Pajak Berbasis Syariah
[docxpresso file=”http://www.jagoakuntansi.com/wp-content/uploads/Materi-Kultweet_PAJAK_AnnisahPermatasari-edit.odt” comments=”true”]
[docxpresso file=”http://www.jagoakuntansi.com/wp-content/uploads/Materi-Kultweet_PAJAK_AnnisahPermatasari-edit.odt” comments=”true”]
Manfaat Informasi LO
Laporan Operasional menyediakan informasi mengenai seluruh kegiatan operasional
keuangan entitas pelaporan yang tercerminkan dalam
pendapatan-LO,
beban, dan
surplus/defisit operasional
dari suatu entitas pelaporan yang penyajiannya disandingkan dengan periode
sebelumnya.
Periode Pelaporan
Laporan Operasional disajikan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.
Dalam situasi tertentu, apabila tanggal laporan suatu entitas berubah dan Laporan
Operasional tahunan disajikan dengan suatu periode yang lebih pendek dari satu
tahun, entitas harus mengungkapkan informasi sebagai berikut:
(a) alasan penggunaan periode pelaporan tidak satu tahun;
(b) fakta bahwa jumlah-jumlah komparatif dalam Laporan Operasional dancatatan-
catatan terkait tidak dapat diperbandingkan.
Struktur dan Isi Laporan Operasional
Laporan Operasional menyajikan berbagai unsur:
1. pendapatan-LO,
2. beban,
3. surplus/defisit dari operasi,
4. surplus/defisit dari kegiatan non operasional,
5. surplus/defisit sebelum pos luar biasa,
6. pos luar biasa, dan
7. surplus/defisit-LO,
yang diperlukan untuk penyajian yang wajar secara komparatif.
STRUKTUR LAPORAN OPERASIONAL
A. Pendapatan-LO (dari kegiatan operasional)
1. Hak pemerintah
2. Diakui sebagai penambah ekuitas
3. Dalam periode tahun anggaran yg bersangkutan
4. Tidak perlu dibayar kembali
B. Beban (dari kegiatan operasional)
1. Penurunan manfaat ekonomi/potensi jasa dalam periode pelaporan
2. menurunkan ekuitas
3. berupa pengeluaran/ konsumsi aset atau
timbulnya kewajiban
C. Kegiatan Non Operasional
1. Sifatnya tidak rutin, termasuk surplus/defisit dari penjualan aset non lancar dan
penyelesaian kewajiban jangka panjang
D. Pos Luar Biasa
1) Pendapatan/Beban yg bukan merupakan operasi biasa
2) Tidak diharapkan sering/rutin terjadi
3) Di luar kendali/ pengaruh entitas ybs
4) Sifat & jumlah diungkap dalam CalK
Akuntansi Pendapatan – LO
• Pendapatan-LO diakui pada saat:
(a) Timbulnya hak atas pendapatan;
(b) Pendapatan direalisasi, yaitu adanya aliran masuk sumber daya ekonomi.
• Pendapatan-LO diklasifikasikan menurut sumber pendapatan.
• Akuntansi pendapatan-LO dilaksanakan berdasarkan azas bruto, yaitu dengan
membukukan pendapatan bruto, dan tidak mencatat jumlah netonya (setelah
dikompensasikan dengan pengeluaran).
• Dalam hal besaran pengurang terhadap pendapatan-LO bruto(biaya) bersifat variabel
terhadap pendapatan dimaksud dan tidak dapat diestimasi terlebih dahulu dikarenakan
proses belum selesai, maka asas bruto dapat dikecualikan.
• Dalam hal badan layanan umum, pendapatan diakui dengan mengacu pada peraturan
perundangan yang mengatur mengenai badan layanan umum.
AKUNTANSI PENDAPATAN PADA LAPORAN OPERASIONAL
A. Pengakuan
a) Pada saat timbul hak atas pendapatan (hak untuk menagih) atau
b) Pada saat pendapatan direalisasi
B. Pencatatan
Berdasarkan azas bruto
C. Pengungkapan
Rincian lebih lanjut sumber pendapatan disajikan dalam CaLK
D. Klasifikasi
Menurut sumber pendapatan
Akuntansi Beban
• Beban diakui pada saat:
a. timbulnya kewajiban;
b. terjadinya konsumsi aset;
c. terjadinya penurunan manfaat ekonomi atau potensi jasa.
• Dalam hal badan layanan umum, beban diakui dengan mengacu pada peraturan
perundangan yang mengatur mengenai badan layanan umum.
• Beban diklasifikasikan menurut klasifikasi ekonomi.
• Beban Transfer adalah beban berupa pengeluaran uang atau kewajiban untuk
mengeluarkan uang dari entitas pelaporan kepada suatu entitas pelaporan lain yang
diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan.
• Koreksi atas beban, termasuk penerimaan kembali beban, yang terjadi pada periode
beban, dibukukan sebagai pengurang beban pada periode yang sama. Apabila diterima
pada periode berikutnya, koreksi atas beban dibukukan dalam pendapatan lain-lain.
Dalam hal mengakibatkan penambahan beban dilakukan dengan pembetulan pada
akun ekuitas.
Surplus/ Defisit dari Kegiatan Operasional
• Surplus dari kegiatan operasional adalah selisih lebih antara pendapatan dan beban
selama satu periode pelaporan.
• Defisit dari kegiatan operasional adalah selisih kurang antara pendapatan dan beban
selama satu periode pelaporan.
• Selisih lebih/kurang antara pendapatan dan beban selama satu periode pelaporan
dicatat dalam pos Surplus/Defisit dari Kegiatan Operasional.
• Pendapatan dan beban yang sifatnya tidak rutin perlu dikelompokkan tersendiri dalam
kegiatan non operasional.
• Selisih lebih/kurang antara surplus/defisit dari kegiatan operasional dan surplus/defisit
dari kegiatan non operasional merupakan surplus/defisit sebelum pos luar biasa.
Surplus/Defisit – LO
• Surplus/Defisit-LO adalah penjumlahan selisih lebih/kurang antara surplus/defisit
kegiatan operasional, kegiatan non operasional, dan kejadian luar biasa.
• Saldo Surplus/Defisit – LO pada akhir periode pelaporan dipindahkan ke Laporan
Perubahan Ekuitas.
Transaksi dalam Mata Uang Asing
Dalam hal tidak tersedia dana dalam mata uang asing yang digunakan untuk bertransaksi dan
mata uang asing tersebut dibeli dengan mata uang asing lainnya, maka:
(a) Transaksi mata uang asing ke mata uang asing lainnya dijabarkan dengan
menggunakan kurs transaksi
(b) Transaksi dalam mata uang asing lainnya tersebut dicatat dalam rupiah berdasarkan
kurs tengah bank sentral pada tanggal transaksi.
(c) Transaksi pendapatan-LO dan beban dalam bentuk barang/jasa harus dilaporkan
dalam Laporan Operasional dengan cara menaksir nilai wajar barang/jasa tersebut
pada tanggal transaksi.
(d) Di samping itu, transaksi semacam ini juga harus diungkapkan sedemikian rupa pada
Catatan atas Laporan Keuangan sehingga dapat memberikan semua informasi yang
relevan mengenai bentuk dari pendapatan dan beban
Sumber: staff.blog.ui.ac.id
[docxpresso file=”http://www.jagoakuntansi.com/wp-content/uploads/MATERI-09-Akad-Salam-E-Commerce-AKSYAR.odt” comments=”true”]
Perusahaan raksasa penyedia mesin jet terbesar di Inggris, Rolls-Royce dedenda sebesar £671
juta (sekitar Rp 11 Triliun) atas kasus pemberian suap kepada pejabat eksekutif pemebli produk
Rolls Royce yang berafiliasi di Amerika, Cina, India, Rusia, termasuk Indonesia (Garuda
Indonesia). Denda itu merupakan denda terbesar sepanjang sejarah Serious Fraud Office (SFO)
di Inggris. Kasus Rolls Royce juga berdampak kepada investigasi terhadap KPMG, sebagai
Auditor Rolls Royce!
Timbul pertanyaan public, kenapa telah ada auditor, namun masih terjadi fraud?
Tahukah kamu Sobat, sejak tahun 2001 hingga 2015, Indonesia telah mengalami kerugian
sebesar Rp 207 Trilliun rupiah karena fraud! Jumlah itu kira-kira setara dengan 1/9 dari APBN
Indonesia tahun 2015. Mari kita bayangkan sobat, berapa banyak infrastruktur seperti sekolah,
transportasi, dan rumah sakit yang dapat dibangun dengan nominal sebesar itu?
Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) mendefinisikan fraud kedalam 3
kategori, yaitu Corruption, Asset Misappropriation, dan Financial Statement Fraud.
1. Korupsi adalah tindakan penyelewengan yang melawan aturan yang berlaku demi
keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
2. Penyalahgunaan Aset adalah tindakan berupa pencurian asset ketidaktepatan dalam
melaporkan aset dengan sengaja mesalahsajikan dokumen transaksi.
3. Kecurangan dalam laporan keuangan adalah tindakan yang dengan sengaja
mensalahsajikan atau menghilangkan sejumlah nilai atau pengungkapan yang
bertujuan menyesatkan pengguna dan tidak menyajikan laporan keuangan
berdasarkan standar akuntansi yang berlaku.
Di Indonesia, kita sering menyapa Fraud dengan sebutan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme. Ada 5 pemicu terjadinya Fraud ini. Menurut Crowe Howarth, yaitu:
1. Arrogance
Fraudster melakukan tindakan fraud atas dasar ingin memenuhi kesearakahannya.
2. Competence
Kondisi ini terjadi ketika fraudster memiliki power atau wewenang dalam suatu
organisasi dan menyelewengkan wewenang tersebut untuk melakukan fraud.
3. Opportunity
Fraudster melihat adanya kelemahan dalam sistem pengendalian internal suatu organisasi,
dan mengekspolitasinya dengan cara yang salah.
4. Rationalization
Ketika fraudster berkomitmen untuk melakukan fraud dengan membenarkan tindakan
fraud tersebut.
5. Pressure
Kondisi ketika fraudster mengalami tekanan untuk mencapai target tertentu yang
membuat frauster berpikir harus melakukan fraud.
AICPA kemudian merumuskan SAS No. 99 Consideration of Fraud in a Financial
Statement Audit yang bertujuan untuk mendeteksi dini sebelum fraud terjadi melalui langkah-
langkah berikut.
1. Deskprisikan karakteristik dari Fraud.
2. Profesional Skeptisme pada bukti-bukti audit.
3. Diskusikan diantara tim audit tentang kecurigaan salah saji material yang terindikasi
fraud.
4. Pengumpulan dan pengelaborasian informasi.
5. Identifikasi, dan penilaian terhadap resiko
6. Respon terhadap risk assessment dan evaluasi terhadap bukti
7. Komunikasi dan dokumentasi atas konsiderasi Auditor atas Fraud
Source:
AICPA, 2002. AU Section 316 Consideration of Fraud in a Financial. October, (99, 113),
pp.167–218.
Crowe, H., 2011. Why the Fraud Triangle is No Longer Enough. , p.55. Available at:
www.crowehorwath.com.
Lu, S., 2005. SAS 99 & Fraud Detection.
Tashandra, Nabilla. 2017. Memberantas Korupsi, Racun Terbesar Indonesia.
http://nasional.kompas.com/read/2017/03/25/06571531/memberantas.korupsi.racun.terbesar.indo
nesia. Diakses tanggal 29 Oktober 2017.
Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi (HMJA) STIE IBBI menggelar seminar akuntansi
bertajuk “Accountant vs Artificial Intelligence” pada Sabtu, 28 Oktober 2017. Bertepat di
Aula Kampus Diamond STIE-STMIK IBBI di Jalan Sei Deli No. 18 Medan, seminar ini
membahas masa depan profesi akuntan di tengah maraknya pemanfaatan teknologi.
Seminar yang berkolaborasi dengan Komunitas @JagoAkuntansi Indonesia Chapter
Sumatera Utara ini, menghadirkan Chartered Accountant, Akuntan Pendidik, sekaligus
Konsultan Bisnis Dr Rini Indahwati, SE, Ak, MSi, CA yang mengupas lebih lanjut mengenai
bagaimana akuntan mempertahankan eksistensi di era kecerdasan buatan.
Rini memaparkan keberadaan artificial intelligence atau AI berpotensi setidaknya mengambil
alih 50 persen pekerjaan yang ada di dunia, seperti yang turut disampaikan oleh seorang
profesor asal Rice University, Houston. Selain itu, akuntan bersertifikasi memiliki risiko
hingga 95 persen mengalami otomatisasi dalam 20 tahun ke depan.
“Keahlian yang perlu diperhatikan para akuntan untuk menghadapi era kecerdasan buatan
adalah fokus pada aspek humanis seperti sales, leadership, dan client relationship
management,” terang Rini di hadapan lebih dari 250 mahasiswa yang berasal dari berbagai
kampus di Kota Medan.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan menurut Rini adalah mempersiapkan diri. “Para
profesional yang memahami bisnis, dalam hal ini akuntan, tidak akan tersingkir jika mereka
menguasai teknologi,” ujarnya.
Selain dihadiri oleh ratusan mahasiswa, seminar yang dipandu oleh Dosen STIE IBBI
Corinna Wongsosudono, juga dihadiri oleh Wakil Ketua I dan III STIE IBBI Lusiah, SE
MM, Ketua Program Studi S1 Akuntansi STIE IBBI Petrus Gani, SE MSi Ak CA, Dosen
STIE IBBI, Perwakilan Komunitas @JagoAkuntansi Indonesia Chapter Sumatara Utara, serta
Perwakilan Sanger Production selaku sponsor.
Lebih dari 80 negara di dunia berkomitmen untuk menerapkan Country by Country Report
(CBCR). Sejauh ini sudah lebih dari 50 negara yang mengadopsi, dimana Indonesia merupakan
salah satunya. Dengan terbitnya PMK Nomor 213 Tahun 2016, ketentuan dokumentasi transfer
pricing (TP Doc) bagi grup usaha yang melakukan transaksi afiliasi di Indonesia mengalami
perubahan signifikan. Mulai tahun pajak 2016, tak hanya local file yang wajib disiapkan oleh
grup usaha, tetapi juga master file dan CBCR harus segera disiapkan dalam waktu yang
relatif pendek.
Apa latar belakang dari kebijakan penyampaian Master File dan CBCR?
Pada 2013, G20 Leaders mengendorse Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan dan
mempromosikan transparansi internasional untuk menangani penghindaran pajak. BEPS action
plan ini terutama ditujukan untuk menangani double non taxation yang tidak fair. Lalu lahirlah
15 action plan dalam BEPS project, yang salah satunya di action 13 adalah CBCR. Indonesia
sebagai negara G20 dan BEPS Assosiate tentu akan berusaha untuk berkomitmen menerapkan
CbCR tersebut sebagai bagian dari minimum standard atas BEPS action plan yang harus
diterapkan. Begitu kita sudah komitmen ikut bertukar CBCR, maka format dan threshold-nya
harus sama, tapi waktu penyampaian dan prosedurnya bisa berbeda-beda menyesuaikan dengan
ketentuan domestik di masing-masing negara. Namun, yang wajib membuat CBCR tidak semua
perusahaan, hanya yang memenuhi kriteria tertentu.
Bagaimana penerapan CBCR di Indonesia?
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan PMK Nomor 213 Tahun 2016 untuk mengatur
kewajiban penyelenggaraan Dokumen Penetapan Harga Transfer. Itu merupakan paket
dokumentasi transfer pricing yang berisikan dokumen induk (Master file), dokumen lokal (local
file), dan laporan per Negara/Country by Country Report (CBCR). Ini semua harus dibuat dalam
format Bahasa Indonesia.
Isi dari CBCR mencakup soal laba grup di tiap negara, pajak yang dibayarkan, dan jumlah
karyawan, sehingga memberikan informasi aktivitas grup atau fungsi apa saja yang dijalani
setiap grup usaha di masing-masing negara. Dan ini akan ditransmisi secara otomatis, tapi hanya
dengan negara yang sama-sama punya komitmen dan menandatangani perjanjian pertukaran
CBC baik bilateral maupun multilateral. Perjanjian pertukaran CBC secara multilateral namanya
CBC Multilateral Competent Authority Agreement (CBC-MCAA).
Apa urgensi dari CBCR?
Secara tidak langsung kehadiran PMK 213 semacam alert: “Anda tidak bisa main-main lagi
dengan skema grup!”. Sudah ada mekanisme yang mengawasi sehingga fairness akan terjadi. Itu
yang pertama. Kedua, persyaratan kertas kerja dalam CBCR. Tujuannya supaya WP tidak asal-
asalan membuat CBCR, sumbernya harus jelas. Penggunaan CBCR ini dibatasi hanya untuk risk
management, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar koreksi audit. Nantinya, yang
dipertukarkan ke negara lain hanya CBCR form. Sedangkan kertas kerja tidak. Intinya segala
macam unfairness, tax avoidance, itu bisa dimitigasi dengan baik dari awal.
Artinya pendekatannya DJP ke Wajib Pajak berubah?
Pesan yang dituangkan dalam PMK 213 adalah ingin Wajib Pajak menerapkan Arms Length
Principle (ALP) sejak Wajib Pajak men-set- up harga. Pendekatan ini dikenal dengan nama price
setting approach atau ex-ante basis. Berdasarkan PMK ini, Wajib Pajak diharapkan tidak lagi
menerapkan ex-post basis sehingga akan lebih fair baik dari sisi Wajib Pajak maupun DJP. Jadi
pada saat price setting dia harus setup berdasarkan arms length principle, prinsip kewajaran.
Misalnya, WP menetapkan laba = total cost + 5%. Dari mana angka 5% itu. Ini yang harus
didasarkan pada ALP dan didokumentasikan dalam TP Documentation (Master File dan Local
File). Pesan lebih besar, kami ingin supaya transaksi yang harganya sudah ditentukan sesuai
dengan ALP tidak menjadi potensi koreksi. Tidak fair kalau transaksi afiliasi sudah arms length
sejak awal tahun, tapi tetap dikoreksi. Sebaliknya, Wajib Pajak yang tidak melakukan setting
price berdasarkan ALP tentu akan berisiko untuk dilakukan koreksi oleh pemeriksa. Itu tidak
akan terjadi kalau WP menggunakan price setting berdasarkan ALP. Jikapun realisasi pada akhir
tahun terdapat deviasi dari price setting yang ditetapkan di awal, Wajib Pajak dipersilakan untuk
menjelaskannya di dalam TP Doc. Sehingga semuanya fair dan transparan.
Bukankah transfer pricing sesuatu yang normal?
Transfer pricing merupakan penetapan harga transaksi antara pihak yang terafiliasi. Penentuan
harga jual, harga beli, nilai royalti, nilai jasa, dan apapun bentuknya, itu transfer pricing
sepanjang dilakukan dengan afiliasi. Sampai sini tidak ada masalah karena hakikatnya transaksi
afiliasi adalah sesuatu yang normal dan tidak dilarang secara hukum. Hanya pada saat terjadi
transfer pricing abuse, baru ada masalah. Abuse what for? untuk mengecilkan pajak di Indonesia.
Jadi yang masalah bukan transfer pricing, tapi transfer pricing abuse. Kalau tax planning
ditujukan untuk penghindaran pajak, nah itu baru bermasalah. Kalau dia tidak dilakukan secara
arms length, secara wajar, maka DJP punya kewenangan untuk melakukan koreksi.
Banyak keuntungan diperoleh dengan bisnisnya di Indonesia, mendapatatkan sumber daya energi
dan buruh murah, sampahnya banyak di Indonesia, truknya banyak menghancurkan jalan, tapi
labanya dipindahkan ke luar negeri. Pada saat dia mentransfer ini lah yang bermasalah. Bukan
berarti transfer pricing tidak boleh. Transfer pricing boleh sepanjang wajar (ALP).
Harus diingat bahwa CBCR ini tidak bisa digunakan untuk mengoreksi transfer pricing.
Penggunaanya hanya untuk risk analysis. Jadi hanya untuk melakukan analisis risiko atas
transfer pricing sehingga bisa melihat dimana saja risiko transfer pricing sebuah perusahaan.
Hasil risk analysis akan memberikan rekomendasi atau petunjuk bahwa perusahaan ini layak
diperiksa .atau didalami lebih lanjut transfer pricingnya. Ini sebagai diagnostic tool untuk
melihat risiko transfer pricing. Kalau memang tidak ada risiko, ya tidak akan dijadikan prioritas
utama pemeriksaan transfer pricing. Kalau ada risiko luar biasa, mari teliti mana transaksi yang
paling optimal untuk dilakukan pemeriksaan.
Apakah tidak malah memberatkan WP?
Justru ini akan memudahkan WP, meng-encourage WP untuk patuh menerapkan ALP. Yang
patuh akan keliatan patuh, yang tak patuh akan kelihatan tak patuh. Jadi kita tempatkan TP doc
pada posisi yang fair untuk bisa memberikan perlakuan yang adil. Untuk yang patuh akan
mendapatkan benefit, yang tidak patuh akan mendapatkan disinsetif dalam bentuk punishment
Sanksinya apa bagi WP yang tidak patuh dalam pelaporan Dokumentasi Transfer pricing?
Selama ini, sanksi yang diterapkan atas ketidakpatuhan Wajib Pajak menerapkan ALP atau tidak
membuat TP Doc umumnya sama yaitu 2% per bulan sesuai Pasal 13 ayat (2) UU KUP. Akan
tetapi, saat ini bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan Dokumen Transfer pricing, maka
sanksinya sesuai dengan Pasal 13 ayat 3 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP),
yakni 50% dari pajak yang tidak atau kurang bayar. Sedangkan bagi WP yang telat atau hingga
batas waktu yang sudah ditentukan belum juga menyampaikan dokumentasi transfer pricing,
maka menjadi diskresi pemeriksa apakat TP doc-nya dipertimbangkan atau tidak. Istilahnya
ditetapkan secara jabatan. Apabila dites tidak wajar, maka pemeriksa akan mengenakan sanksi 2% per bulan. Sementara bagi WP yang memanipulasi dokumen transfer pricing berdasarkan informasi yang tidak benar, maka bisa kena sanksi pidana. Sehingga di sini kita tempatkan sesuatu secara adil. Kalau WP tidak membuat TP doc, maka diperlakukan sama seperti WP yang tidak melaksanakan kewajiban pembukuan.
Komentar Terbaru