Pengertian dan Landasan Hukum BMT
BMT adalah kependekan dari kata Balai Usaha Mandiri Terpadu atau Baitul Maal wa Tamwil, yaitu lembaga keuangan mikro (LKM) yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Atau balai usaha mandiri terpadu yang isinya berintikan bayt al-mal wa at-tamwil dengan kegiatan mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan ekonomi pengusaha kecil dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. BMT (Baitul Maal Wa Tamwil = Balai Usaha Mandiri Terpadu) adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuh kembangkan bisnis usaha mikro dan kecil, dalam rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin.
BMT didirikan dalam bentuk KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat) atau Koperasi. Sebelum usahanya, kelompok Swadaya Masyarakat mesti mendapatkan sertifikat operasi dari PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil). Sementara PINBUK itu sendiri mesti mendapat pengakuan dari Bank Indonesia (BI) sebagai Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM).
Berkenaan dengan Koperasi Unit Desa (KUD) dapat mendirikan BMT telah diatur dalam petunjuk Menteri Koperasi dan PPK tanggal 20 maret 1995 yang menetapkan bahwa bila di suatu wilayah di mana telah ada KUD dan KUD tersebut telah berjalan dengan baik dan organisasinya telah teratur dengan baik, maka BMT bisa menjadi Unit Usaha Otonom (U2O) atau Tempat Pelayanan Koperasi (TPK) dari KUD tersebut. Sedangkan bila KUD yang telah berdiri itu belum berjalan dengan baik, maka KUD yang bersangkutan dapat dioperasikan sebagai BMT. Apabila di wilayah yang bersangkutan belum ada KUD, maka dapat didirikan KUD BMT.
Penggunaan badan hukum KSM dan Koperasi untuk BMT itu disebabkan karena BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan UU Nomor 7 Tahun 1992 dan UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dapat dioperasikan untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Menurut undang-undang, pihak yang berhak menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, baik dioperasikan dengan cara konvensional maupun dengan prinsip bagi hasil. Namun demikian, kalau BMT dengan badan hukum KSM atau Koperasi itu telah berkembang dan telah memenuhi syarat-syarat BPR, maka pihak manajemen dapat mengusulkan diri kepada pemerintah agar BMT dijadikan sebagai BPRS (Badan Perkreditan Rakyat Syariah) dengan badan hukum Koperasi atau Perseroan terbatas.
Tujuan dan Fungsi BMT
Tujuan BMT adalah mewujudkan kehidupan keluarga dan masyarakat di sekitar BMT yang selamat, damai dan sejahtera. Didirikannya BMT bertujuan untuk meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Dalam rangka mencapai tujuannya, BMT berfungsi dan berperan diantaranya sebagai berikut:
- Mengidentifikasi, memobilisasi, mengorganisir, mendorong dan mengembangkan potensi serta kemampuan potensi ekonomi anggota, kelompok anggota muamalat dan daerah kerjanya.
- Meningkatkan kualitas SDI (Sumber Daya Insani) anggota menjadi lebih profesional dan islami sehingga semakin utuh dan tangguh dalam menghadapi persaingan global.
- Menggalang dan memobilisir potensi masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan anggota.
- Menjadi perantara keuangan (Financial Intermediary) antara aghniya sebagai shohibul maal dengan duafa sebagai mudharib, terutama untuk dana-dana sosial seperti zakat, infaq, sedekah, wakaf dan hibah.
Perkembangan BMT
BMT pada umumnya memiliki dua latar belakang pendirian dan kegiatan yang hampir sama kuatnya, yakni sebagai lembaga keuangan mikro dan sebagai lembaga keuangan syariah. Identifikasi yang demikian sudah tampak pada beberapa BMT perintis, yang beroperasi pada akhir tahun 1980-an sampai dengan pertengahan tahun 1990-an. Mereka memang belum diketahui secara luas oleh masyarakat, serta masih melayani kelompok masyarakat yang relatif homogen dengan cakupan geografis yang amat terbatas. Perkembangan pesat dimulai sejak tahun 1995, dan beroleh “momentum” tambahan akibat krisis ekonomi 1997/1998.
Pada tahun 2010, telah ada sekitar 4.000 BMT yang beroperasi di Indonesia. Beberapa diantaranya memiliki kantor pelayanan lebih dari satu. Jika ditambah dengan perhitungan faktor mobilitas yang tinggi dari para pengelola BMT untuk “jemput bola”, memberikan layanan di luar kantor, maka sosialisasi keberadaan BMT telah bersifat masif. Wilayah operasionalnya pun sudah mencakup daerah perdesaan dan daerah perkotaan, di pulau Jawa dan luar Jawa. BMT-BMT tersebut diperkirakan melayani sekitar 3 juta orang nasabah, yang sebagian besar bergerak di bidang usaha mikro dan usaha kecil. Cakupan bidang usaha dan profesi dari mereka yang dilayani sangat luas.Mulai dari pedagang sayur, penarik becak, pedagang asongan, pedagang kelontongan, penjahit rumahan, pengrajin kecil, tukang batu, petani, peternak, sampai dengan kontraktor dan usaha jasa yang relatif moderen.
Perhimpunan BMT Indonesia yang disebut juga sebagai BMT Center merupakan asosiasi yang paling serius mengembangkan diri sejak didirikan pada tanggal 14 Juni 2005.Ada 142 BMT yang menjadi anggotanya sampai dengan pertengahan 2010, Mereka tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, antara lain: Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jakarta, Sumatera dan Aceh. Sampai dengan Desember 2005, ketika BMT center masih beranggotakan 96 BMT, total asset para anggota adalah sekitar Rp 364 milyar. Dengan adanya pertumbuhan selama tahun berjalan dan penambahan beberapa anggota baru, maka sampai dengan akhir tahun 2006, aset total adalah sekitar Rp 458 miliar. Nilai ini terus meningkat menjadi Rp 695 miliar pada akhir tahun 2007, hampir mencapai Rp 1 trilyun pada akhir tahun 2008, dan sekitar Rp 1,6 trilyun pada akhir 2009. Nilai tersebut diperkirakan sekitar 50 persen dari total BMT yang mencapai lebih dari Rp 3 trilyun.
Pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM menyatakan koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) dalam bentuk Baitul Maal Wa Tanwil (BMT) berkembang sangat signifikan. Hal ini tidak lepas dari perkembangan kinerja dari BMT secara nasional di tahun ini telah mencapai aset sebesar Rp 4,7 triliun dan jumlah pembiayaan sebesar Rp 3,6 triliun. Dengan perkembangan kinerja tersebut, Deputi Bidang Kelembagaan dan UKM Kementerian Koperasi dan UKM Setyo Heriyanto menyakini, BMT akan sangat berperan sebagai lembaga keuangan mikro yang mampu menggerakan sektor riil di masyarakat. Keberadaan dari BMT di Indonesia, tak lepas dari peran dari berbagai pihak khususnya regulator, asosiasi, para pengelola, anggota dan masyarakat. Bahkan keberadaan dari BMT juga menjadi aternatif financial inclusion ketika masyarakat tidak mampu mengakses keuangan karena keterbatasan dan beberapa prasyarat yang harus dipenuhi dalam sistem perbankan.
Setyo menambahkan untuk mengembangkan BMT, saat ini mereka banyak tergabung dalam beberapa asosiasi seperti Perhimpunan BMT, Induk Koperasi Syariah (Inkopsyah) BMT, Induk Koperasi Jasa Keuangan Syariah Baitul Tanwil Muhammadiyah dll. “Asosiasi-asosiasi tersebut yang selama ini membina dan mengembangkan BMT yang sangat besar,” katanya. Kemudian Setyo juga menyebutkan bahwa saat ini sudah ada BMT yang mentargetkan aset di akhir tahun 2015 senilai Rp 2 triliun. BMT tersebut adalah BMT UGT Sidogiri Pasuruan Jawa Timur dimana dalam RAT tahun 2014 mencapai aset Rp 1,4 triliun.
BMT-BMT lainnya yang terus merangkak naik yang hampir Rp 1 triliun adalah BMT Bina Umat Sejahtera (BUS) Lasem-Rembang Jawa Tengah, BMT Fastabiqul Khoirot Pati, BMT Tamzis Wonosobo, BMT Bringharjo Yogyakarta. Besarnya aset BMT tersebut tidak lepas dari peran BMT yang mampu mengelola koperasi dengan professional dan modern. Bahkan sudah banyak BMT yang maju tersebut menggunakan teknologi yang canggih seperti yang dimiliki oleh perbankan (ATM, internet banking, mobile banking), dengan adanya fasilitas pelayanan tersebut sekaligus akan menambah rasa kepercayaan anggota terhadap koperasi syariah.
BMT secara umum telah terbukti berhasil menjadi lembaga keuangan mikro yang andal. Kemampuannya untuk menghimpun dana masyarakat terbilang luar biasa, mengingat mayoritas anggota dan nasabahnya adalah pelaku usaha berskala mikro, yang selama ini tidak diperhitungkan oleh perbankan sebagai sumber dana. Dengan mengembangkan kemampuan menabung mereka, ketahanan masyarakat dalam menghadapi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat mendesak seperti sakit, musibah maupun kebutuhan mendesak lainnya menjadi semakin kuat. Mereka pun mulai belajar mengakumulasikan modal bagi peningkatan kapasitas bisnis, atau pembuatan bisnis baru.Sementara itu, perkembangan pembiayaan yang diberikan pun terbilang spektakuler. Rasio financing to deposit ratio (FDR), yang umumnya mendekati atau lebih dari 100%, menunjukkan bahwa dana yang dihimpun dari anggota dan nasabah dapat disalurkan sepenuhnya. Tak jarang, BMT memerlukan tambahan dana dari sumber lain, seperti perbankan syariah.
Jati diri BMT yang paling pokok adalah identitas dan ciri keislamannya.Secara historis, pendirian dan perkembangan gerakan BMT selalu berkaitan dengan nilai-nilai Islam dan respon atas kondisi umat Islam. Para pegiat pun berupaya mengedepankan berbagai identitas keislaman dalam operasionalisasi BMT, termasuk dalam proses dan kinerja sebagai badan usaha yang melaksanakan prinsip-prinsip syariah. Secara penamaan, lembaga beserta produk-produknya, mengesankan citra Islami. Konsekuensi logis dari semua itu, BMT harus bertanggungjawab untuk istiqomah terhadap citra diri yang demikian. Tidak saja kepada stakeholder yang bersifat sosiologis, melainkan juga bertanggung jawab kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Komentar Terbaru