Corporate Governance pada Institusi Keuangan Islam

[Latar Belakang]

Secara praktis, isu penerapan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG) mulai muncul ke permukaan ketika Amerika Serikat harus melakukan restrukturisasi corporate governance sebagai akibat market crash pada tahun 1929 (bpkp.or.id). Pada awal tahun 2000-an, mata dunia seakan terbelalak ketika perusahaan-perusahaan besar di dunia seperti Enron, Worldcom, Tyco, Merck, Global Crossing, Xerox, dan lain-lain, terjerat dalam kasus skandal keuangan yang menyebabkan mereka gulung tikar (collapse). Baru-baru ini kita dikagetkan juga dengan skandal yang terkait dengan transaksi syariah, yaitu: sukuk oleh Dubai World, perusahaan ini merupakan perusahaan milik Pemerintah Dubai yang bergerak dalam berbagai bidang infrastruktur, salah satunya adalah Nakheel. Proyek property Nakheel yang terkenal adalah The Palm Island, perumahan yang berada di tengah laut berbentuk pohon kurma. Sumber pendanaannya antara lain dengan menggunakan sukuk. Nilai sukuk yang ditunda pembayaran pokoknya adalah sebesar 3,52 miliar USD. Tanggal jatuh temponya adalah tanggal 14 Desember 2009, diusulkan ditunda hingga 30 Mei 2010.Penundaan ini tentunya memberikan efek negatif bagi pemegang sukuk tersebut yang sangat membutuhkan likuiditas. Hal ini menyebabkan jatuhnya harga sukuk tersebut hingga -31,11% (menjadi 62) dalam satu hari pada tanggal 26 November 2009. Masalah sukuk Nakheel pada dasarnya mulai muncul pada bulan Juli 2009 ketika Nakheel mengajukan revisi struktur sukuk sebesar 750 juta US dollar.

 

Hal ini sekaligus semakin menguatkan akan pentingnya penerapan GCG, termasuk di institusi keuangan islam. Buruknya praktik corporate governance, adanya manipulasi informasi, kurangnya transparansi dan akuntabilitas inilah yang diduga sebagai penyebab terjadinya berbagai krisis, termasuk krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 hingga saat ini.

 

Perkembangan institusi keuangan keuangan Islam—khususnya bank syariah—mulai meningkat dari tahun-ketahun. Bank syariah mulai berkembang di Indonesia pasca disetujuinya UU No.10 tahun 1998, yang mengatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Hal lain yang memicu tumbuhnya bank syariah adalah Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank. Dengan adanya fatwa tersebut jelas memperkuat posisi bank syariah sebagai satu-satunya alternatif bagi kaum muslimin untuk menitipkan uangnya.Hal ini dikarenakan pandangan masyarakat yang menganggap bahwa bank syariah adalah lembaga keuangan yang telah bebas dari praktik riba.

 

Sebagai salah satu entitas bisnis yang berada di bawah payung negara kesatuan Indonesia, bank syariah pun dituntut untuk menerapkan GCG. Pedoman GCG yang telah keluarkan oleh KNKCG mengikat seluruh entitas bisnis, baik yang konvensional maupun syariah.Hal ini dilakukan sebagai upaya pemerintah untuk menciptakan iklim dunia usaha yang sehat. Namun demikian, beberapa permasalahan muncul ketika pedoman GCG konvensional dipandang tidak cukup mengakomodasi kebutuhan tata kelola perusahaan dengan prinsip syariah—khususnya bank syariah. Ada dua alasan utama mengapa pedoman GCG konvensional dipandang kurang mengakomodasi kebutuhancorporate governance pada institusi keuangan Islam.Pertama, nilai-nilai Islam yang melekat pada institusi keuangan Islam belum diakomodasi oleh pedoman GCG konvensional.Kewajiban institusi keuangan Islam untuk taat pada kaidah-kaidah syariah dalam setiap praktiknya menjadi hal yang seharusnya lebih diutamakan daripada unsur-unsur lainnya.

 

Kedua, secara teoretis institusi keuangan Islam dipandang lebih pas bila menggunakan konsep shariah enterprise theory, yang membuat struktur dan orientasi perusahaannya berbeda dengan perusahaan konvensional yang menganut konsep entity theory. Dengan dianutnya konsep shariah enterprise theory, orientasi institusi keuangan Islam bukan hanya sekadar untuk mencari keuntungan semata, namun lebih menekankan pada zakat sebagai alat pendistribusian kesejahteraan. Di samping itu, diterapkannya GCG pada institusi keuangan Islam adalah sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan. Bahkan menurut Agustianto (2008), bank-bank syariah seharusnya tampil sebagai pionir terdepan dalam pengimplementasian GCG tersebut. Hal ini dikarenakan institusi keuangan Islam memiliki tanggung jawab vertikal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala disamping bertanggung jawab kepadastakeholders.

 

 

[Pengertian GCG]

Definisi GCG menurut Bank Dunia adalah aturan, standar dan organisasi di bidang ekonomi yang mengatur perilaku pemilik perusahaan, direktur dan manajer serta perincian dan penjabaran tugas dan wewenang serta pertanggungjawabannya kepada investor (pemegang saham dan kreditur). Tujuan utama dari GCG adalah untuk menciptakan sistem pengendaliaan dan keseimbangan (check and balances) untuk mencegah penyalahgunaan dari sumber daya perusahaan dan tetap mendorong terjadinya pertumbuhan perusahaan. Sementara Syakhroza (2003) mendefinisikan GCG sebagai suatu mekanisma tata kelola organisasi secara baik dalam melakukan pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif, ekonomis ataupun produktif dengan prinsip-prinsip terbuka, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independen, dan adil dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Tata kelola organisasi secara baik apakah dilihat dalam konteks mekanisma internal organisasi ataupun mekanisma eksternal organisasi. Mekanisme internal lebih fokus kepada bagaimana pimpinan suatu organisasi mengatur jalannya organisasi sesuai dengan prinsip-prinsip diatas sedangkan mekanisma eksternal lebih menekankan kepada bagaimana interaksi organisasi dengan pihak eksternal berjalan secara harmoni tanpa mengabaikan pencapaian tujuan organisasi.

 

Pada prinsipnya, ada lima elemen utama yang menjadi komponen penyusun GCG. Lima elemen penyusun GCG tersebut adalah:

(1) transparancy yaitu keterbukaan mengenai informasi kinerja perusahaan,

(2) fairness yaitu kepastian perlindungan atas hak seluruh pemegang saham dari penipuan dan penyimpangan,

(3) accountability yaitu penciptaan sistem pengawasan yang efektif berdasarkan pembagian wewenang,

(4) independency yaitu pengelolaan perusahaan tanpa pengaruh atau tekanan pihak lain, dan

(5) responsibility yaitu pertanggungjawaban perusahaan kepada semua pihak (The Business Roundtables, 2002).

 

Dalam tataran dalam negeri, pemerintah Indonesia telah berupaya untuk menciptakan iklim dunia usaha yang sehat, diantaranya adalah dengan mendorong internalisasi GCGPada tahun 1999, dibentuk Komite Nasional KebijakanCorporate Governance (KNKCG) berdasarkan keputusan Menko Ekuin No: KEP/31/MEKUIN/08/1999 yang mengeluarkan Pedoman Good Corporate Governance. Pada tahun berikutnya, melalui Surat Edaran Ketua BAPEPAM No.SE-03/PM/2000 dan Keputusan Direksi BEJ No. Kep-339/BEJ/07-2001 mengharuskan semua perusahaan yang tecatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ) memiliki komite audit dan komisaris independen.

 

 

[Islam dan Corporate Governance]

Islamic Corporate Governance dilaksanakan melalui prinsip-prisip dasar yang bersumber dari hukum-hukum Islam (Syariah) yaitu: kesejahteraan ekonomi umat/masyarakat, persaudaraan universal, keadilan sosial, akuntabilitas, kebenaran, transparansi, perlindungan terhadap minoritas, pengungkapan yang memadai dan distribusi pendapatan yang wajar. Ada dua aspek utama yang membentuk Islamic Corporate Governance: Pertama adalah hukum Islam; Kedua adalah prinsip-prinsip keuangan dan ekonomi Islam (zakat, riba, larangan spekulasi).

Islam juga menyediakan panduan yang luas untuk rerangka implementasi dan pengawasan. Seperti halnya OECD, panduan dari Islam tersebut juga menekankan pada transparansi, konsistensi dan persamaan aturan dalam hukum. Aspek-aspek tersebut dijabarkan sebagai berikut:

  1. Pengambilan Keputusan

Dalam Islam beberapa dasar prinsip pengambilan keputusan dalam Corporate Governance bersumber ayat-ayat berikut:

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah” (Ali Imran, 3:159)

“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (Al-Shu’ra, 42:38).

 

Hadist Nabi: dari Abu Hamzah Anas bin Malik (RA):

“Tidaklah kamu beriman (pada Alloh dan agama-Nya), sampai sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencitai dirinya sendiri (Al-Bukhari & Muslims)”.

 

Sama dengan prinsip OECD, ayat tersebut juga menekankan memperhatikan stakeholders pada saat pengambilan keputusan dan memberikan kepentingan yang sama kepada stakeholders (temasuk pemegang saham minoritas). Namun, ada satu tambahan yaitu demensi vertikal yang menjadi stakeholder utama yaitu: Allah Swt (Tuhan Yang Maha Esa). Ada dua manfaat percaya pada Allah setelah suatu keputusan diambil: Pertama, berkah dari Allah akan membantu implementasi keputusan tersebut; Kedua, bila semua stakeholders percaya pada Allah, akan ada invisible control atas mereka.

 

  1. Pengungkapan (Transparansi)

Islam sangat mendorong adanya pengungkapan atau transparansi, dalam pencegahan konflik di masa depan, dan mendorong akuntabilitas di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Beberapa ayat berikut memberikan dasar yang jelas tentang pengungkapan:

Q.S. Al Baqarah 282 dan 283 menyebutkan:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalahtidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu.Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. Al Baqarah, 2:282)

 

Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Baqarah, 2:283)

 

Kedua ayat tersebut menekankan pada pengungkapan dan transparansi. Tambahan yang tidak ada pada prinsip OECD adalah Allah Maha Tahu. Bila kita mengerti bahwa Allah Maha Tahu maka tidak akan ada yang disembunyikan. Ini akan menjadikan adanya pengungkapan yang memadai dan tranparansi dalam pelaporan.

 

  1. Akuntabilitas

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seluruh aqad (kewajiban) itu.” (Q.S. Al Maaidah, 1)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Q.S. Al Anfaal:27)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S.An Nisaa’:29)

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah: 188)

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S.An Nisaa’: 59)

“Ketahuilah setiap kalian adalah ra’in (penjaga amanah) dan setiap kalian akan ditanya tentang ra’iyahnya (apa yang diamanakannya)” (HR. Al-Bukhari no. 5200, 7138 dan Muslim no. 4701 dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma) 

 

Dalam Agama Islam akuntabilitas tidak terbatas pada kehidupan di dunia tetapi juga menyangkut aspek kehidupan setelah di dunia, yaitu: akherat. Jadi dalam Islamic Corporate Governance akuntanbilitas tidak hanya terbatas kepada Dewan Komisaris dari manjemen senior tetapi juga akuntanbilitas kepada Allah Swt. dan umat. OECD mengatur senior manajemen akuntabel terhadap Dewan Komisaris, dan Dewan Komisaris terhadap pemegang saham tetapi Islam mengatur akunatabilitas tidak hanya untuk stakeholders tetapi juga kepada Allah Yang Maha Kuasa. OECD membuat orang akuntabel untuk semua kewajiban yang ditetapkan dan tertulis tetapi Islam menuntut akuntabilitas juga terhadap janji yang dikatakan.

 

 

 

Tabel 1

Corporate Governance dalam Islam dan OECD Prinsiples – Suatu Perbandingan

Basis perbedaan Prinsip OECD Prinsip Islam
Otoritas Direktur mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan berdasarkan prinsip-prinsip OECD Kekuasaan tunggal hanya untuk Allah Yang Maha Kuasa. Semua keputusan dibuat berdasarkan prinsip syariah sebagai hukum sumber otoritas.
Pengambilan Keputusan Pengambilan keputusan disandarkan pada CEO dan manajemen senior. Voting hanya diperlukan untuk memilih Dewan Komisaris dan beberapa keputusan. Setiap keputusan diambil dengan konsultasi dan konsensus masing-masing stakeholders.
Sasaran Maksimisasi profit dan nilai pemegang saham Persamaan, persamaan distribusi kekayaan, perhatian untuk seluruh komunitas.
Akuntabilitas Manajemen senior akuntabel terhadap pemegang saham Akuntabilitas tidak hanya kepada pemegang saham tetapi juga terhadap Allah Yang Maha Kuasa.
Etika Transparansi, akuntabilias, dan pengungkapan. Keadilan, persamaan, kebenaran, perlindungan untuk minoritas, akuntabilitas yang lebih luas, pengungkapan baik tertulis maupun lisan.
Aplikasi Prinsip-prinsip tidak diterapkan dengan sama untuk seluruh dunia. Diterapkan dengan sama untuk seluruh dunia.

 

 

[Panduan Prinsip-prinsip Corporate Governance oleh Islamic Financial Service Board (IFSB)]

Prinsip-prinsip corporate governance yang khusus terkait dengan institusi yang mengunakan prinsip Islam dalam operasi bisnisnya diajukan oleh The Islamic Financial Services Board (IFSB). Dewan (board) ini adalah suatu organisasi penyusun standar internasional yang berusaha memajukan dan meningkatkan praktik sehat dan stabilitas dari industry jasa keuangan Islam dengan mengeluarkan standar-standar penting secara global dan panduan prinsip-prinsip untuk industri, terutama di perbankan, pasar modal, dan sektor asuransi. IFSB juga berusaha melakukan riset dan melakukan koordinasi inisiatif terkait isu-isu industry tersebut, baik itu berupa penyelenggaraan diskusi, seminar, konferensi untuk pemangku kepentingan dari pemerintah dan industri.

Pendekatan Umum Tata kelola oleh IFSB

Hak-hak Investment Account Holders (IAH)

Kepatuhan terhadap Prinsip dan Aturan Syariah

Transparansi Pelaporan Keuangan

 

Penjabaran masing-masing prinsip:

Pendekatan Umum Tata Kelola oleh IFSB

1.1    Institusi keuangan Islam harus mengeluarkan rerangka kebijakan tata kelola yang komprehensif yang menetapkan fungsi dan peran strategis untuk setiap bagian perusahaan serta mekanisme untuk menyeimbangkan akuntabilitas Institusi keuangan Islam terhadap semua stakeholders

Dalam rerangka kebijakan tata kelola ini, Institusi keuangan Islam harus menetapkan:

  1. Fungsi dan peran strategis untuk setiap bagian perusahaan meliputi dewan komisaris, komite, eksekutif manajemen, Dewan Pengawas Syariah (DPS), internal dan eksternal auditor dan lain-lain.
  2. Mekanisme untuk menyeimbangkan akuntabilitas setiap bagian Institusi keuangan Islam terhadap semua stakeholders.
  3. Untuk mengkoordinasi dan mengintegrasikan implementasi kebijakan tata kelola perusahaan yang telah dibuat, Dewan Komisaris dapat membentuk Governance Committee(Komite Governance) yang minimal terdiri dari 3 anggota, dengan komposisi yang disesuaikan mencakup anggota dari komite audit, DPS dan direktur non-eksekutif.

Komite Governance ini bertugas untuk:

  1. Menjaga dan mengawasi implementasi kebijakan governanceperusahaan bekerja sama dengan manajemen, komite audit, dan komite syariah (DPS).
  2. Memberikan laporan dan rekomendasi kepada dewan komisaris terkait dengan temuan-temuan yang dihasilkan.

Fungsi dan peran Komite Governance ini tidak boleh merangkap dan tumpang tindih dengan Komite Audit. Komite Governance merupakan pelengkap fungsi Komite Audit dalam fungsi tata kelola perusahaan. Tujuan utama pembentukan Komite Governance adalah lebih untuk melindungi kepentingan Stakeholders daripada Shareholders.

 

1.2.  Institusi keuangan Islam harus menjamin bahwa laporan keuangan dan informasi nonkeuangan memenuhi standar akuntansi yang diakui secara internasional yang sesuai dengan prinsip syariah dan dapat diterapkan oleh semua Institusi keuangan Islam.

Pentingnya proses akuntansi yang tepat untuk tata kelola perusahaan yang baik harus disadari dengan:

  1. Menggunakan akuntan, konsultan, dan auditor secara tepat dan efektif untuk menyelesaikan permasalahan.
  2. Adanya internal dan eksternal auditor yang independen.

 

Dewan Komisaris dapat membentuk Komite Audit yang beranggotakan minimal tiga orang (Ketua dan dua orang anggota). Komite Audit ini bertugas:

  1. Memeriksa dan mengawasi proses akuntansi Institusi keuangan Islam bekerja sama dengan internal dan eksternal auditor.
  2. Memberikan laporan dan rekomendasi kepada Dewan Komisaris mengenai kepatuhan Institusi keuangan Islam dengan standard akuntansi internasional dalam pelaporan keuangan dan informasi nonkeuangan.

Komite Audit dapat berkomunikasi dan berkoordinasi dengan DPS dan Komite Governance untuk menjamin bahwa informasi yang sesuai dengan prinsip syariah dan prinsip perusahaan dilaporkan dengan tepat waktu dan memadai.

 

 

2.1.    Institusi keuangan Islam harus menyatakan hak-hak Investment Account Holders(IAH) untuk memonitor kinerja investasi mereka dan risiko yang berhubungan, dan memberi tempat yang memadahi untuk menjamin bahwa hak IAH ini dijalankan dan diawasi.

Secara konseptual, berdasarkan prinsip mudharabah, IAH sebagai Rabb al Mal menanggung risiko kehilangan kapital yang diinvestasikan pada Institusi keuangan Islam sebgai Mudarib. Ini berarti risiko investasi IAH sama dengan pemegang saham yang menanggung risiko kehilangan kapital sebagai investor Institusi keuangan Islam. Namun, Institusi keuangan Islam sebgai mudarib mempunyai fiduciary duty terhadap IAH berdasarkan kontrak mudharabah, paralel dengan kewajiban mereka terhadap pemegang saham. Dalam konteks ini manajemen bersama pemegang saham sebagai mudarib mempunyai fiduciary duty terhadap IAH sebagai Rabb al Mal.

Oleh karena itu, sewajarnya bila Institusi keuangan Islam menempatkan IAH pada posisi yang sama dengan pemegang saham dengan mengetahui hak-hak IAH untuk mengakses semua informasi yang relevan dengan akun investasi mereka.

Sesuai dengan struktur agen-prinsipal, berdasarkan prinsip mudharabah, tepat bila Institusi keuangan Islammengakui hak-hak IAH untuk memonitor kinerja investasi mereka dan memberi tempat yang memadahi untuk menjamin pelaksanaan hak IAH tersebut.

Institusi keuangan Islam harus menginformasikan dari awal saat mereka membuka akun investasi, sesuai dengan prinsip mudharabah, terutama pada saat likuidasi Institusi keuangan Islam:

  1. IAH hanya menanggung kerugian sesuai proporsi asset yang ditanamkan pada investasi mereka.
  2. Institusi keuangan Islam harus bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh kelalaian, perbuatan jahat, dan pelanggaran atas investasi yang dimandatkan.
  3. The restricted IAHtidak bertanggung jawab atas kewajiban kepada pihak lain yang timbul dari defisiensi atau likuiditas Institusi keuangan Islam kecuali berhubungan dengan dana. restricted IAH. Sedangkan unrestricted IAHhanya bertanggung jawab atas kewajiban sesuai dengan proporsi bagian mereka pada commingled funds.

 

2.2  Institusi keuangan Islam harus mengadopsi strategi investasi yang sehat yang appropriatelyalignedterhadap risiko dan kembalian harapan (expected return) oleh IAH dan transparan dalam meratakan tiap return.

IAH biasanya mencari investasi yang berisiko rendah dengan tingkat kembalian yang stabil, sedangkan pemegang saham biasanya lebih menyukai strategi investasi yang sehat dan agresif yang menawarkan tingkat kembalian tinggi dengan risiko yang tinggi pula. Hal ini mungkin dapat menimbulkan konflik kepentingan dana IAH dan dana pemegang saham bercampur. Meratakan return IAH mungkin dapat mengurangi masalah ini, tetapi tidak berdampak secara fundamental terhadap risiko pokok dan mungkin mempunyai efek negatif pada transparansi.

 

Dalam mengembangkan strategi investasi untuk kepentingan IAH, Institusi keuangan Islam harus mempertimbangkan risiko dan tingkat kemablian yang diharapkan IAH dengan:

  1. Mempunyai ketepatan dan sistematik mekanisme know your customer yang dapat menggambarkan secara efektif perbedaan risk-return profiles dari restricted dan unrestricted IAH.
  2. Mempekerjakan manajer investasi yang qualifiedyang mengerti kebutuhan dan harapan IAH.
  3. Transparan kepada Komite Governance sesuai dengan strategi investasi yang diadopsi Institusi keuangan Islam.

Institusi keuangan Islam harus menginformasikan kepada IAH bila praktik meratakan returns dilakukan dengan cara membentuk cadangan dalam bentuk PER (Profit Equalisation Reserve). Institusi keuangan Islam harus memberitahukan kepada IAH setiap kali mereka menggunakan cadangan untuk meratakan dividen yang dibayarkan.Dengan tujuan untuk menjamin pengggunaan PER tersebut tepat, Komite Governance dapat diberi mandat untuk mengamati dan merekomendasikan pengguanaan PER terhadap Dewan Komisaris.Demikian juga bila Institusi keuangan Islam telah membentuk IRR (Investment Risk Reserve) untuk mengkoverunexpected lost pada bagian IAH, penggunaan IRR harus ditempatkan dibawah pengamatan dan merupakan subjek rekomendasi Komite Governance terhadap Dewan Komisaris.

 

3.1   Institusi keuangan Islam harus mempunyai mekanisme yang tepat untuk memperoleh aturan syariah, mengaplikasikan fatwa, dan memonitor kepatuhan terhadap prinsip syariah dalam semua aspek produk, operasi, dan aktivitas mereka.

Mekanisme untuk memperoleh aturan syariah, mengaplikasikan fatwa, dan memonitor kepatuhan terhadap prinsip syariah mencakup:

  1. Aspek Ex antedan Ex post seluruh transaksi keuangan yang dilaksanakan oleh Institusi keuangan Islam misalnya untuk menjamin kepatuhan prinsip syariah pada setiap kontrak dan kinerja sesuai kontrak tersebut.
  2. Operasi Institusi keuangan Islam termasuk aspek-aspek seperti pemeriksaan kepatuhan terhadap prinsip syariah, kebijakan investasi, kegiatan amal, dan lain sebagainya.

Institusi keuangan Islam harus memberikan informasi terhadap otoritas pengawasan mengenai mekanisme merekauntuk memperoleh aturan syariah, mengaplikasikan fatwa, dan memonitor kepatuhan terhadap prinsip syariah dan juga mengungkapakannya terhadap publik.

Untuk pemeriksaan kepatuhan terhadap prinsip syariah di internal, Institusi keuangan Islam dapat bekerja sama dengan internal auditor/shariah reviewers agar DPS/Shariah Scholars dapat memberi saran kepada internal auditor/shariah reviewers mengenai scope audit/review yang mereka lakukan. Auditor/shariah reviewers ini berkewajiban untuk membuat laporan internal shariah compliance.

Untuk pemeriksaan kepatuhan terhadap prinsip syariah eksternal, Komite Audit harus mampu menjamin bahwa eksternal auditor dapat melaksanakan Ex-post shariah compliance reviews.

 

3.2.  Institusi keuangan Islam harus patuh terhadap prinsip dan aturan syariah seperti yang telah diungkapkan dalam aturan Shariah Scholars Institusi keuangan Islam. Institusi keuangan Islam juga harus mengungkapkan aturan dan prinsip ini kepada publik.

Institusi keuangan Islam harus patuh terhadap aturan dan prinsip yang dikeluarkan oleh Shariah Scholars.Prinsip dan aturan ini harus dipublikasikan melalui saluran komunikasi publikasi yang benar.

Institusi keuangan Islam harus mempublikasikan penjelasan mengenai keputusan untuk mengadopsi suatu fatwa yang dikeluarkan oleh Shariah Scholars.Institusi keuangan Islam juga harus memberikan klarifikasi yang transparan kepada public mengenai keputusan untuk meninggalkan fatwa yang dikeluarkan Shariah Scholars.

 

4.1.   Institusi keuangan Islam harus membuat pengungkapan yang memadai dan tepat waktu kepada IAH dan publik mengenai informasi yang material dan relevan tentang akun investasi yang mereka kelola.

Berkaitan dengan hak IAH untuk memonitor kinerja dari investasi mereka, terutama dengan kontrak mudharabah,profit-sharing ratio harus diungkapkan dengan jelas. Selain itu, Institusi keuangan Islam juga harus mengungkapkan metoda penghitungan laba, alokasi asset, strategi investasi, dan mekanisme smoothing the return.

Penting untuk menjamin bahwa informasi tersebut siap tersedia dalam bentuk yang comparable, understandable, readable, dan reliable tidak hanya untuk IAH tetapi juga untuk konsumen. Proses tersebut dapat dilakukan dengan:

  1. Standardisasi terminologi dan bahasa
  2. Comparanbe measure, cara menjelaskan, beban, risiko, penghitungan profit, alokasi aset, strategi investasi, dan mekanisme smoothing return.
  3. Kemudahan akses informasi misalnya melalui internet.

Berdasarkan BCBS paragraph 47, Institusi keuangan Islam juga harus mengungkapkan:

  1. Informasi mengenai Dewan Komisaris
  2. Struktur organisasi dasar
  3. Kebijakan remunerasi, kompensasi eksekutif, bonus, stock option, dan lain-lain.
  4. Etika dan kebijakan bisnis Institusi keuangan Islam
  5. Apabila Institusi keuangan Islam dimiliki oleh pemerintah, harus diungkapkan sasaran umum kepemilikan pemerintah.
  6. Sifat dan luasnya transaksi dengan cabang dan pihak-pihak yang berhubungan.

 

 

[Penerapan Good Corporate Governance dalam Institusi Keuangan Syariah di Indonesia]

Penerapan prinsip-prinsip GCG menjadi hal yang penting bagi sebuah institusi, termasuk di dalamnya institusi keuangan syariah. Hal ini lebih dikarenakan tuntutan adanya tanggung jawab kepada publik (public accountability) berkaitan dengan kegiatan operasional institusi kepada pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders), dan kepentingan kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dalam hukum positif seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Syariah, berikut peraturan-peraturan pelaksanaannya. Hal yang tidak kalah penting adalah kepatuhan entitas syariah terhadap prinsip-prinsip syariah sebagaimana yang telah digariskan dalam alQuran, Hadis, dan Ijma’ para ulama.

 

Pengertian GCG dalam dunia perbankan dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 1 angka 6 Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 ”Tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum,” disebutkan bahwa:

good corporate governance adalah tatakelola bank yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency), dan kewajaran (fairness).

 

Penjelasan umum PBI No. 8/4/PBI/2006 dikemukakan juga mengenai arti dari setiap prinsip GCG tersebut:

Pertama, transparansi (transparancy) diartikan sebagai keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan.

Kedua, akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pertanggungjawaban bank sehingga pengelolaannya berjalan efektif.

Ketiga, pertanggungjawaban (responsibility) yaitu kesesuian pengelolaan bank dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan bank yang sehat.

Keempat, independensi (independency) yaitu pengelolaan bank secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun.

Kelima, kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stake holder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Corporate governance pada lembaga keuangan memiliki keunikan bila dibandingkan governance pada lembaga keuangan non-bank. Hal ini lebih disebabkan oleh kehadiran pihak yang berkepentingan dan memiliki resiko dengan sumberdaya yang dititipkan di perusahaan dalam hal ini adalah pemegang saham dan penyetor modal sementara (Investment Account Holders) sebagai suatu kelompok stakeholders yang kepentingannya harus diakomodir dan dijaga. Sementara itu khusus dalam entitas syariah dikenal adanya prinsip-prinsip syariah yang mendukung bagi terlaksananya prinsip good corporate governance (GCG) dimaksud, yakni keharusan bagi subjek hukum untuk menerapkan prinsip kejujuran (shiddiq), edukasi kepada masyarakat (tabligh), kepercayaan (amanah), dan pengelolaan secara profesional (fathanah).

 

Corporate governance merupakan suatu konsep yang dijabarkan dalam bentuk ketentuan/peraturan yang dibuat oleh lembaga otoritas, norma-norma dan etika, yang dikembangkan oleh asosiasi industri dan diadopsi oleh pelaku industri, serta lembaga-lembaga yang terkait dengan tugas dan peran yang jelas untuk mendorong disiplin, mengatasi dampak moral hazard, dan melaksanakan fungsi check and balance. Sejumlah perangkat dasar yang diperlukan untuk pembentukan GCG pada entitas syariah antara lain: sistem pengendalian internal, manajemen risiko, ketentuan yang mengarah pada peningkatan keterbukaan informasi, sistem akuntansi, mekanisme jaminan kepatuhan syariah, dan audit eksternal.

 

Secara yuridis entitas keuangan syariah bertanggung jawab kepada banyak pihak (stakeholders).Pihak dimaksud antara lain terdiri dari nasabah, penabung, pemegang investasi temporer (Investment Account Holders), pemegang saham, investor obligasi, bank koresponden, regulator, pegawai perseroan, pemasok serta masyarakat dan lingkungan.Dengan demikian penerapan GCG merupakan suatu kebutuhan bagi setiap entitas syariah. Penerapan GCG merupakan wujud pertanggungjawaban entitas syariah kepada masyarakat bahwa suatu entitas syariah dikelola dengan baik, profesional dan hati-hati (prudent) dengan tetap berupaya meningkatkan nilai pemegang saham (shareholder’s value) tanpa mengabaikan kepentingan stakeholders lainnya.

 

Prinsip-prinsip good corporate governance oleh sebuah entitas, termasuk entitas keuangan syariah paling tidak harus diwujudkan dalam:

  1. Tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris, Dewan Pengawas Syariah, dan Dewan Direksi (Top Eksekutif);
  2. Adanya komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian internal entitas;
  3. Diterapkan fungsi review kepatuhan, baik oleh auditor internal dan auditor eksternal;
  4. Diterapkan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian internal;
  5. Adanya dana kepada pihak terkait dan penyediaan dana besar;
  6. Adanya Rencana Strategis (Renstra) entitas;
  7. Keterbukaan (transparancy) kondisi keuangan dan non keuangan enitas.

 

Sedangkan untuk meningkatkan pemenuhan prinsip syariah oleh entitas paling tidak terdapat dua langkah penting yang perlu ditempuh, yaitu:

  1. Perlunya mengefektifkan aturan dan mekanisme pengakuan (endorsement) dari otoritas fatwa dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional (DSN), dalam hal menentukan kehalalan atau kesesuaian produk dan jasa keuangan entitas dengan prinsip syariah.
  2. Perlunya mengefektifkan sistem pengawasan yang memantau transaksi keuangan entitas sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh otoritas fatwa perbankan. Terkait dengan hal ini permasalahan yang sering muncul adalah masih minimnya ahli yang memiliki pemahaman ilmu fikih dan syariah serta sekaligus memiliki pengetahuan perbankan yang memadai.
  3. Bagi para pemegang otoritas/regulator perlu mengantisipasi munculnya tantangan yang mungkin muncul terkait dengan implementasi GCG entitas keuangan syariah di Indonesia. Saat ini sebagian prinsip-prinsip GCG telah dipenuhi oleh entitas keuangan syariah khususnya bank-bank syariah, misalnya dengan telah dibentuknya aturan hukum dan kelembagaan khusus untuk bank syariah (otoritas perbankan syariah dari Bank Indonesia sebagai bank sentral), yang mengatur tentang struktur dan organisasi bank syariah, persyaratan pemilik dan pengurus, aturan dan mekanisme fit and proper test, kewajiban bank untuk membentuk satuan kerja audit internal, ketentuandisclosure, standard akutansi, dan penerapan manajemen risiko yang semuanya telah diatur secara detail dalam PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan GoodCorporate Governance Bagi Bank Umum.

 

Disamping itu terdapat elemen-elemen pendukung bagi implementasi prinsip GCG pada bank syariah yakni adanya lembaga-lembaga lain, seperti Dewan Syariah Nasional (DSN), Dewan Pengawas Syariah (DPS), Lembaga Pengaduan Nasabah, Lembaga Mediasi Perbankan, Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), dan terakhir adanya perluasan kewenangan yang dimiliki oleh pengadilan agama dalam hal memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syariah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

 

 

 

Berikut adalah sumber yang dijadikan rujukan dalam menyusun materi mengenai CG pada Institusi Keuangan Islam:

http://sharia.feb.ugm.ac.id/index.php/blog-artikel/penelitian/90-corporate-governance-pada-institusi-keuangan-islam

https://staff.blog.ui.ac.id/dodik.siswantoro/2009/11/28/kasus-dubai-world-subprime-mortgage-jilid-2/