Jangan Main-Main dengan Transfer Pricing

Lebih dari 80 negara di dunia berkomitmen untuk menerapkan Country by Country Report
(CBCR). Sejauh ini sudah lebih dari 50 negara yang mengadopsi, dimana Indonesia merupakan
salah satunya. Dengan terbitnya PMK Nomor 213 Tahun 2016, ketentuan dokumentasi transfer
pricing (TP Doc) bagi grup usaha yang melakukan transaksi afiliasi di Indonesia mengalami
perubahan signifikan. Mulai tahun pajak 2016, tak hanya local file yang wajib disiapkan oleh
grup usaha, tetapi juga master file dan CBCR harus segera disiapkan dalam waktu yang
relatif pendek.
Apa latar belakang dari kebijakan penyampaian Master File dan CBCR?
Pada 2013, G20 Leaders mengendorse Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action Plan dan
mempromosikan transparansi internasional untuk menangani penghindaran pajak. BEPS action
plan ini terutama ditujukan untuk menangani double non taxation yang tidak fair. Lalu lahirlah
15 action plan dalam BEPS project, yang salah satunya di action 13 adalah CBCR. Indonesia
sebagai negara G20 dan BEPS Assosiate tentu akan berusaha untuk berkomitmen menerapkan
CbCR tersebut sebagai bagian dari minimum standard atas BEPS action plan yang harus
diterapkan. Begitu kita sudah komitmen ikut bertukar CBCR, maka format dan threshold-nya
harus sama, tapi waktu penyampaian dan prosedurnya bisa berbeda-beda menyesuaikan dengan
ketentuan domestik di masing-masing negara. Namun, yang wajib membuat CBCR tidak semua
perusahaan, hanya yang memenuhi kriteria tertentu.
Bagaimana penerapan CBCR di Indonesia?
Pemerintah Indonesia telah menerbitkan PMK Nomor 213 Tahun 2016 untuk mengatur
kewajiban penyelenggaraan Dokumen Penetapan Harga Transfer. Itu merupakan paket
dokumentasi transfer pricing yang berisikan dokumen induk (Master file), dokumen lokal (local
file), dan laporan per Negara/Country by Country Report (CBCR). Ini semua harus dibuat dalam
format Bahasa Indonesia.

Isi dari CBCR mencakup soal laba grup di tiap negara, pajak yang dibayarkan, dan jumlah
karyawan, sehingga memberikan informasi aktivitas grup atau fungsi apa saja yang dijalani
setiap grup usaha di masing-masing negara. Dan ini akan ditransmisi secara otomatis, tapi hanya
dengan negara yang sama-sama punya komitmen dan menandatangani perjanjian pertukaran
CBC baik bilateral maupun multilateral. Perjanjian pertukaran CBC secara multilateral namanya
CBC Multilateral Competent Authority Agreement (CBC-MCAA).
Apa urgensi dari CBCR?
Secara tidak langsung kehadiran PMK 213 semacam alert: “Anda tidak bisa main-main lagi
dengan skema grup!”. Sudah ada mekanisme yang mengawasi sehingga fairness akan terjadi. Itu
yang pertama. Kedua, persyaratan kertas kerja dalam CBCR. Tujuannya supaya WP tidak asal-
asalan membuat CBCR, sumbernya harus jelas. Penggunaan CBCR ini dibatasi hanya untuk risk
management, sehingga tidak dapat digunakan sebagai dasar koreksi audit. Nantinya, yang
dipertukarkan ke negara lain hanya CBCR form. Sedangkan kertas kerja tidak. Intinya segala
macam unfairness, tax avoidance, itu bisa dimitigasi dengan baik dari awal.
Artinya pendekatannya DJP ke Wajib Pajak berubah?
Pesan yang dituangkan dalam PMK 213 adalah ingin Wajib Pajak menerapkan Arms Length
Principle (ALP) sejak Wajib Pajak men-set- up harga. Pendekatan ini dikenal dengan nama price
setting approach atau ex-ante basis. Berdasarkan PMK ini, Wajib Pajak diharapkan tidak lagi
menerapkan ex-post basis sehingga akan lebih fair baik dari sisi Wajib Pajak maupun DJP. Jadi
pada saat price setting dia harus setup berdasarkan arms length principle, prinsip kewajaran.
Misalnya, WP menetapkan laba = total cost + 5%. Dari mana angka 5% itu. Ini yang harus
didasarkan pada ALP dan didokumentasikan dalam TP Documentation (Master File dan Local
File). Pesan lebih besar, kami ingin supaya transaksi yang harganya sudah ditentukan sesuai
dengan ALP tidak menjadi potensi koreksi. Tidak fair kalau transaksi afiliasi sudah arms length
sejak awal tahun, tapi tetap dikoreksi. Sebaliknya, Wajib Pajak yang tidak melakukan setting
price berdasarkan ALP tentu akan berisiko untuk dilakukan koreksi oleh pemeriksa. Itu tidak
akan terjadi kalau WP menggunakan price setting berdasarkan ALP. Jikapun realisasi pada akhir
tahun terdapat deviasi dari price setting yang ditetapkan di awal, Wajib Pajak dipersilakan untuk
menjelaskannya di dalam TP Doc. Sehingga semuanya fair dan transparan.
Bukankah transfer pricing sesuatu yang normal?
Transfer pricing merupakan penetapan harga transaksi antara pihak yang terafiliasi. Penentuan
harga jual, harga beli, nilai royalti, nilai jasa, dan apapun bentuknya, itu transfer pricing
sepanjang dilakukan dengan afiliasi. Sampai sini tidak ada masalah karena hakikatnya transaksi
afiliasi adalah sesuatu yang normal dan tidak dilarang secara hukum. Hanya pada saat terjadi
transfer pricing abuse, baru ada masalah. Abuse what for? untuk mengecilkan pajak di Indonesia.
Jadi yang masalah bukan transfer pricing, tapi transfer pricing abuse. Kalau tax planning
ditujukan untuk penghindaran pajak, nah itu baru bermasalah. Kalau dia tidak dilakukan secara
arms length, secara wajar, maka DJP punya kewenangan untuk melakukan koreksi.

Banyak keuntungan diperoleh dengan bisnisnya di Indonesia, mendapatatkan sumber daya energi
dan buruh murah, sampahnya banyak di Indonesia, truknya banyak menghancurkan jalan, tapi
labanya dipindahkan ke luar negeri. Pada saat dia mentransfer ini lah yang bermasalah. Bukan
berarti transfer pricing tidak boleh. Transfer pricing boleh sepanjang wajar (ALP).
Harus diingat bahwa CBCR ini tidak bisa digunakan untuk mengoreksi transfer pricing.
Penggunaanya hanya untuk risk analysis. Jadi hanya untuk melakukan analisis risiko atas
transfer pricing sehingga bisa melihat dimana saja risiko transfer pricing sebuah perusahaan.
Hasil risk analysis akan memberikan rekomendasi atau petunjuk bahwa perusahaan ini layak
diperiksa .atau didalami lebih lanjut transfer pricingnya. Ini sebagai diagnostic tool untuk
melihat risiko transfer pricing. Kalau memang tidak ada risiko, ya tidak akan dijadikan prioritas
utama pemeriksaan transfer pricing. Kalau ada risiko luar biasa, mari teliti mana transaksi yang
paling optimal untuk dilakukan pemeriksaan.
Apakah tidak malah memberatkan WP?
Justru ini akan memudahkan WP, meng-encourage WP untuk patuh menerapkan ALP. Yang
patuh akan keliatan patuh, yang tak patuh akan kelihatan tak patuh. Jadi kita tempatkan TP doc
pada posisi yang fair untuk bisa memberikan perlakuan yang adil. Untuk yang patuh akan
mendapatkan benefit, yang tidak patuh akan mendapatkan disinsetif dalam bentuk punishment
Sanksinya apa bagi WP yang tidak patuh dalam pelaporan Dokumentasi Transfer pricing?
Selama ini, sanksi yang diterapkan atas ketidakpatuhan Wajib Pajak menerapkan ALP atau tidak
membuat TP Doc umumnya sama yaitu 2% per bulan sesuai Pasal 13 ayat (2) UU KUP. Akan
tetapi, saat ini bagi Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan Dokumen Transfer pricing, maka
sanksinya sesuai dengan Pasal 13 ayat 3 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP),
yakni 50% dari pajak yang tidak atau kurang bayar. Sedangkan bagi WP yang telat atau hingga
batas waktu yang sudah ditentukan belum juga menyampaikan dokumentasi transfer pricing,
maka menjadi diskresi pemeriksa apakat TP doc-nya dipertimbangkan atau tidak. Istilahnya
ditetapkan secara jabatan. Apabila dites tidak wajar, maka pemeriksa akan mengenakan sanksi 2% per bulan. Sementara bagi WP yang memanipulasi dokumen transfer pricing berdasarkan informasi yang tidak benar, maka bisa kena sanksi pidana. Sehingga di sini kita tempatkan sesuatu secara adil. Kalau WP tidak membuat TP doc, maka diperlakukan sama seperti WP yang tidak melaksanakan kewajiban pembukuan.