artificial intelligence atau AI berpotensi setidaknya mengambil
alih 50 persen pekerjaan yang ada di dunia, seperti yang turut disampaikan oleh seorang
profesor asal Rice University, Houston. Selain itu, akuntan bersertifikasi memiliki risiko
hingga 95 persen mengalami otomatisasi dalam 20 tahun ke depan.
“Keahlian yang perlu diperhatikan para akuntan untuk menghadapi era kecerdasan buatan
adalah fokus pada aspek humanis seperti sales, leadership, dan client relationship
management,” terang Rini di hadapan lebih dari 250 mahasiswa yang berasal dari berbagai
kampus di Kota Medan.

Salah satu solusi yang dapat dilakukan menurut Rini adalah mempersiapkan diri. “Para
profesional yang memahami bisnis, dalam hal ini akuntan, tidak akan tersingkir jika mereka
menguasai teknologi,” ujarnya.
Selain dihadiri oleh ratusan mahasiswa, seminar yang dipandu oleh Dosen STIE IBBI
Corinna Wongsosudono, juga dihadiri oleh Wakil Ketua I dan III STIE IBBI Lusiah, SE
MM, Ketua Program Studi S1 Akuntansi STIE IBBI Petrus Gani, SE MSi Ak CA, Dosen
STIE IBBI, Perwakilan Komunitas @JagoAkuntansi Indonesia Chapter Sumatara Utara, serta
Perwakilan Sanger Production selaku sponsor.