Penentuan Harga Pelayanan Publik (Charging For Service)

Oleh: Elychia Roly Putri / Nelly Yulinda / Hajrahwati / Borisma Anastasia Sinaga

Penyunting Tulisan: Astrid Mega A

Seperti yang kita tahu, salah satu tugas pokok pemerintah adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemberian pelayanan ini dapat dibiayai melalui 2 sumber, yaitu: (1) Pajak; (2) Pembebanan langsung kepada masyarakat konsumen jasa publik. Pembebanan langsung kepada masyarakat ini sering juga disebut dengan Charging for Service.   

Pembebanan Charging For Service hanya dibebankan kepada mereka yang memanfaatkan jasa pelayanan publik saja. Sedangkan mereka yang tidak menggunakan, tidak diwajibkan untuk membayar.

Pendidikan, transportasi publik, penyediaan air bersih, pelayanan kesehatan, merupakan contoh pelayanan publik yg dibebankan tarif Charging For Service.

Ada 3 alasan mengapa pembebanan tarif pelayanan publik Charging For Service kepada konsumen dapat dibenarkan, yaitu:

  1. Adanya barang privat dan barang publik;
  2. Efisiensi ekonomi;
  3. Prinsip keuntungan.

Dalam menetapkan harga pelayanan publik, ada 2 metode yang dapat digunakan. Metode tersebut adalah Full cost recovery dan Marginal cost pricing.

Full cost recovery menyatakan bahwa beban (charge) dihitung sebesar total biaya untuk menyediakan pelayanan tersebut. Namun, untuk menghitung biaya total Charging For Service tersebut terdapat beberapa kesulitan.

Pertama, tidak diketahui secara tepat berapa biaya total (full cost) untuk menyediakan suatu pelayanan. Kedua, sangat sulit mengukur jumlah yang dikonsumsi. Ketiga, pembebanan Charging For Service tidak memperhitungkan kemampuan masyarakat untuk membayar. Keempat, biaya Charging For Service yang harus diperhitungkan, apakah hanya biaya operasi langsung (current operation cost), atau perlu juga diperhitungkan biaya modal (capital cost). Itu sebabnya ahli ekonomi umumnya menganjurkan untuk menggunakan marginal cost pricing.

Marginal cost pricing artinya tarif yang dipungut sama dengan biaya untuk melayani konsumen ditambah margin yang diharapkan. Harga tersebut adalah harga yang juga berlaku dalam pasar persaingan untuk pelayanan tersebut. Marginal cost pricing ini mengacu pada harga pasar yang paling efisien karena pada tingkat harga tersebut (ceteris paribus) akan memaksimalkan manfaat ekonomi dan penggunaan sumber daya yang terbaik. Masyarakat akan memperoleh peningkatan output dari barang atau jasa sampai titik di mana marginal cost sama dengan harga.

Jika menggunakan metode Marginal cost pricing, paling tidak ada 4 hal yang harus diperhitungkan:

  1. Biaya operasi variabel (variable operating cost).
  2. Semi variable overhead cost seperti biaya modal atas aktiva yg digunakan untuk memberikan pelayanan.
  3. Biaya penggantian atas aset modal yang digunakan dalam penyediaan pelayanan.
  4. Biaya penambahan aset modal yang digunakan untuk memenuhi tambahan permintaan.

Selain metode di atas, ada beberapa alternatif dalam menentukan harga barang publik, yaitu: Two-part tariffs, Peakload tariffs, Diskriminasi harga, dan Pertimbangan Distribusional.

Two-part tariffs: fixed charge untuk menutupi biaya overhead dan variabel charge yang didasarkan atas besarnya konsumsi.

Peakload tariffs: pelayanan publik dipungut berdasarkan tarif tertinggi.

Diskriminasi harga: salah satu cara untuk mengakomodasikan pertimbangan keadilan (equity) melalui kebijakan penetapan harga.

Pertimbangan Distribusional: Penetapan biaya Charging For Service tergantung pada pemakai fasilitas dan sumber penggunaan pendapatan untuk menutupi defisit.

Dan yang terpenting, berapa pun harga Charging For Service yang dibebankan kepada masyarakat, harus merujuk standar yang dibuat oleh organisasi sektor publik yang menekankan konsep Value for money.

Akuntabilitas Publik

Oleh: Elychia Roly Putri / Nelly Yulinda / Hajrahwati / Borisma Anastasia Sinaga

Penyunting Tulisan: Astrid Mega A

Akuntabilitas publik adalah pertanggungjawaban/ keadaan untuk dipertanggungjawabkan. Akuntabilitas publik ini mempunyai 2 (dua) bentuk, yaitu Akuntabilitas Vertikal dan Akuntabilitas Horizontal.

Akuntabilitas Vertikal adalah pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, sedangkan Akuntabilitas Horizontal adalah akuntabilitas kepada masyarakat secara luas terhadap sesama lembaga lain yang tidak memiliki hubungan atasan dan bawahan.

Terdapat 5 (lima) aspek tentang Akuntabilitas Publik Instansi Pemerintah menurut Hopwood dan Elwood.

  1. Aspek Akuntabilitas Hukum dan Kejujuran, yaitu pertanggungjawaban lembaga publik untuk berperilaku jujur dalam bekerja dan mentaati ketentuan hukum yang berlaku.
  2. Aspek Akuntabilitas Manajerial, yaitu pertanggungjawaban publik dalam melakukan pengelolaan organisasi secara efisien dan efektif.
  3. Aspek Akuntabilitas Program, yaitu program bermutu yang mendukung strategi dan pencapain visi, misi, dan tujuan organisasi.
  4. Aspek Akuntabilitas Kebijakan, yaitu pertanggungjawaban lembaga publik atas kebijakan yang diambil dengan mempertimbangkan dampak masa depan.
  5. Aspek Akuntabilitas Finansial, yaitu Pertanggungjawaban lembaga publik dalam menggunakan uang publik secara efisien dan efektif, tidak ada pemborosan serta korupsi.

Menurut Mardiasmo, ada tiga Prinsip Akuntabilitas Publik pada pemerintahan yang baik dalam mengelola keuangan daerah, yaitu:

  1. Transparansi, yaitu keterbukaan dalam proses perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan anggaran daerah.
  2. Akuntabilitas, yang berarti dari perencanaan hingga pelaporan dapat dipertanggungjawabkan kepada DPR dan masyarakat.
  3. Value for money, yaitu telah ditetapkan 3 prinsip dalam proses penganggaran: ekonomi, efisiensi, dan efektifitas.

Siklus Akuntabilitas Publik menurut Indra Bastian.

  1. Siklus kesatu yaitu penetapan regulasi pertanggungjawaban organisasi.
  2. Siklus kedua yaitu pembentukan dan penerbitan SK Tim Penyusun Laporan Pertanggungjawaban Organisasi.
  3. Siklus ketiga yaitu penyusunan draft laporan pertanggungjawaban organisasi.
  4. Siklus keempat pembahasan draft laporan pertanggungjawaban organisasi sektor publik.
  5. Siklus kelima yaitu penyelesaian laporan pertanggungjawaban organisasi sektor publik.
  6. Siklus keenam yaitu pengajuan laporan pertanggungjawaban organisasi sektor publik ke Legislatif.
  7. Siklus ketujuh yaitu pembacaan laporan Pertanggung Jawaban organisasi sektor publik oleh pimpinan organisasi di hadapan lembaga Legislatif.
  8. Siklus kedelapan yaitu pembahasan laporan pertanggungjawaban organisasi oleh lembaga Legislatif.
  9. Selanjutnya siklus kesembilan yaitu penilaian dan rekomendasi atas laporan pertanggungjawaban organisasi.
  10. Kemudian siklus terakhir yaitu penerbitan laporan pertanggungjawaban organisasi.

Sumber: Bahri, Syambudi Prasetia. 2012. Pengaruh Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja terhadap Akuntabilitas Publik pada Instansi Pemerintah. Skripsi. Bandung: Universitas Pasundan.